Oleh : Alfiah, S.Si
Fakta ini bukan tentang kebiadaban zionis Israel yang mengepung dan menangkap warga Palestina. Bukan juga cerita tentang Uighur yang kotanya mencekam karena pendudukan tentara Cina. Ini tentang fakta di bumi nusantara yang masyarakatnya tersandera di tanah kelahirannya sendiri. Bumi yang katanya menjunjung tinggi norma dan adab yang tinggi.
Wadas, menjadi viral karena keganasan aparat demi memuluskan Proyek Strategi Nasional.
Akal waras siapa yang tak meronta, ketika warga Desa Wadas dicekam ketakutan, sementara para pejabat yang tak berada di lokasi kejadian menganggap Wadas sedang baik-baik saja.
Jika memang tambang batu andesit di Desa Wadas yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) akan membawa kemaslahatan rakyat, mengapa warga tak rela melepas tanahnya? Apakah tidak bisa dirembukkan dan dibicarakan baik-baik oleh warga?
Bahkan beredar informasi bahwa saat pengukuran lahan itu, listrik dan jaringan internet di a Wadas dimatikan. Dugaan mengarah agar proses pengukuran lahan itu yang menimbulkan konflik tidak meluas ke jagat maya. Padahal konflik yang terjadi di Desa Wadas terkait proyek pembangunan tambang batu andesit untuk material Bendung Bener bukan kali ini saja.
Warga menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Mereka mengatakan, penambangan itu akan membuat rumah dan ladang tempat mereka mengais rezeki secara turun temurun akan digusur.
Berdasarkan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Kabarnya Bendungan Bener ditargetkan menjadi bendungan tertinggi nomor dua di Asia Tenggara dengan rincian: tinggi 159 meter, panjang timbunan 543 meter, dan lebar bawah sekitar 290 meter.
Apalah arti proyek megah, jika harus menumbalkan keadilan dan penghidupan rakyat. Pantas saja warga Wadas tidak bisa memaafkan dengan mudah perilaku pemerintah dan aparat yang telah mengepung dan mengintimidasi mereka. Apalagi aparat yang dikerahkan sekitar 1.000-an ke Desa Wadas. Tentu saja hal ini membuat mereka ketakutan.
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia menyatakan perlakuan pemerintah dan aparat terhadap warga Desa Wadas bukan saja membuat tidak nyaman, melainkan satu bentuk represi dan intimidasi. Jelas hal ini adalah bentuk penggaran HAM.
Sesungguhnya bukan hanya Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jateng yang harus bertanggung jawab terhadap kasus Wadas. Presiden Jokowi sebagai kepala negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini.
Belajarlah dari Khalifah Umar.ra
Sesungguhnya amat banyak keteladanan yang bisa di contoh dari sahabat Umar bin Khattab. Satu waktu, ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduganya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Yahudi yang digusurnya.
Terheran-heran, sang Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Demikianlah hendaknya pemimpin. Tidak menutup mata terhadap kezhaliman yang dialami rakyatnya. Tidak bersikap tuli terhadap jerit tangis warganya. Tidak bersikap bisu terhadap amanah yang harus diurusnya.
Wahai para pejabat, aparat, birokrat terutama pemimpin negeri ini takutlah pada hari yang tidak ada naungan kecuali dari naungan Allah, Rabb Semesta Alam. Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam hadistnya : “Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR Ahmad).
Seorang pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada Hari Pembalasan. “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).
Wallahua’lam bissawab. ***
Penulis seorang pegiat literasi Islam