Oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
PENOLAKAN Organisasi Profesi (OP) cenderung tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik dan pelayanan terhadap pasien. Mengapa? Jika kita telisik isi dari RUU Kesehatan, yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah, justru sekitar 85% terkait langsung dengan perbaikan pelayan kesehatan, dan ini sangat jarang dibahas oleh OP dalam forum publik.
Sedangkan, sisa 15% dijadikan bahan protes dan polemik oleh OP seolah-olah RUU ini isinya hanya tentang wewenang OP dan bukan tentang kepentingan masyarakat luas.
Hal terkait 15% ini mengatur sumber daya tenaga kesehatan yang di dalamnya ada pengaturan, antara lain tentang wewenang penerbitan izin untuk praktek, pendidikan dokter spesialis, perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan dan juga eksistensi OP yang yang terdiri dari IDI, PPNI, PDGI, IBI dan IAI.
Tataran perdebatan yang melibatkan OP terkait RUU Kesehatan ini hanya berkutat pada “apa yang akan aku dapatkan dan apa yang terbaik untuk aku”, bukan “apa yang terbaik untuk pasien dan apa yang terbaik untuk kesehatan masyarakat”.
Padahal isi RUU ini utamanya akan merubah paradigma kebijakan kesehatan dengan memprioritaskan pencegahan masyarakat dari jatuh sakit melalui penguatan promotif dan preventif, menambah tenaga-tenaga kesehatan untuk pelayanan primer, memperluas pelayanan kesehatan rujukan ke daerah-daerah yang sulit sehingga terjadi pemerataan lebih baik.
Di samping itu, juga ada pengaturan agar mutu pelayanan rumah sakit dapat ditingkatkan, industri alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat lebih maju, sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja dan membuat harga obat menjadi lebih murah.
RUU ini juga akan mendorong riset berbasis genetik, sehingga kita dapat memproduksi obat-obatan canggih dan presisi serta memberi landasan hukum untuk layanan telemedisin, yang hingga saat ini belum teregulasi.
Persoalan krisis dokter spesialis juga diharapkan dapat tertangani dalam RUU ini, sehingga kecukupan akan dokter dan dokter spesialis di seluruh Indonesia dapat dicapai dalam 5 tahun ke depan. Tanpa RUU, diprediksi kecukupan dokter spesialis baru akan tercapai dalam lebih dari 30 tahun ke depan.
Jika RUU Kesehatan ini bagus untuk meningkatkan layanan kepada pasien dan masyarakat luas, mengapa justru ditolak oleh OP.
Keributan di media massa dan sosial media sebenarnya berfokus pada masalah nama OP yang tidak disebutkan di RUU, wewenang OP yang sebagian dihilangkan, dan OP tidak lagi tunggal. Wewenang yang hilang ini terkait pemberian “rekomendasi” untuk mendapatkan surat izin praktek.
Sejak 2004, wewenang penuh pemerintah untuk menerbitkan Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) dialihkan sebagian besar ke IDI.
Secara formal memang benar STR dikeluarkan oleh lembaga negara Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP oleh pemerintah daerah. Namun, dalam prosesnya peran OP sangatlah besar. Contoh, KKI tidak bisa menerbitkan STR untuk dokter jika kolegium belum menyetujui satuan kredit profesi (SKP) dokter bersangkutan dinilai cukup. Kolegium saat ini berada di bawah IDI.
Pemda tidak bisa menerbitkan SIP untuk dokter jika IDI setempat dan persetujuan perhimpunan dokter spesialis (untuk dokter spesialis), yang juga di bawah IDI, tidak mau mengeluarkan “rekomendasi”.
Peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang “perizinan” tidak ada contohnya di negara maju dan bahkan di negara tetangga kita Malaysia, Singapura dan Thailand. Masalah izin dan jaminan menjaga kompetensi dokter sepenuhnya wewenang pemerintah tanpa terikat atau bahkan tersandera oleh organisasi profesi dalam proses penerbitannya.
Jadi penolakan terhadap RUU bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan kelompok yang selama hampir 20 tahun ini memiliki berbagai kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah.
Inti penolakan ini dikaburkan dengan berbagai pernyataan yang tidak tepat. RUU Kesehatan ini dianggap seolah-seolah akan menyebabkan membanjirnya dokter asing ke Indonesia, kriminalisasi dokter, penghilangan sistem pengawasan dokter sehingga kualitas dokter akan turun, menurunkan mutu pendidikan residen, sampai memusatkan wewenang Kemenkes.
Narasi Indonesia akan dijajah dokter asing juga lucu. Para elit OP ini seolah-olah menutup mata dan tidak melihat ada masalah di pelayanan kesehatan, ketika setiap tahun jutaan warga Indonesia dari golongan menengah atas berbondong-bondong berobat ke luar negeri dan menghabiskan Rp 160 triliun devisa di sana.
Ini merupakan salah satu indikasi ada masalah besar dalam dunia kesehatan kita. Ada masalah ketidakpercayaan publik. Sudah waktunya IDI dkk sadar untuk berbenah diri dan tidak saja memikirkan wewenang yang akan hilang.
Sebelum tahun 2004, IDI tidak memiliki wewenang apa pun dalam menerbitkan ‘rekomendasi’ dan lain-lain. Namun organisasi ini tetap hidup dan bahkan jauh lebih terpandang.
Resistensi terhadap reformasi pasti selalu ada, terutama oleh pihak-pihak yang kenyamanannya terganggu. Pelajaran dari berbagai negara, reformasi sistem kesehatan tidak akan berjalan jika landasan hukum tidak diperbaiki. Oleh karena itu reformasi sistem kesehatan di Indonesia dimulai dengan penyusunan RUU Kesehatan ini.
Dan mari kita berdebat bukan dalam tataran “Untuk Aku” tapi dalam tataran “Untuk Pasien dan Untuk Masyarakat”.***
Penulis Guru Besar Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada & Praktisi Kesehatan
Sumber: Detik