Kamis, 28 Maret 2024

Menghentikan Kekerasan Pada Anak Dengan Solusi Islam

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 

Oleh : Nelly, M.Pd

Setiap orang tua pastinya menginginkan anak-anak tumbuh dengan sehat, cerdas, saleh dan tak kurang suatu apapun. Begitu juga dengan anak-anak calon generasi penerus bangsa pastinya mendambakan kehidupan yang ramah pada mereka, keamanan terjaga dan jauh dari kekerasan dan pelecehan yang akan merusak masa depan mereka.

Namun fakta berkata lain, fenomena kekerasan terhadap anak selalu saja menjadi momok yang menakutkan di negeri ini. Setiap tahun angka kekerasan selalu saja mengalami peningkatan dan ini terjadi dihampir semua daerah di tanah air. Seperti data terbaru yang dilansir dari laman berita SuaraJogja.id – Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bantul masih sangat tinggi. Bahkan dibandingkan dengan 2019, jumlah kasus di Bumi Projotamansari tahun 2020 ini berdasarkan catatan sampai dengan Oktober lalu sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bantul Muhamad Zainul Zain menyebut, pada 2019 jumlah laporan yang masuk kepada PPA tercatat ada 155 kasus. Sedangkan di 2020, yang baru dihitung sampai dengan Oktober kemarin, jumlah kasus sudah menembus angka 120 kasus terlapor. “Ini tentu kondisi yang sangat memprihatinkan. Perlu ada upaya dan tindakan yang nyata dalam mengatasi persoalan ini,” kata Zainul saat dikonfirmasi SuaraJogja.id, Ahad (8/11/2020).

Sementara itu dilansir dari laman berita Republika.co.id, – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur Andriyanto mengungkapkan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020. Data Sistem Informasi Online Kekerasan Ibu dan Anak (Simfoni) mengungkapkan adanya 1.358 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim, yang tercatat hingga 2 November 2020.

Andriyanto mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Kekerasan kepada ibu dan anak ini mengalami kenaikan juga selama pandemi covid-19. Menurutnya masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah, sementara ekonomi sedang mengalami penurunan, kebutuhan hidup mesti dipenuhi. Kondisi ini memicu emosi sangat mudah tersulut. Hingga memunculkan pelampiasan, yang menjadi korban kekerasan oleh orang tua tentunya adalah anak.

Mirisnya lagi selain angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus yang terus mengalami lonjakan yaitu tingginya angka perceraian di wilayah setempat. Masih dari data Simfoni, sepanjang tahun 2019 tercatat hanya ada 8.303 kasus perceraian. Namun angka itu meningkat drastis pada tahun 2020 yang hingga akhir September tercatat ada 55.747 kasus perceraian.

Sebagaimana diketahui fakta yang terjadi pada perceraian, maka suka tidak suka, mau tidak mau, bahwa yang terdampak adalah anak-anak. Pada konteks perlindungan anak akan muncul kasus penelentaran anak, kenakalan anak akibat broken home, anak salah pergaulan, pengasuhan anak yang rendah, dan kasus traficking anak.

Artinya memang harus ada komitmen dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan kekerasan terhadap anak tersebut demi menghindari konflik sosial. Kalau masalah ini dibiarkan dan belum bisa diatasi maupun ditangani oleh pemerintah, maka bisa menyebabkan persoalan konflik sosial akan terus terjadi dan tak berkesudahan.

Bicara masalah kekerasan terhadap anak, sebenarnya para punggawa negeri telah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Berbagai langkah dilakukan baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi anak-anak di negeri ini. Diantaranya yaitu Indonesia telah merativikasi Konvensi Hak Anak dengan keputusan PresidenNo.36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan hak anak telah dijamin oleh UU.

Kemudian pemerintah juga melalui Kementerian pemberdayaan perempuan membentuk berbagai perlindungan bagi anak, ada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), ada Lembaga Perlindungan Anak (LPA), LSM, organisasi sosial dan sektor terkait di tingkat pusat untuk memprakondisikan rencana pengembangan RPSA di berbagai propinsi.

Ada juga KPAI yang dibentuk di bawah pemerintah yang khusus menangani berbagai kasus kekerasan terhadap anak.

Namun alangkah mirisnya, setiap tahun kekerasan terhadap anak terus terjadi, bukannya lebih menurun, malah makin meningkat. Padahal ditingkat daerah pun sudah ada berbagai langkah penanggulangan juga, seperti implementasi Perda di salah satu daerah seperti Bantul terkait kekerasan terhadap anak yang telah diketok sekitar dua tahun lebih ternyata tetap belum efektif. Jika memang sudah baik, tentunya Bantul sudah mendapat predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) sejak beberapa tahun lalu.

Inilah kenyataan yang begitu memprihatinkan, anak-anak tumbuh dan hidup di tengah ancaman kekerasan yang pastinya akan berdampak bagi masa depan generasi bangsa. Dari semua langkah yang telah diambil oleh para punggawa negeri artinya memang sistem perlindungan anak di Indonesia belum mampu mencegah, melindungi dan menghentikan kekerasan terhadap anak. Solusi belum menyentuh akar masalah, yang ada hanya menimbulkan masalah baru.

Di sinilah penyelesaian problem anak di Indonesia membutuhkan perubahan sistem. Sebab kekerasan terhadap anak itu terjadi disebabkan oleh berbagai aspek yang saling berkaitan. Baik faktor ekonomi, keluarga, masyarakat dan negara sangat berperan dalam kasus kekerasan terhadap anak.

Sebagaimana diketahui sistem aturan yang diadopsi bangsa ini tak mampu membentuk individu masyarakat yang beriman dan bertakwa. Hingga segala bentuk kekerasan dan kriminalitas marak terjadi.

Maka untuk menyelesaikan problem terhadap anak harus ada sistem ideal, sistem aturan tersebut adalah Islam, yang bisa menjamin kesejahteraan dan kehormatan anak-anak generasi penerus peradaban. Naungan sistem Islam, memungkinkan sistem hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang berpadu selaras.

Harmoni tersebut sangat memadai untuk tumbuh kembang generasi emas yang kuat, produktif, dan bertakwa.

Sejarah gemilang sistem Islam terbukti menjamin semua itu. Langkah nyata yang tepat untuk saat ini ialah melakukan evaluasi mendasar yang menyeluruh terhadap hasil kebijakan terkait perlindungan anak. Bila banyak kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan misi perlindungan anak, maka sudah selayaknya semua pihak berkomitmen melakukan perubahan.

Perubahan yang dimaksud bukan sekadar revisi perundang-undangan anak atau menggagas peraturan baru. Namun, menurutnya, yang dibutuhkan adalah adanya perubahan sistem yang mendasar. Islam adalah sistem politik yang menjadi pelindung umat. Sistem itu menjamin kebutuhan dasar umat hingga terwujud kesejahteraan.

Sistem Islam jika diterapkan dalam negara tidak akan berkompromi dengan kepentingan materi dan membiarkan merebaknya pemikiran maupun perilaku rusak, seperti kekerasan dan kepornoan di tengah umat. Sistem Islam terbukti kompatibel mengayomi negara plural sejak Rasululullah Muhammad memerintah Madinah.

Baik dilihat dari segi dalil dan fakta sejarah, tentunya sistem Islam merupakan satu-satunya sistem yang cocok untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam memiliki paradigma yang khas dalam penyelesaian kasus kekerasan dan kejahatan anak. Islam menangani masalah kekerasan anak dengan penerapan aturan yang integral dan komprehensif.

Pilar pelaksana aturan Islam adalah negara, masyarakat, dan individu/keluarga. Sebab tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan anak jika yang melakukannya hanya individu atau keluarga.

Negara memiliki beban sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Nasib anak menjadi kewajiban Negara untuk menjaminnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yagn memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim).

Negara adalah benteng sesungguhnya yang melindungi anak-anak dari kejahatan. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, melalui penerapan berbagai aturan, yaitu: pertama, dengan penerapan sistem ekonomi Islam.

Beberapa kasus kekerasan anak terjadi karena fungsi ibu sebagai pendidik dan penjaga anak kurang berjalan. Karena tekanan ekonomi memaksa ibu untuk bekerja meninggalkan anaknya. Bahkan musibah besar pernah terjadi ketika seorang ibu tega memutilasi darah dagingnya sendiri karena tidak kuat menghadapi kesulitan hidup.

Kedua, dengan penerapan sistem pendidikan, Negara wajib menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang akan melahirkan individu bertakwa. Individu yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban yang diberikan Allah dan terjaga dari kemaksiatan apapun yang dilarang Allah.

Ketiga, penerapan sistem sosial, Negara wajib menerapkan sistem sosial yang akan menjamin interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan berlangsung sesuai ketentuan syariat.

Ke empat, pengaturan media massa, berita dan informasi yang disampaikan media hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apapun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara akan dilarang keras.

Kelima, penerapan sistem sanksi, Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para pelaku kejahatan, termasuk orang-orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan anak.

Hukuman yang tegas akan membuat jera orang yang terlanjur terjerumus pada kejahatan dan akan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan tersebut.
Sementara, masyarakat juga wajib melindungi anak-anak dari kekerasan. Masyarakat wajib melakukan amar ma’ruf nahiy munkar.

Masyarakat tidak akan membiarkan kemaksiatan massif terjadi di sekitar mereka. Masyarakat juga wajib mengontrol peranan Negara sebagai pelindung rakyat. Jika ada indikasi bahwa Negara abai terhadap kewajibannya atau Negara tidak mengatur rakyat berdasarkan aturan Islam maka masyarakat akan mengingatkannya.

Seperti itulah gambaran sistem Islam yang diterapkan negara dalam menyelesaikan segala kekerasan terhadap anak. Maka sudah semestinya negara saat ini berbenah, jika sistem aturan negara salah, semestinya negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utama kekerasan anak yaitu penerapan ekonomi kapitalis, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi.

Langkah yang tepat yaitu negara mengambil Islam dan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara. Insya Allah akan didapatkan kehidupan yang berkah dan mulia.

Wallahu’alam bis showab***

Penulis merupakan Akademisi dan Aktivis Peduli Generasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *