Oleh Yuni Oktaviani, penulis, penggiat literasi islam, Pekanbaru-Riau
Fenomena karhutla tidak kunjung habis untuk diperbincangkan. Hampir setiap tahun fenomena ini terjadi dan efek sampingnya dirasakan oleh sebagian besar masyarakat setempat. Belum lagi karhutla di Kalimantan Barat kemungkinan akan diperparah oleh kondisi El-Nino kedepannya.
Namun, apakah mungkin penyebab utama karhutla ini hanya akibat dari kondisi cuaca? Atau ada sebab lain yang menyebabkan hampir setiap tahun karhutla ini terjadi? Lantas, apa solusi tuntasnya?
Dikutip dari situs laman resmi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Manggala Agni KLHK bersama Tim Satgas Dalkarhutla terus berjuang melakukan pemadaman lanjutan di wilayah Kalimantan Barat.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Thomas Nifinluri, mengungkapkan pasukan Manggala Agni dan tim gabungan terus berupaya melakukan pemadaman seiring dengan adanya peningkatan hotspot di wilayah Kalimantan Barat. “Luasan karhutla tahun 2023 masih sangat mungkin meningkat seiring dengan adanya pengaruh El-Nino” ungkapnya.
Kasus karhutla di beberapa wilayah di Nusantara, salah satunya Kalimantan Barat tentu bukan lah fenomena baru. Sangat disayangkan karhutla ini terus terjadi tiap tahun, dan angkanya justru semakin tinggi. Sehingga menyebabkan musim kemarau dan semakin memanasnya suhu bumi.
Namun, banyak juga yang berspekulasi bahwa karhutla diperparah oleh pengaruh El-Nino. Sehingga besar kemungkinan karhutla bisa muncul kembali. Hal ini sama saja dengan lingkaran setan yang tidak ada ujungnya jika melihat timbulnya karhutla hanya dari satu sisi. Sementara, sebab dan akibat dari karhutla yang terjadi tidak diperhitungkan dari sisi lain.
Dilansir dari kompas.com Edisi 20 Agustus 2023, Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 perusahaan penyebab karhutla di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 perusahaan diketahui telah berkekuatan hukum. Tujuh perusahaan sedang dalam proses eksekusi dengan nilai Rp 3,05 triliun, dan tujuh sisanya persiapan eksekusi dengan nilai Rp 2,55 triliun.
Meski efek El-Nino dapat memperparah kondisi karhutla di Kalimantan Barat, namun faktor cuaca bukanlah penyebab utama terjadinya karhutla disana. Pada dasarnya karhutla terjadi akibat ulah dari perusahaan atau korporasi yang membakar hutan dan lahan dengan sengaja demi keuntungan pribadi.
Mungkin masih banyak korporasi-korporasi lain yang tidak teridentifikasi melakukan hal yang sama untuk membuka lahan. Dan parahnya, perusahaan atau korporasi ini beroperasi di ekosistem gambut. Bisa dibayangkan, betapa besar efek yang akan ditimbulkan dari karhutla ini nantinya. Sehingga, ganti rugi materi tidak akan bernilai jika dibandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran hutan tersebut.
Kapitalisasi Hutan dan Lahan Memperparah Keadaan
Pembakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bentuk kapitalisasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tanpa mau rugi. Tentu membuka lahan dengan membakarnya ini lebih menguntungkan jika dibanding dengan cara lain. Meskipun efek yang ditimbulkan sangat lah merugikan masyarakat sekitar.
Dengan adanya karhutla, sudah pasti keberadaan lahan gambut yang mampu menyimpan air akan semakin berkurang. Akibatnya, lahan akan kekeringan sehingga mudah terbakar oleh cuaca panas.
Jika karhutla tidak dihentikan, maka kerugian yang dirasakan oleh masyarakat banyak akan semakin besar, seperti bencana alam banjir, longsor, dan lain-lain, serta timbulnya infeksi pernafasan ulah asap dari karhutla yang dilakukan. Karena itu, harus ada tindakan tegas dari pemerintah terkait pembakaran hutan ini.
Masalahnya, apakah pemerintah mampu dan mau menindak tegas korporasi-korporasi yang melakukan karhutla tersebut sehingga banyak kerusakan yang ditimbulkan? Mengingat bahwa pemerintah sendirilah yang membuat regulasi yang melegalkan adanya pengolahan hutan dan lahan agar roda perekonomian bisa berjalan seperti yang tertuang dalam UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan.
Sehingga, bukan tidak beralasan banyak korporasi di negeri ini yang membakar hutan atau lahan dan mengelolanya secara serampangan karena mengacu pada regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Alih-alih menindak tegas, korporasi raksasa ini tetap diakui keberadaannya dan masih tetap beroperasi, mengulang kesalahan yang sama kembali di tahun berikutnya.
Adapun pemerintah, hanya sebatas meminta ganti rugi kepada pihak korporasi yang nilainya tidak seberapa dibanding banyak kerusakan yang dihasilkan dari karhutla. Ekosistem gambut dan lahan menjadi hilang, rakyat menderita dengan asap, polusi, kekeringan, dan bencana alam. Sementara, pihak korporasi bergelimangan cuan atau keuntungan, buah dari pembakaran hutan dan lahan secara rakus.
Begini Pengelolaan Hutan dan Lahan Secara Islam
Apabila berbicara tentang kapitalisasi hutan dan lahan, maka tidak akan jauh-jauh dari jargom kapitalisme itu sendiri yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang seminimal mungkin. Maka tidak heran ketika sumber daya alam berupa hutan ini dikeruk sampai habis, dikelola dengan sembarangan tanpa memerhitungkan akibatnya karena berasaskan pada paradigma kapitalisme itu sendiri.
Berbeda ketika Islam yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Dalam Islam, hutan yang merupakan sumber daya alam milik umum hanya boleh dikelola oleh negara, bukan swasta atau perusahaan-perusahaan milik pribadi. Dari pengelolaan oleh negara tadi, hasilnya akan dibagikan kepada rakyat secara umum, untuk infrastruktur, dan fasilitas umum lain yang diperlukan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal, yakni air, padang gembalaan, dan api”. (HR. Imam Ahmad)
Agar roda perekonomian negara tetap berjalan, maka lahan-lahan yang kosong atau terbengkalai lebih dari tiga tahun akan menjadi tanah mati, dan negara berhak memberikannya kepada siapa pun untuk dikelola dan dimanfaatkan. Sehingga keberadaan lahan kosong yang tidak produktif pun bisa dicegah.
Berbeda dengan kapitalisme yang masih memberikan ruang bagi swasta untuk mengelola hutan dan lahan dimana sejatinya adalah milik umum, serta tidak mampu menindak tegas pelaku pembakaran hutan yang meningkat setiap tahun hasil dari regulasi yang salah kaprah dari pemerintah. Justru ketika syariat Islam diterapkan, maka perusahaan yang melakukan pembakaran hutan secara ugal-ugalan akan ditindak tegas oleh negara atau Khalifah.
Ekosistem pun terjaga, rakyat sejahtera, dan pemasukan negara pun lancar jaya tanpa kendala buah dari pemanfaatan sumber daya alam sesuai aturan Islam. Pihak korporasi atau swasta tidak akan bebas mengeruk hasil bumi atau bahkan melakukan pembakaran jika aturan Islam diterapkan.
Wallahu a’lam bis-shawab.
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.