
Oleh : Rhomadani S.Pd
KORUPSI telah menjadi identitas politik praktis yang sudah lama diadopsi negeri ini sepaket dengan ilusi demokrasinya. Menjerat semua oknum partai dan mencoreng citra baik bangsa Indonesia yang terkenal dengan budi luhurnya. Kini budi luhur itu terasa kian mundur dan tercoreng dengan budaya korupsi.
Ditangkapnya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil melalui OTT yang dilakukan KPK pada Kamis (06/04/2023) malam menambah daftar panjang kasus korupsi di Indonesia.
KPK juga mengamankan sejumlah pihak bersama Bupati Meranti, Sekretaris Daerah (Sekda/, kepala dinas dan badan, kepala bidang, dan pejabat lainnya di lingkungan Pemkab Kepulauan serta ajudan Bupati dan pihak swasta yang totalnya ada 25 orang. KPK menyita uang hasil suap sebesar Rp 26,1 miliar dari OTT Bupati Meranti.
Penetapan tindak korupsi pada Bupati Kepulauan Meranti bersama Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Kepala Cabang PT TN Fitria Nengsih dan Auditor BPK Perwakilan Provinsi Riau, M Fahmi Aressa sebagai tersangka korupsi dijerat dengan UUdugaan 3 kasus sekaligus.
Pertama, korupsi pemotongan anggaran. Kedua, gratifikasi jasa travel umroh. Ketiga, suap pemeriksa keuangan sebagai mana dirujuk dari detik news,com Jumat (7-4-2023).
Berdasarkan pengakuan tersangka, Uang yang terkumpul di gunakan untuk dana operasional kegiatan safari politik alias kampanye dan biaya maju pencalonan pemilu Gubernur Riau 2024.
Muhammad Adil sendiri sebelumnya sempat viral membuat publik gempar karena pernah mengatakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berisi iblis akibat dana bagi hasil (DBH) minyak di tempatnya dianggap tidak sesuai. Ia bahkan juga mengancam untuk mengeluarkan Kepulauan Meranti dari wilayah Indonesia.
Namun sangat disayangkan ketika tindakan heroik itu kandas dengan dugaan korupsi yang memilukan di pertengahan bulan suci Ramadan. Bulan mulia seharusnya pemimpin hadir memberi wejangan kebaikan.
Bukan menghapus dosa dengan berbagi harta haram hasil tindak korupsi. Ini jauh dari anjuran syariat Islam yang memerintahkan sedekah dari harta halal baik hasilnya maupun cara mendapatkannya.
Sulit Diberantas
Berdasarkan penelitian seorang dosen asal Singapura, ditemukan suatu fakta bahwa perilaku korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas.
Setidaknya, terdapat empat faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi, yakni 1) kerakusan, 2) kurangnya integritas dan moral, 3) adanya kesempatan, serta 4) masyarakat yang permisif.
Dalam sistem kapitalisme sekularisme yang dibangun dari asas manfaat dan motif materi, wajar jika lahir manusia-manusia rakus.
Perilaku korupsi pun bisa dianggap perbuatan yang biasa ketika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak membangun sikap antikorupsi.
Parahnya lagi, pada RKUHP disahkan menjadi KUHP mengenai pasal korupsi justru menjauhkan efek jera dan menguntungkan koruptor. Yang salah satunya memuat sejumlah pasal kontroversial yang diantaranya adalah pasal pengurangan hukuman bagi koruptor.
Hal ini termuat dalam pasal 603, yang menjelaskan bahwa koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun yang sebelumnya empat tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp2 miliar.
Walaupun keseriusan pemerintah memberantas korupsi juga telah dilakukan dengan membuat RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang disahkan menjadi UU ada tahun ini. Namun, efektifkah UU itu dalam memberantas korupsi dengan tuntas?
Pasalnya ada banyak celah bagi tikus berdasi meringankan hukumannya. Sebab sistem hukum saat ini tidak tegas dan pengawasan negara terhadap pejabat sangat lemah. Sungguh, hanya di dalam sistem sekuler suatu tindak pidana malah dilindungi dan tidak tuntas diberantas.
Terlebih jika ada kepentingan tertentu. Tidak heran, hukuman korupsi pun termasuk sesuatu yang berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman atau malah agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum.
Dan uang denda yang wajib dibayarkan tidak sebanding dengan uang yang telah dikumpulkan pada saat ia korupsi. Lantas bagaimana mungkin sanksi korupsi akan memberikan efek jera pada pelakunya?
Ketegasan Sistem Islam
Tentu akan berbeda jika penentuan kejahatan korupsi berdasarkan halal/haram sebagaimana dalam sistem Islam. Islam mempunyai solusi baik preventif dan kuratif.
Berdasarkan syariat Islam, korupsi adalah haram, meski sedikit apalagi jika banyak. Korupsi dengan nominal berapapun akan mendapatkan sanksi yang tegas.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud)
“Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat.” (HR At-Tirmidzi)
Korupsi terkategori ghulul, baik berupa mengambil harta yang bukan haknya dari uang negara, risywah (suap menyuap), hadiah untuk pejabat dan keluarganya (gratifikasi), dan lain-lain. Semuanya itu haram.
Rasulullah saw. bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad)
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir oleh kepala negara berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan).
Kemudian penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Inilah yang bisa menjadi jawabir (penebus dosa) bagi koruptor di dunia sehingga di akhirat ia tidak lagi di tanyakan atas dosa itu. Bukan penebus dosa dengan berbagi harta korupsi ke masyarakat luas dengan dalih safari politik.
Selanjutnya, hukuman yang dilakukan haruslah disaksikan oleh individu warga negara sehingga bisa menjadi jawazir (efek jera) bagi individu masyarakat yang lain mencegah perbuatan korupsi itu.
Selain itu, ketegasan sistem peradilan dalam Islam menjadikan negara berupaya meningkatkan kualitas keimanan setiap rakyatnya melalui sistem pendidikan Islam agar memiliki ketakwaan individu tercegah dari perilaku menyimpang. Sehingga mereka mampu melaksanakan syariat Islam.
Masyarakat yang mampu mengemban dakwah digerakkan secara masif untuk melakukan pencegahan apapun tindak kemaksiatan yang terjadi di lingkungan sekitar.
Sedangkan Negara dituntut oleh Syara’ (Allah SWT) untuk menerapkan sistem politik ekonomi Islam secara keseluruhan dalam praktek kehidupan bernegara sebagai wujud ketundukan terhadap perintah Allah SWT.
Keseluruhan cara pandang ini telah diterapkan dalam bentuk pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yakni kekhilafahan ‘ala minhajin nubuwwah (pemerintahan yang sesuai dengan jalan kenabian). Wallahu a’lam bishawab.***
Penulis Aktivis Muslimah Selatpanjang – Riau