Oleh: Muhammad Nur Aiman
RANGKAIAN tahapan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2024 telah selesai dilaksanakan. Sementara Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun 2024 sedang memasuki tahap kampanye.
Masing-masing pasangan calon kepala daerah (cakada) beserta tim suksesnya berupaya dengan beragam cara untuk memanfaatkan ceruk suara dalam rangka memenangkan kontestasi.
Salah satu ceruk yang dilematis dan butuh pendekatan khusus adalah suara dari kaum mahasiswa.
Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Juli 2023, 52% pemilih dalam pemilu 2024 adalah pemilih muda yaitu mereka yang berusia 17-30 tahun termasuk di dalamnya mahasiswa.
Dikatakan ceruk suara yang dilematis disebabkan oleh adanya suatu doktrin yang melekat pada mahasiswa yaitu mahasiswa haruslah mengedepankan independensinya dan tabu untuk ikut dalam politik praktis.
Faktanya mahasiswa menyandang predikat sebagai agen perubahan (agent of change), predikat yang akan selalu dijual ketika berbicara tentang peran mahasiswa dalam kelangsungan kehidupan bernegara. Namun dalam konteks pemilu, justru terjadi kontraindikasi mengenai predikat itu.
Peran yang disandang mahasiswa dalam lingkup pemilu hanya dilekatkan sebatas organisator untuk melakukan tugas dan kegiatan perbantuan, seperti sosialisasi pemilu yang bersih di berbagai kampus dan daerah, mengadakan diskusi publik mengenai pentingnya pemilu, serta mengajak mahasiswa untuk ikut serta dalam melakukan pemantauan terhadap seluruh proses pemilu.
Pertanyaan fundamental akan menyeruak, dimanakah letak esensi agen perubahan jika mahasiswa sebenarnya justru hanya menjalankan fungsi dari lembaga-lembaga negara?
Bayang-bayang Larangan Politik Praktis
Pertanyaan-pertanyaan klise selalu muncul ketika mahasiswa dan politik disandingkan.
Pertanyaan itu dapat berupa bolehkah mahasiswa menjadi bagian partai politik? Apakah organisasi mahasiswa boleh secara terbuka menyatakan dukungan politik tertentu? Atau mungkin bolehkah mahasiswa melakukan aktivitas politik di kampus? Serta bolehkah mahasiswa mendirikan partai politik dan menggelar aktivitas kepartaian itu dari ruang kelas?
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ektra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus adalah jawaban sekaligus tonggak hukum yang menentukan pelarangan aktivitas politik di dunia kampus.
Organisasi Ekstra Kampus dan Partai Politik dilarang membuka sekretariat dan perwakilan di kampus. Keputusan ini juga melarang keduanya untuk melakukan aktivitas politik praktis di kampus.
Meskipun ketentuan pelarangan itu sebagian kemudian di hapus melalui Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 55 tahun 2018, tentang Pembinaan Ideologi Bangsa Dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Lingkungan Kampus, yang mana melalui Permenristekdikti ini, organisasi ekstra kampus dapat masuk kampus dengan catatan harus dibawah pengawasan kampus.
Organisasi Ekstra Kampus yang diantaranya merupakan sayap pergerakan dari partai politik seperti HMI, GMNI, KAMMI dan sebagainya.
Namun trah merdeka berpolitik tetap saja masih abu-abu. Seperti ada ketakutan akan trauma sejarah pergerakan mahasiswa yang mampu merongrong kekuatan kekuasaan masa silam.
Awal tahun 2022, sebuah partai politik baru lahir dan telah disahkan oleh pemerintah dengan nama Partai Mahasiswa Indonesia.
Dikutip dari Kementerian Hukum dan HAM, Partai Mahasiswa Indonesia resmi berbadan hukum terhitung sejak 21 Januari 2022.
Gayung tak bersambut, partai yang diketuai oleh Eko Pratama ini justru mendapatkan banyak penolakan dari golongan mahasiswa.
Ketua BEM Seluruh Indonesia saat itu, Kaharuddin dengan tegas menolak partai politik tersebut, menurutnya pembentukan partai ini (Partai Mahasiswa Indonesia) telah mengkhianati perjuangan mahasiswa dengan mengatasnamakan mahasiswa.
Orientasi partai politik mengarah pada kekuasaan sedangkan perjuangan mahasiswa berbasis pada pergerakan moral bukan kepentingan. Oleh karena itu penolakan ini bertujuan untuk menjaga independensi dari mahasiswa itu sendiri, baik dari politik praktis atau kepentingan partai politik.
Di lain pihak, Koordinator BEM Nusantara untuk Pulau Jawa Ahmad Marzuki justru mendukung pendirian Partai Mahasiswa Indonesia.
Hal ini menurutnya adalah wujud perjuangan alternatif di luar pergerakan mahasiswa di jalanan. Tidak selamanya perjuangan jalanan itu memberikan dampak, maka masuk ke dalam sistem adalah jawabannya.
Selain itu, deklarasi menolak politik praktis di lingkungan kampus datang bertubi-tubi.
5 Februari 2024, Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang bersama mahasiswa membuat deklarasi menolak politik praktis di lingkungan kampus dengan tujuan untuk menjaga kondusivitas Pemilu 2024.
Fakultas Hukum Universitas Veteran Jakarta ikut menolak gagasan aktivitas politik termasuk melakukan kampanye di kampus.
Dekan FH UPN, Abdul Halim menyebutkan bahwa kampanye di kampus justru akan membuat friksi-friksi di civitas akademika. Sementara toh di luar kampus aspirasi sudah dapat tersalurkan dengan baik.
Hal senada juga dilakukan oleh beberapa universitas, sebutlah antaranya yaitu Universitas Muhammadiyah Tengerang, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan lain-lain.
Partai politik dan mahasiswa beserta habitatnya (kampus) seakan dua kutub yang tidak boleh disatukan dan harus tetap pada lajurnya masing-masing.
Mundur ke belakang pada tahun 2017, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir, bahkan menegaskan bahwa Partai Politik (Parpol) tidak dibenarkan masuk ke universitas untuk mengkampanyekan program partai.
Menurut Nasir, kampus selama ini merupakan tempat para mahasiswa menuntut ilmu dan jangan dipengaruhi hal-hal yang menyangkut kepentingan politik.
Enam tahun kemudian, di tahun 2023 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU/-XXI/2023 mengatur ketentuan larangan total untuk melakukan aktivitas kampanye di rumah ibadah namun memberi kesempatan melakukan kampanye di sekolah dan kampus dengan ketentuan tanpa atribut.
Putusan tersebut menyuratkan sebuah pesan bahwa tabunya ruang kelas dan forum mahasiswa berhubungan dengan aktivitas politik praktis sudah seharusnya direkonstruksi.
Politik Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah
Menilai kondisi hari ini tentulah harus dibandingkan dengan fase tertentu dalam sejarah perjalanan kenegaraan. Aktivitas politik mahasiswa dari ruang kelas bukan sebuah invensi baru.
Nyatanya menurut sejarah, politik mahasiswa telah mewarnai peristiwa penting di Indonesia.
Tahun 1996 menjelang reformasi sebagai contoh, Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diprakarsai oleh intelektual muda dan aktivis muda yang notabene berasal dari mahasiswa muncul sebagai fenomena.
Galang kekuatan politik yang dikomandoi mahasiswa ini berhasil memayungi berbagai organisasi massa lintas sektoral, diantaranya sektor buruh yaitu dengan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), sektor budaya dan seniman yaitu Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER), sektor tani yaitu Serikat Tani Nasional (STN), dan tentunya basis mahasiswa melalui Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Meskipun gagal masuk ke dalam parlemen, namun konsolidasi mahasiswa dalam partai ini patut di apresiasi sebesar-besarnya.
Sejarah mencatat PRD dikenal sebagai partai yang aktif melakukan kaderisasi, penggalangan massa dan berjuang melaliui ekstraparlementer.
Jauh pada era pergerakan nasional, Mohammad Hatta mendirikan Indische Vereeniging pada tahun 1922 (yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925), beranggotakan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda.
IV merupakan sebuah organisasi sosial yang kemudian bertransformasi sebagai organisasi politik. Tujuan mereka adalah untuk memperoleh kemerdekaan dan mendorong semnagat rakyat.
PNI Soekarno juga hadir dari forum diskusi para mahasiswa di Institut Teknologi bandung pada masanya.
Harus Berbenah
Seruan frontal terhadap situasi mahasiswa hari ini berkali-kali terdengar, baik kepada kaum mahasiswa maupun partai politik dan pemerintah.
Kalimat seperti “kalau mahasiswa dan dunianya dilarang ikut dalam politik praktis, ya sudah kembali jadi siswa saja”.
Sementara suara sumbang yang lain ikut mengkritisi kaum mahasiswa yang kurang berperan dalam era reformasi dan bertugas sebagai tukang demo saja.
Atau yang lebih menyakitkan kalimat seperti mahasiswa ini hanya sampah saja dalam demokrasi.
Salahkah mahasiswa berpolitik praktis dan menggunakan dunianya sebagai basis pergerakan?
Sejarah telah membuktikan melalui kegiatan politik, kaum mahasiswa mampu melakukan sebagian kebaktian kepada negeri.
Pergerakan Nasional lahir dari ruang-ruang kelas mahasiswa yang terpelajar, reformasi hadir dari gerakan massa dan aktivitas politik mahasiswa.
Dengan suksesi besar titipan peradaban silam, mengapa penciutan mahasiswa dalam porsi perpolitikan harus dilakukan.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ektra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus harus ditinjau kembali.
Kebebasan berpolitik di lingkungan kampus haruslah diberikan semerdeka mungkin selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Mahasiswa harus mendapatkan pendidikan politik melalui praktik, entah itu dengan masuk ke dalam gerbong parpol tertentu, menyebarkan ideologi dan doktrin parpol, ikut berorasi dan menggalang dukungan politik atau bahkan mendirikan partai politik di dan dari lingkungan kampus.
Mahasiswa harus sadar potensi besar kekuatan dan nilai sejarah yang mereka miliki agar mampu melakukan hal yang lebih besar pula dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.***
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau