Oleh : Alfiah, S.Si
Polemik tentang khilafah kembali mencuat di Indonesia. Penyebabnya, konvoi rombongan bermotor membawa panji khilafah di wilayah Jakarta beberapa waktu lalu yang berujung penangkapan pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja.
Residivis terorisme itu ditangkap personel Polda Metro Jaya di wilayah Lampung pada awal pekan ini. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan menyampaikan penangkapan Baraja tak sekadar didasari aksi konvoi khilafah yang digelar di Cawang, Jakarta Timur pada 29 Mei lalu. (CNNIndonesia.com, 08 Jun 2022)
Merespons polemik persoalan kekhalifahan tersebut, Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wachid Ridwan menegaskan bahwa sistem khilafah sudah tak relevan bila hendak diterapkan di nusantara.
Ia mengatakan demikian karena sejak merdeka dari kolonialisme, segenap bangsa Indonesia sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Dan, ia mengingatkan sebuah negara itu berjalan tergantung kesepakatan atau konsensus yang telah ditentukan sebelumnya.
Sementara menurut Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, pemaknaan literasi soal khilafah seringkali disalahgunakan di dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Amirsyah mengakui Khilafah di dalam ajaran Islam memang merupakan sesuatu yang sudah dikenal. Namun, kata dia, implementasinya bersifat dinamis.
Sebagaian besar kaum muslimin mungkin memiliki pendapat yang sama atau senada dengan tokoh-tokoh MUI tersebut. Namun kita yang diberi kesempurnaan akal seharusnya memahami Islam secara kaafah dan menyeluruh dan tidak taqlid buta (mengikuti tanpa berpikir).
Benarlah kata Ketua MUI Provinsi Sulawesi Selatan Najamuddin yang mengingatkan agar tak mengidentikkan ajaran atau pengenalan khilafah dengan terorisme. Hal tersebut diungkapkannya untuk meluruskan apa sejatinya ‘khilafah’ tersebut di dalam Islam. Itu pun sebagai tanggapan adanya dugaan kelompok tertentu mensalahartikan khilafah dalam setiap kegiatannya untuk menjadi bagian dari terorisme.
Oleh karena itu, ia mengimbau para pemangku kepentingan juga memiliki pemahaman tentang khilafah dengan makna yang sebenar-benarnya agar tidak terjadi pemahaman yang mengarah kepada ekstremisme dan radikalisme.
Kita patut curiga karena konvoi Khilafatul Muslimin menjadi alasan pemerintah membuat aturan lebih keras terhadap ajaran Islam (khilafah) atas nama perang melawan radikalisme. Di saat yang sama pemerintah terkesan membiarkan promosi massif terhadap ajaran sekuler yang merusak (LGBT, liberalisme) maupun praktik KKN rezim.
Konvoi Khilafah ini juga dijadikan momentum bagi rezim untuk menghalangi pemuda muslim mengenal utuh ajaran agamanya sendiri, karena monsterisasi terhadap khilafah dilakukan seiring penderasan arus kapitalisasi potensi pemuda.
Sesungguhnya Khilafah adalah ajaran Islam yang mulia. Seluruh ulama Ahlus Sunah wal Jamaah telah sepakat (ijmak mu’tabar) bahwa hukum menegakkan Khilafah adalah wajib (fardhu kifayah). Tidak ada yang menyalahi ijmak ini melainkan segelintir manusia saja. Itu pun orang-orang yang tidak diperhitungkan pendapatnya dari kalangan Muktazilah dan Khawarij.
Allah SWT berfirman : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…(QS al-Baqarah [2]: 30).
Imam Syamsuddin al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang dipatuhi serta ditaati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat diterapkan.
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadis Shaih Muslim nomor 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk khalifah pengganti) kepada Umar bin Khaththab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal.
Di antaranya juga berdasarkan hadits Nabi saw.: “Siapa saja mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang khalifah), maka dia mati seperti mati jahiliah (dengan membawa dosa)” (HR Muslim)
Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ijmak Sahabat pasca Rasulullah saw. untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi menjelaskan, “Para Sahabat, pada hari Rasulullah saw. wafat, tidak melakukan apapun terkait persiapan pemakaman beliau sampai mereka menuntaskan terlebih dulu perkara baiat dan mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah… Itu merupakan dalil yang sangat jelas atas kewajiban menegakkan Khilafah.”
Ulama Nusantara juga mewajibkan Khilafah. Diantaranya adalah KH Abu Al-Fadhal as Sinori asal Tuban Jawa Timur. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, mengangkat seorang khalifah yang adil itu hukumnya wajib atas kaum Muslim berdasarkan Ijmak Sahabat pasca wafatnya Nabi saw. Bahkan mereka (para sahabat) menganggap itu sebagai kewajiban paling prioritas. Pasalnya, mereka lebih memprioritaskannya daripada kewajiban memakamkan jenazah beliau.”
Kewajiban menegakkan Khilafah juga dinyatakan oleh KH Sulaiman Rasjid bin Lasa. Dalam bukunya Fiqh Islam, beliau mengatakan, “Kaum Muslim telah bersepakat bahwa hukum mendirikan Khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.” Bahkan kewajiban menegakkan Khilafah juga dapat dijumpai dalam Ensiklopedi Islam yang disusun oleh sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim Nusantara.
Lantas apa yang ditakutkan atau diragukan dari Khilafah? Jika Khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan berarti umat Islam harus memahami bagaimana metode yang benar dalam menegakkannya sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Bukan malah memonsterisasi Khilafah gegara perjuangan yang salah dari sebagian para pengembannya. Apakah ketika ada sekelompok orang yang salah dalam melaksanakan rukun shalat yang 5 waktu lantas kita salahkan shalatnya. Wallahu a’lam bi ash shawab.***
Penulis pegiat literasi Islam