Oleh: Prof Iqbal Burhanuddin
SCIENTIA atau sains dari bahasa latin yang artinya pengetahuan, yaitu suatu cara untuk mengetahui dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam secara sistematik, terorganisir melalui berbagai metode saintifik yang terbakukan.
Pada masa Raja Harun al-Rosyid yang sangat mementingkan sains selama masa pemerintahan dinasti Abbasiyaah (750 M) bermunculan para ilmuwan muslim yang sangat gemilang dan menjadi sejarah peradaban puncak keemasan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi.
Ketika produksi sains di dunia Islam menurun, mulai abad ke-10 sampai ke-13, di negara-negara Eropa, terutama Spanyol, justru penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan Ibrani dilakukan secepat mungkin.
Hasilnya membawa Eropa meninggalkan Zaman Kegelapan dan lahirnya Zaman Renaisans pada abad ke-14, iklim saintifik yang ujungnya adalah transformasi peradaban Barat menyebar ke seluruh Eropa.
Jika kita menelisik Jepang setelah era pasca PD II dapat dengan cepat bangkit dan kembali menjadi negara yang berpengaruh dalam perkembangan dunia karena mereka menyadari bahwa suatu negara akan maju apabila perkembangan sains dan teknologinya baik.
Dengan penguatan sains dan teknologi secara massif, hingga tahun 2022 sudah ada 27 orang Jepang telah menjadi penerima penghargaan bergengsi, Nobel.
Akhir-akhir ini sedang ramai perbincangan berkaitan kehadiran lembaga riset yang notabene diharapkan menjadi pil ampuh untuk menggenjot inovasi di Indonesia yakni Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyusul peleburan beberapa lembaga riset yang telah lama ada di Tanah Air.
Kalau kita bandingkan dengan lembaga riset yang memiliki bentuk dan struktur organisasi yang khas pada dua negara besar dengan sistem pemerintahan yang berbeda yaitu AS dan China.
Di AS, ada sekitar 70 lembaga riset milik negara, dan di China sekitar 150 lembaga penelitian milik negara. Hal tersebut memunculkan perdebatan berbagai kalangan, apakah peleburan beberapa entitas riset di Indonesia yakni LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN dan KEMENRISTEK, termasuk di dalamnya Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman menjadi satu di bawah komando BRIN begitu urgen dilakukan?
Salah satu kekhawatiran sejak awal dibentuknya BRIN tahun 2019 akan rentan mengganggu independensi ilmuwan dan membuka pintu politisasi.
Kekhawatiran ini beralasan karena terbukti bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN yang didaulat adalah ketua umum partai pemenang pemilu lalu, bukan dari kalangan peneliti.
Pembubaran lembaga riset bersejarah yang ada di tanah air, dan hadirnya BRIN sebagai satu komando, regulator pembuat policy sekaligus lembaga riset pemerintah oleh beberapa pengamat pendidikan dinilainya akan berujung pada malapetaka riset Tanah Air.
Alih-alih akan menghasilkan riset dan inovasi berkualitas, peleburan tersebut akan menimbulkan dekonstruksi kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) di masing-masing lembaga, BRIN sebaliknya membawanya ke dalam pusaran politik partisan.
Sains itu adalah kebenaran hakiki dan sejati yang tentu tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yg hakiki adalah dari Tuhan, namun nasib kebenaran sains kerap berada pada kungkungan kebenaran pragmatis dalam politik dan industri sehingga sering melenceng dari harapan yang seharusnya.***
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin