Alfisyah Ummuarifah, S.Pd
Kurikulum prototipe kini mulai diterapkan awal tahun 2022. Try dan eror. Coba dan mencoba lagi disesuaikan keadaan dua tahun pandemi. Demi menyederhanakan kurikulum sebelumnya. Karena di sana sini banyak yang harus diperbaiki. Kurikulum pun disederhanakan agar mampu menyelesaikan masalah pendidikan di era pandemi.
Hal ini sebagaimana yang dilansir dari Republika.co.id, pada 29 Desember 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Keme ndikbudristek) mengungkapkan, kurikulum prototipe bukanlah kebijakan kurikulum baru, melainkan kebijakan pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19.
Satuan-satuan pendidikan dapat menerapkan kurikulum tersebut mulai 2022 hingga 2024 mendatang untuk kemudian hasilnya dievaluasi.
Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek, Zulfikri, Rabu (29/12) menyebutkan pelaksanaan kurikulum ini dimulai daribtahun 2022 hingga 2024.
Dia menerangkan, Kemendikbudristek telah melakukan beberapa terobosan, antara lain dengan menyederhanakan Kurikulum 2013 menjadi kurikulum darurat, yang dilakukan sebagai upaya pemulihan pembelajaran sebagai bagian dari mitigasi hilangnya pembelajaran.
Oleh karena itu kurikulum ini bersifat pemulihan. Kemendikbudristek melakukan pengurangan materi dari Kurikulum 2013 yang padat dan dipilih materi yang esensial.
Tambal Sulam Kurikulum, Solusikah?
Diakui guru terkendala rumit dan repotnya pelaksanaan kurikulum tahun 2013 dan kurikulum darurat. Sehingga, guru punya waktu memulihkan proses pembelajaran itu dan melakukan inovasi pembelajaran yang fokus kepada anak berdasarkan konteks, kebutuhan, dan potensi anak yang beragam.
Zulfikri mengatakan dalam waktu dekat, Kemendikbudristek akan segera menawarkan opsi kebijakan kurikulum untuk pemulihan pembelajaran.
Opsi kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum prototipe, yang mendorong pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar.
Zulfikri menyebutkan, untuk melihat efektivitas penerapan kurikulum prototipe secara terbatas, satuan pendidikan yang telah bergabung dalam barisan Sekolah Penggerak akan dilibatkan.
Zulfikri menekankan, penerapan kurikulum prototipe bukanlah suatu perintah atau kewajiban bagi satuan pendidikan, melainkan pilihan.
Hal yang diinginkan adalah bahwa satuan pendidikan itu dite rapkan berdasarkan pemahaman yang baik sehingga merasa memiliki dengan kurikulum apapun yang dipilih. Bukannya mengatakan ini kurikulum pusat.
Sekali lagi, tidak ada unsur paksaan dalam pembeelakuan kurikulum ini. Karena jika status kebijakan ini wajib, maka siapapun akan wajib menjalankannya meskipun sebenarnya dia tidak mau atau tidak paham.
Bagi satuan pendidikan yang tertarik, Zulfikri mengatakan, sebagai langkah awal mereka akan diberi pemahaman tentang paradigma kurikulum ini terlebih dahulu. Lalu, sekolah diberi kebebasan untuk memilih apakah ingin langsung belajar sambil praktik, atau ingin mempelajari dulu konsepnya selama satu tahun untuk kemudian baru diimplementasikan di tahun berikutnya.
Menilik konsep kurikulum prototipe itu terlihat tambal sulam kurikulum itu disesuaikan kondisi. Kondisi yang memaksa. Terlihat bahwa kurikulumnya tidak disusun berdasarkan filosofi yang kokoh dan benar.
Karena filosofi dari kurikulum itu ajan menjadi dasar bagi tercapainya output pendidikan yang diharapkan. Generasi yang cerdas dan berkarakter.
Jadi,politik pendidikan yang merupakan filosofi dasarnya itulah yang menjadi masalah. Pragmatisme kondisi pandemi menjadikan kurikulum itu fleksibel. Seperti karet dia molor ke arah mana dia ditarik. Maka bentuk kurikulum seperti ini membingungkan para guru,murid, orang tua dan lembaga pendidikan.
Sebagai contoh saat PTM masa pandemi diberlakukan. Saat itu guru SMP hanya diberikan waktu 20 menit perjam. Maka waktu itu dirasa tak cukup mencapai target pendidikan. Bahkan untuk guru matematika di lapangan, waktu 2×20 menit itu hanya sempat menjelaskan satu contoh soal saja. Bagaimanapun pendalaman materi dan latihan siswanya?Guru kerepotan dan bingung.
Ini baru dari sisi gurunya. Belum lagi dari sisi wali murid yang bingung karena pelajaran tematik itu.
Sebab anak menjadi tidak paham konsep pelajaran secara mendalam. Sebab materinya bercampur lintas bidang secuil-secuil. Tidak tuntas. Orang tua stress karena lemah. Tak semua yang mampu mengajar anaknya.Berapa banyak yang membiarkan anaknya hanya mendapatkan pelajaran di sekolah saja. Kajian tematik tidak berjalan. Sebab tak bisa seragam berhasil di semua tempat.
Pada daerah yang terbelakang dan terisolir. Ini menjadi batu sandungan. Akses internet. Infrastruktur yang kurang memadai. Banjir, bangunan roboh dan hingga akses jalan sangat jauh mencapai sekolah ditambah jumlah guru yang kurang menambah daftar kegagalan K13.
Andai saat ini ingin disederhanakan menjadi kurikulum prototipe, itu akan menjadi sesuatu yang tak menggaransikan hasil yang gemilang. Tak ada yang menjamin. Lagi-lagi try dan error. Coba dan mencoba lagi.
Meskipun akan dievaluasi pada tahun 2024 nanti. Dari sisi filosofinya sebenarnya ingin menjadikan outputnya berkarakter. Lebih moderat, toleran dan siap kerja.
Jika itu yang diharapkan tentu kurikulum ini telah semakin mundur ke belakang. Siswa tidak memahami bidangnya secara mendalam. Sebagai asumsi bahwa jika akan dijadikan sebagai pegawai siap kerja, maka itu tidak lebih seperti robot. Tidak memahami bidangnya secara mendalam. Hanya skill dan keterampilan bidang kerja saja. Ini mundur keadaanya.
Padahal yang seharusnya itu mereka menjadi pakar di bidang yang diminati. karakternya pun tak pasti akan sesuai pancasila. Mengapa? Karena hari ini belum ada yang membuktikan output pendidikan itu bebas dari korupsi, curang, pada masanya nanti. Karena dorongan korupsi akibat sistem ekonomi kapitalistik ini akan lebih mendominasi dibandingkan materi ajar yang sudah ditanamkan.
Lama waktu pelatihan bagi para guru itupun memakan waktu 8-9 bulan. Sangat lama. Program ini rentan penyalahgunaan dana dann wewenang. Sebab mindset program dan proyek ini tentu melibatkan anggaran yang tidak sedikit. Sementara negara defisit anggaran, dan masih butuh dana banyak untuk mengatasi pandemi dan pemindahan ibukota baru.
Terakhir, jika dahulu saat pemberlakuan K13 itu menyebabkan kesenjangan sosial yang tinggi di daerah pedalaman. Maka kurikulum prototipe ini juga belum pasti meniadakan kesenjangan. Pasalnya tak semua wilayah di negeri ini siap SDA gurunya, infrastrukturnya dan hal lainnya.
Jika demikian, lantas bagaimana menyelesaikan sistem pendidikan yang karut marut ini? Kita butuh sistem pendidikan yang komprehensif dan anti gagal serta tidak try dan error.
Jika tidak, kualitas output pendidikan semakin merosot seiring pandemi yamg entah kapan akan usai.
Butuh Kurikulum Anti Gagal
Gambaran coba mencoba kurikulum. Hingga gonta ganti menteri pendidikan sesungguhnya tak akan bisa menyelesaikan masalah pendidikan di negeri ini. Pekerjaan rumah kita masih banyak lagi. Kota butuh sistem yang sudah terbukti anti gagal.
Sistem itu bernama sistem pendidikan Alternatif. Sistem pendidikan di era keemasan islam menjadi rule model yang anti gagal untuk ditiru. Dunia barat pun berkaca padanya. Merefleksikan sistem pendidikan pada masa keemasan itu hingga kini.
Dunia pendidikan barat banyak berhutang pada dunia islam. Sebut saja universitas yang ada hari ini adalah universitas yang mencontoh model universitas pada dunia islam. Penemuan terkini pun diilhami oleh penemuan ilmuwan islam ratusan tahun yang lalu. Lihat Ibnu Sina, Dia sebagai pelopor dunia kedokteran hingga kini. Kitab karangannya menjadi dasar kedokteran hingga hari ini.
Salah satu gebrakan dalam kurikulum prototipe adalah ide lintas minat, penyatuan IPA dan IPS menjadi IPAS bukanlah masalah sebenarnya. Sebab dalam dunia pendidikan islampun, dahulu para pakar itu adalah polimath. Mereka bahkan menguasai lintas bidang. Sebagai contoh Avicenna (Ibnu Sina) itu adalah seorang dokter yang faqih dalam perkata fikih dan seorang fisikawan.
Al Kindi bahkan seorang dokter yang juga menjadi ahli di Meteorologi dan Geofisika. Dia saintis di IPA dan IPS sekaligus. Tak masalah dalam Islam jika mereka sanggup dan bisa.
Maka lintas bidang dan minat itu tak masalah jika mereka kuat dari sisi karakternya yang bermanfaat untuk ummat. Menolong masyarakat dan membangun negara menjadi negara yang kokoh. Ilmu mereka berbasis akidah yang kokoh dan dan tsaqofah yang cukup berpadu pada bidang yang mereka geluti.
Sekali lagi lintas minat tak masalah. Pendidikan Islam lebih dahulu mempraktikkan merdeka belajar selagi bisa.
Sistem negara yang jaya dan mandiri pada masa itu mendorong sepenuhnya pada dana dan fasilitas yang lebih dari cukup. Wajar anggaran negara khilafah saat itu berlimpah dan surplus. Sementara hari ini justru defisit.
Mungkinkah membangun pendidikan yang baik?
Jadi landasan filosofi pendidikan amatlah penting. Islam menjadikan output pendidikannya itu memiliki akidah yang kokoh, fakih (mendalam) dalam agamanya, berjiwa pemimpin dan menguasai ilmu kehidupan.
Keempat target output ini hanya akan terwujud jika sistem negaranya mandiri dan bebas dikte dari pihak lain.
Saat itu mudah mencari seorang fisikawan yang kokoh akidahnya dan fiqih agamanya.Karena sebelum dia menjadi apapun akidahnya yang harus dikuatkan.Kurikulumnya berbasis akidah islam tak boleh ditawar. Kurikulumnya juga yang diajarkan melalui metode “Talqiyyan Fikriyyan” menjadikan siswa faqih pada agamanya dan syariatnya. Terakhir, siswa itu memahami ilmu kehidupan baik IPA, IPS, hingga bahasa yang berpadu pada dirinya. Karena siswa itu hendak dicetak menjadi seorang pemimpin yang sejati. Pemimpin yang mau mengurusi urusan ummat.
Demikianlah output pendidikan itu akan sempurna tercetak jika kurikulumnya, infrastrukturnya, anggarannya, SDA gurunya, hingga orang tua siswanya itu memahami pendidikan islam yang sempurna
Namun itu hanya ada dalam sistem pendidikan Islam. Jika sistem pendidikan hari ini masih seperti ini, masih bersandar pada sistem kapitalisme sekuleris, selamanya masalah di dunia pendidikan tak akan terurai. Apapun kurikulumnya, berapa kalipun gonta-ganti kurikulum itu. Keadaanya akan sama. Berulang dan semakin parah.
Tak ada jalan lain, mari melirik pada sistem pendidikan Islam yang kompatibel dengan sistem pemerintahan Islam. Wallahu A’lam bisshowaab.***
Penulis Pegiat Literasi Islam Kota Medan