
Oleh : Alfiah, S.Si
Entah apa yang merasuki rezim negeri ini. Sudahlah publik digemparkan dengan terbunuhnya 6 laskar FPI secara sadis oleh aparat kepolisian, tanpa bersalah dan gagah Polda Metro Jaya menetapkan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka pelanggaran prokes.
Dalam perkara ini Habib Rizieq disangkakan Pasal 160 dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216 KUHP.
Hal ini tentu mencederai rasa keadilan, mengingat polisi seakan tebang pilih dalam menindak pelaku pelanggaran prokes.
Padahal jika mencermati fakta berbagai kerumunan yang dihadiri Habib Rizieq Shihab, bukanlah dengan kesengajaan. Massa yang hadir bukanlah massa yang diundang tapi mereka hadir karena dorongan kerinduan dan kecintaan terhadap seseorang yang mereka anggap sebagai tumpuan harapan.
Padahal jika kepolisian berlaku adil, harusnya setiap kerumunan yang berpotensi meningkatkan penyebaran virus corona harus ditindak tegas. Namun yang terjadi justru sebaliknya, polisi seakan menutup mata terhadap berbagai kerumunan, kecuali kerumunan yang dihadiri Habib Rizieq Shihab.
Seperti diketahui, pada 29 November 2020 terjadi kerumunan massa yang menghadiri Haul Akbar Tuan Syekh Abdul Qodir Al Jailani di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Istiqlaliyah, Kampung Cilongok Desa Sukamantri Kecamatan Pasar Kemis ini merupakan karomah dari wali Allah, Tuan Syekh Abdul Qodir Al Jaelani.
Selain dihadiri masyarakat biasa, acara tersebut ternyata juga dihadiri sejumlah tamu VIP yaitu aparatur Pemerintah diantaranya, Gubernur Banten, Bupati Tangerang, Kapolda Banten, Kapolresta Tangerang dan Dandim 0510 Tigaraksa dan tamu luar negeri.
Ironisnya, massa yang hadir banyak yang tidak mengenakan masker dan melakukan pelanggaran protokol kesehatan lainnya.
Sebelumnya, pada 15 November 2020 ribuan anggota Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Satuan Koordinasi Cabang (Satkorcab) Kabupaten Banyumas, juga membuat acara yang memancing kerumunan massa, yakni membentangkan Bendera Merah Putih sepanjang 1 kilometer di sepanjang jalan-jalan utama Kota Purwokerto, sejak siang hingga petang.
Anehnya, tak ada sorotan khusus dari pihak kepolisian atas kegiatan yang juga menyedot banyak massa ini.
Jangan tanya bagaimana respon kepolisian terhadap kerumunan massa saat Gibran Rakubuming mendaftar sebagai calon walikota Solo.
Semuanya ambyar dan publik dibuat kecewa dengan pernyataan-pernyataan kepolisian terhadap berbagai kerumunan yang dilakukan keluarga atau pendukung rezim.
Tidakkah negeri ini belajar dari kehancuran kaum terdahulu?
Cukuplah kiranya peringatan Rasulullah SAW kepada kita melalui hadist dari Aisyah ra.
Beliau menceritakan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang kedapatan mencuri. Mereka berkata ‘Siapakah yang bisa melobi rasulullah saw?’ Merekapun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah saw’. Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah saw (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah saw. Kemudian bersabda, ‘Apakah engkau memberi syafaat (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah saw. Pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) diantara mereka mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang yang lemah (rakyat biasa) maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya’,” (HR. Bukhori).
Hari ini kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana berbagai ketidakadilan dipertontonkan secara telanjang di depan mata.
Koruptor milyaran bahkan trilyunan bisa bebas dengan berbagai alasan. Sementara ketika ada rakyat jelata mencuri sebutir semangka atau kakao semata untuk menghilangkan rasa lapar berujung di jeruji.
Jika yang melakukan ujaran kebencian aktivis Islam, polisi sigap menangkap, tapi jika yang melakukan penghinaan anak konglomerat, aparat justru tiarap.
Yang lebih ironis banyak ulama dikriminalisasi dengan fitnah keji, semantara separatisme yang jelas-jelas mengancam negeri, tak berani unjuk gigi.
Sudah saatnya keadilan ditegakkan seadil-adilnya. Dan kita tidak bisa berharap terhadap sistem demokrasi yang sudah cacat sejak lahirnya.
Hanya sistem Islam yang bisa memberi harapan. Mengemis keadilan dalam sistem demokrasi ibarat pungguk merindukan bulan.***
Penulis merupakan seorang pendidik