Oleh Astuti Rahayu Putri
Masih lekat diingatan bagaimana mengerikannya kondisi lingkungan pada tahun 2019 akibat dampak dari karhutla. Pada saat itu kabut asap tebal menyelimuti udara. Sehingga membahayakan kelangsungan hidup manusia. Tentu kita tak ingin bencana itu terjadi lagi. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun karhutla datang kembali. Bagaimana cara mengatasinya agar tak terjadi lagi?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di tahun 2023 ini karhutla terjadi di berbagai wilayah. Salah satunya, di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah dan Unesca menjadi cagar biosfer yang berfungsi sebagai hutan tropis penyumbang oksigen dan rumah satwa dilindungi seperti gajah serta harimau Sumatera.
Diperkirakan, 10 hektare habitat gajah Sumatera musnah terbakar sejak pertengahan Juni lalu. Tim gabungan anggota Polri, TNI dan Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran lahan. Petugas menemukan juga kebun kelapa sawit milik masyarakat yang terbakar dalam kawasan hutan konservasi milik negara ini.
Menurut Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Genman Hasibuan, kebakaran dipicu aksi pembukaan lahan dengan cara membakar untuk perkebunan kelapa sawit. Tim penyidik BBKSDA Riau dan polisi setempat sudah memeriksa kelompok warga yang diduga membakar habitat Gajah Sumatera (Sumber: medcom.id/25-06-2023).
Kabar terbaru, kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terjadi di Kabupaten Rokan Hilir( Rohil) dan Pelalawan. Bahkan hingga Senin (31/7/2023) dikabarkan belum juga padam. Petugas gabungan dari TNI, Polri, Manggala Agni, BPBD dan masyarakat setempat masih berjibaku melakukan pemadaman Karhutla di dua daerah tersebut (Sumber: pekanbaru.tribunnews.com/31-07-2023).
Gencarnya Edukasi Tidak Selaras Dengan Kesadaran Masyarakat
Walaupun telah gencar dilakukan edukasi. Akan tetapi, karhutla tetap datang kembali. Ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat masih tak sesuai ekspektasi. Yaitu, masih banyak masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar, yang jelas-jelas dapat merugikan manusia di negeri ini.
Jika melihat dari sudut pandang lainnya. Masih tingginya perilaku masyarakat membakar hutan bisa jadi karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Tatkala tak ada jaminan negara terhadap kesejahteraan rakyatnya. Ditambah, dengan perekonomian yang kian sengsara. Maka, manusia bisa jadi menghalalkan segala cara. Demi bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara negara, yang harusnya turut menjaga alam. Malah justru sebaliknya. Perusahaan-perusahaan besar diberikan konsesi hutan dengan mudahnya. Artinya, pengalih fungsian hutan sebagai lahan seperti perkebunan sawit kian massif terjadi. Apa lagi mengingat adanya kebutuhan untuk memperbanyak perkebunan sawit yang menjadi sumber biofuel.
Filosofi Islam Dalam Menjaga Lingkungan
Inilah wujud dari sistem kapitalisme di negeri ini. Keuntungan serta kebutuhan materi berada diatas segala-galanya, layaknya kebutuhan perekonomian negara terhadap sawit. Demi tercapainya kebutuhan tersebut, konsesi hutan pun dipermudah. Bukankah ini malah makin merusak kelestarian hutan?
Ditambah lagi, kepentingan para pemilik modal menjadi lebih utama. Dibandingkan kepentingan rakyatnya sendiri. Walhasil, rakyat pun dibuat menderita berkat kebijakan-kebijakan yang abai.
Maka, selama sistem ini masih berlaku. Maka edukasi terhadap masyarakat akan pentingnya menjaga alam hanya akan menjadi angin lalu. Semestinya edukasi untuk menjaga alam tak hanya sekedar pemberian informasi yang sifatnya sekejap saja. Butuh pendidikan yang dilakukan sedari dini dan menyatu dalam kurikulum sekolah.
Dalam islam terdapat tuntunan tentang kewajiban manusia untuk menjaga keselamatannya dan juga alam. Allah SWT juga sudah mengingatkan manusia untuk tidak membuat kerusakan di bumi ini. Karena yang akan merasakan akibat dari perbuatannya tersebut, adalah manusia itu sendiri. Seperti tertera dalam Surat Ar-Rum ayat 42:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Maka dari itu, upaya untuk membentuk kesadaran pentingnya menjaga lingkungan akan dilakukan dengan serius. Yaitu, melalui kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Sehingga, akan lahir generasi yang bukan hanya pintar saja, tapi juga memiliki kepribadian islam yang kuat. Dimana ia akan selalu sadar bahwa segala sesuatu perbuatannya akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Kemudian, Islam juga mendorong negara untuk melakukan langkah antisipasi secara menyeluruh. Seperti, memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) pada setiap individu rakyatnya. Oleh karena semua kebutuhannya sudah terpenuhi. Maka tak ada alasan lagi bagi rakyat untuk merusak hutan karena himpitan ekonomi.
Selain itu, melalui penerapan ekonomi Islam yang sesungguhnya. Tak akan ada kebijakan kapitalistik seperti pengelolaan hutan oleh swasta. Karena, hutan merupakan kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara. Tentu negara yang taat terhadap syariat Islam tidak akan sembarangan dalam mengelolanya. Kelestarian alam tetap akan menjadi perhatian utama. Dengan begitu, keseimbangan antara manusia dan alam pun dapat terjaga.
Demikianlah, cara Islam megatasi kebakaran hutan agar tak terjadi lagi. Selain memberikan solusi, penerapan Islam kaffah (menyeluruh) juga dapat memberikan berkah dari langit dan bumi.
Wallahu a’lam bish-showaf.