Oleh: Azzumar Nazif
Sudah sekian lama rasanya tak merasakan suasana mudik, mungkin sudah lebih dua dasawarsa barangkali 😀. Jika mudik diartikan sebagai pulang ke kampung halaman, pertanyaannya dimanakah kampung halaman sebenarnya???
Misalnya saya, lahir dan besar di kota kecil Bangkinang dari pasangan perantau Minang. Kedua orang tua masih hidup dan berdomisili di sana… Sehingga mudik saya lebih condong ke Bangkinang ketimbang ke kampung halaman orangtua di ranah Minang.
Tapi dalam tradisi Minang, sebagai anak keturunan minang maka mudik dimaknai kembali ke tanah leluhur dan selamanya terikat oleh kultur merantau dan pulang.
Sepanjang ingatan saya, selama periode saya sekolah dasar, nyaris tidak pernah bapak dan ibu memboyong kami anak anaknya mudik lebaran. Selain karena ekonomi yang memang sulit ketika itu, juga dipengaruhi oleh ibu saya dan kami rata rata anaknya adalah penderita mabuk darat yang akut. Apatah lagi kalau sudah musim mudik jangan harap mendapatkan tempat duduk yang nyaman di bus, bangku tempel alias bangku serap pun tak kebagian.
Biasanya bus bus dari Pekanbaru sudah penuh dari loket, sehingga jika kita menyetop bus di Bangkinang yang tersisa bangku serap satu atau dua yang tidak akan bisa mengangkut sekeluarga.
Pada masa sekolah dasar ini saya sedikit beruntung bisa ikut mudik dengan saudara Bapak (Mak tuo) yang kebetulan sudah berkecukupan. Pak tuo suaminya yang pegawai Caltex itu sudah memiliki mobil sendiri, Toyota Kijang Petak warna putih yang pada masa itu sudah termasuk kendaraan mewah.
Saya penumpang ekstra karena sebenarnya mobil itu sudah penuh diisi dua keluarga, Mak tuo dan Mak angah. Maka disisipkanlah saya diantara tumpukan tas dan kardus kardus serta ban serap dan kunci kunci mobil di bangku paling belakang 😁😁 apapun kondisinya, saya sudah sangat bersyukur sob, dapat mudik gratis plus ditanggung makan dan minum di restoran selama perjalanan…. Dimana waktu itu makan dan minum di restoran adalah sebuah kemewahan bagi saya (Semoga kebaikan mereka menambah timbangan amal jariah) 😭😭
Adalah sekitar 3-4 kali selama periode itu saya menikmati mudik bersama Mak tuo saya yang baik itu. Biasanya kami berangkat 1-2 hari sebelum lebaran. Pernah sekali waktu ketika sudah sampai di Payakumbuh yang mayoritas ikut Muhammadiyah di sana masyarakat sudah berbuka tapi sholat Id nya keesokan harinya bersama Pemerintah. Kata orang orang situ puaso satangah hari 😁😁
Mudik kala itu belum kita jumpai kemacetan yang akut seperti yang terjadi sekarang. Ketika itu yang mudik memang murni para perantau Minang, bukan kaum traveler yang seperti hari ini. Transportasi publik yang tersedia baru sebatas Bus Bus AKAP belum jamak mobil rental atau sepeda motor. Kendati demikian kemacetan juga terjadi karena jalan raya yang belum sebagus dan selebar sekarang. Biasanya yang menyebabkan kemacetan adanya kecelakaan atau truk terguling melintang jalan. Tapi sekali lagi macetnya tidak separah hari ini, dimana Pekanbaru – Bukittinggi ditempuh 18-24 jam 🤔🤔 wayoiiik….
Ketika masa sekolah di SMP saya sudah tidak ikut lagi mudik bersama Mak tuo saya itu. Agaknya masa itu saya sudah punya agenda lebaran bersama kawan sejawat atau jangan jangan saya sudah tidak muat buat diselipkan di tumpukan kardus ya….?? 😀😀. Ketika itu Bapak dan ibu saya juga belum pernah mudik lebaran sekeluarga, dengan alasan ekonomi juga tentunya 😭😭
Bagaimana ibu saya mengunjungi Nenek kami di kampung? Seingat saya biasanya Ibu pulang kampung sesekali di hari luang selain lebaran, tentunya dengan perjuangan melawan trauma mabuk darat sepanjang perjalanan. Yang biasa dibawa adik kami yang paling kecil.
Dari cerita ibu, bahkan adik kami itu diasuh oleh seorang penumpang sebelah yang baik hati karena kasihan melihat ibu saya yang nyaris tak mampu ngapa ngapain karena mabuk perjalanan….
Balik dari kampung biasanya Ibu yang dibekali nenek dengan segala macam kebutuhan dapur, mulai dari beras, cabe, sayur sayuran yang memang dihasilkan dari sawah ladang nenek kami itu, tak lupa juga ibu selalu dibekali dengan Rendang dengan citarasa terbaik yang dimasak oleh nenek.
Meski tinggal di kampung, Nenek kami memiliki kemampuan ekonomi yang agak baik daripada Ibu saya yang hidup di perantauan. (Airmata tumpah saat saya menuliskan paragraf ini 😭😭semoga Allah mengampuni segala dosa dosa beliau dan Allah senantiasa merahmatinya)
Jika ibu memilih hidup tinggal di Kampung mungkin ia bisa hidup lebih baik dari hasil sawah dan ladang nenek kami. Tapi Ibu lebih memilih untuk pergi merantau seperti kebanyakan perempuan Minang yang mengikuti suaminya. merantau adalah kultur atau bahkan “kutukan” yang melekat erat di jiwa orang orang Minang dahulu, hari ini hingga akhir zaman….
Ketika masa SLTA, saya memilih untuk sekolah di Padangpanjang. Saya tinggal dibawah pengasuhan nenek. Pada masa inilah Bapak dan ibu ada kemampuan untuk mudik sekeluarga. Seingat saya sebanyak dua kali lebaran ibu mudik. Berangkat naik Bus dan balik mencarter oplet untuk balik ke Bangkinang.
Saat itu kondisi nenek sudah mulai uzur, punggungnya bongkok hampir 90° tapi jangan remehkan fisiknya dalam masa sudah bongkok ini sempat juga sekali atau dua kali ia mengunjungi kami di Bangkinang, ibu saya kadang tak sampai hati makanya diusahakan sekuat tenaga untuk mudik beberapa kali menjelang nenek kami wafat, dan ibu sudah berangsur angsur bisa menaklukkan mabuk perjalanannya…***
–PKU060522–
Tulisan ini telah dipublikasikan pertama kali di laman Facebook Azzumar Nazif RangPisang
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.