Oleh Helfizon Assyafei
Saya ingin berbagi tausiah tuan guru tadi malam. Saat peringatan Nuzulul Quran. Turunnya Alquran. Ketika itu suasana sosial di Kota Makkah berlaku hukum rimba. Yang kuat menindas yang lemah. Arak, judi, prostitusi merajalela. Tak ada yang mencegah. Asal ada uang ada barang. Pikiran kabilah-kabilah ketika itu hanya dagang dan hasilnya hamburkan untuk kesenangan. Untuk bermegah-megahan satu dengan lainnya.
Seorang diantara penduduk Makkah sering merenung. Mengapa begini? Padahal Tuhan-tuhan berhala (patung) mereka besar-besar dan banyak. Ada di setiap rumah (kecuali di rumahnya). Ia dari awal tak percaya berhala. Tak pernah tersentuh kesyirikan. Tuhan-tuhan mereka ada didirikan di pasar-pasar. Bahkan juga beratus jumlahnya di sekeliling Ka’bah ketika itu. Tapi Tuhan hanya jadi simbol status. Makin mahal bahan berhala yang dibuat jadi Tuhan makin tinggi status sosial pemiliknya.
Tuhan hanya jadi bisnis. Sehingga toko-toko menjual bermacam jenis Tuhan berdasarkan bahan baku. Tuhan ada di tengah mereka, dapat dilihat tapi tak dianggap. Justru nafsu dalam diri yang jadi Tuhan yang selalu mereka turuti. Ia resah. Ia melihat kenapa manusia melakukan hal-hal yang lebih bodoh dan rendah dari hewan? Dan semua orang ketika itu menganggap hal itu biasa. Lumrah saja. Ukuran anda ketika itu kekayaan. Bukan yang lain.
Suatu malam ia pergi mendaki sebuah bukit. Dikenal dengan Jabal Nur. Dari atas bukit itu terlihat kota Mekkah. Ke sanalah ia pergi membawa kerisauan hatinya. Hening dan merenung. Satu hari satu malam. Ketika itu usianya baru 38 tahun. Ia menemukan kedamaian sejenak di ketinggian bukit itu. Setelah fressh hatinya keesokan harinya ia turun dan kembali ke rumah. Beraktivitas seperti biasa.
Setahun berlalu. Kemerosotan akhlak semakin menjadi-jadi. Ia kembali naik ke bukit itu yang kemudian dikenal dengan istilah bertahanus. Berdiam diri dan merenung. Bertanya dalam hati mengapa manusia jadi begini? Juga sehari semalam. Kembali ke rumah dan beraktivitas lagi. Setahun lagi berlalu. Di usianya yang ke 40 ia naik lagi kebukit itu. Kali ini bukan sehari semalam tapi hingga tiga hari tiga malam.
Sejarah kemudian mencatat di puncak bukit itulah Malaikat Jibril datang dan menyampaikan wahyu pertama (Alquran) yang membuatnya gemetar. Keadian itu terjadi di malam bulan Ramadhan. Bahkan saat sampai di rumah ia minta diselimuti oleh istrinya saking dahsyatnya pengalaman menerima wahyu pertama itu.
Malam turunnya wahyu pertama itulah yang disebut dengan Nuzulul Quran. Malam turunnya Alquran. Itu jadi tonggak awal sejarah Kenabian dan kerasulannya. Nabi besar Muhammad SAW. Tuhan menurunkan firman-Nya yang mulia kepada hamba pilihan-Nya yang paling mulia di muka bumi. Menyeru manusia pada iman dan kebaikan. Tanpa iman, kebaikan tidak ada. Kalaupun ada hanya pura-pura.
Alquran adalah petunjuk. Bila anda mengikutinya maka ia akan menunjukan jalan keselamatan. Maka bacalah. Pelajarilah. Renungilah. Amalkan dan ajarkan bila kita mampu mengajarkannya. Bila tidak minimal mengajari diri sendiri dan keluarga. Saya ingat pesan intinya malam itu begini. Dulu sebelum Alquran itu turun, bulan Ramadhan sama saja dengan bulan-bulan lainnya. Ia kemudian berubah status jadi istimewa jadi penghulu segala bulan setelah peristiwa Nuzul Alquran itu.
Artinya; apapun yang berhubungan dengan Alquran akan jadi mulia. Terangkat derajatnya. Bahkan kita manusia biasa yang banyak dosa ini bila mendekatkan diri pada Alquran dengan terus membacanya, mempelajarinya, mengikuti petunjuk di dalamnya juga akan menjadi mulia pula. Alquran akan jadi pembela di mahkamah Ilahi kelak bagi sesiapa yang mencintainya.
Ukuran cinta padanya di level pertama adalah membacanya. Kata tuan guru sekarang sudah malam 17 Ramadhan. Sudah juz berapa yang anda baca? Jika sudah juz 17 juga, maka itu tanda kita sudah mulai melangkah ke tangga awal cintanya. Kalau belum mungkin saja kesibukan kita atau kemalasan kita masih lebih penting darinya. Alquran tidak rugi dengan sikap kita. Kitalah sebenarnya yang merugi itu.
Ayo bangkit. Raih cinta-Nya dengan langkah awal membaca Alquran. Jika anda berniat menamatkan (mengkhatamkannya) dari sekarang masih bisa. Asal mau dan bersungguh-sungguh. Kalaupun akhirnya di batas akhir Ramadhan tak terkhatamkan, niat itu telah sampai. Niat kebaikan selalu dicatat lebih dulu dari amal sebelum dilakukan. Syaratnya asal niat itu tulus dan sungguh. Semoga kita bisa.
[helfizon assyafei]29 April 2021
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.