
Oleh : Alfiah, S.Si
Publik dihebohkan mural bergambar wajah mirip Presiden Jokowi di bawah jembatan kota Tanggerang. Mata dari sosok wajah di mural itu tertutup tulisan ‘404: Not Found’. Sontak saja mural tersebut viral dan masuk dalam trending twitter. Mural tersebutpun akhirnya dihapus sementara pembuatnya diburu aparat.
Mural sendiri adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen. Di sejumlah negara, mural menjadi medium para seniman untuk menyampaikan kritik. Tampaknya terlalu berlebihan jika kritik berupa seni yang harusnya diapresiasi dan direnungi malah duanggap zombi yang ditakuti sehingga pembuatnyapun diburu polisi.
Tak hanya di kota Tanggerang, mural yang menyinggung pemerintah juga ada di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Mural tersebut bergambar dua karakter dan bertulisan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’. Mural itu juga telah dihapus dan pembuatnya diburu.
Anggota DPR RI Fadli Zon sendiri meminta semua pihak tidak berlebihan menanggapi mural ‘Jokowi 404: Not Found’ di Tangerang, yang sempat viral di media sosial. Fadli juga menyebut agar pembuat mural tersebut tidak perlu dicari oleh aparat lantaran itu sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Toh..negeri ini katanya negara yang demokratis. Harusnya kebebasan menyampaikan pendapat atau kritik rakyat terhadap penguasa tidak dianggap tindakan kriminal.
Seyogyanya berbagai bentuk kritik dari rakyat terhadap penguasa, apakah dengan demonstrasi, meme, mural, dan sebagainya mesti dijadikan instropeksi pemangku negeri ini. Pasti ada ketidakadilan yang dirasakan rakyat sehingga muncul letupan-letupan sebagai bentuk protes atas abainya pelayanan negara terhadap rakyat. Selama kritik itu wajar, harusnya tak dihadapi sangar.
Menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyebut ada sejumlah norma dan standar yang bisa dijadikan panduan oleh negara dalam mengatur kebebasan berekspresi, termasuk di antaranya mural. Semuanya itu bisa diunduh dan dijadikan panduan kebijakan negara. Biar ukurannya bukan perasaan tersinggung atau tidak.
Keteladanan Para Khalifah Menerima Kritik
Khalifah Umar Bin Khatab memberikan keteladanan yang baik dalam kepemimpinan. Beliau justru senang ketika dikritik oleh rakyatnya, karena sadar kritik sejatinya bisa mendatangkan maslahat bersama. Diambil contoh ketika Umar Bin Khatab pernah di kritik oleh seorang perempuan secara terbuka. Beliau tak marah, justru berterima kasih.
Pula di masa Bani Umayah, pada suatu hari Atha’ Bin Rabbah Rahimahullah, seorang alim di masa generasi Tabiin, mendatangi Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Ketika beliau datang, ada pula beberapa pejabat Hisyam yang sedang berbincang-bincang. Melihat kedatangan Atha’ yang karismatik itu, mereka pun menghentikan pembicaraan.
Sang Khalifah menyambut Atha’: “Apa keperluanmu wahai Abu Muhammad (panggilan Atha’) ?”
“Ya ada” lalu Atha’ mengingatkan bantuan pemerintah untuk penduduk Najd, Hijaz, dan daerah perbatasan”. Hisyam menyanggupi semuanya, hingga Atha’ mengingatkan tentang Jizyah bagi para ahlu dzimah. Supaya ditegakkan sebatas kesanggupannya. Khalifah Hisyam pun bilang “oke!”.
“Ada keperluan lagi wahai Abu Muhammad?” Tanya Hisyam lagi.
Jawab Atha’: “Ya ada, wahai Amirul Mukminin. Bertaqwalah kepada Allah, karena anda diciptakan sendirian, matipun sendirian, di Padang Mahsyar (bertanggung jawab) sendirian, dan di hisab sendirian. Demi Allah tidak ada seseorang yang engkau lihat.”
Hisyam Bin Abdul Malik pun tertunduk dan menangis.
Demikianlah seharusnya pemimpin. Bersikap legowo ketika ada yang menasehati, tidak anti kritik namun justru terbuka menerima kritik dan masukan. Kalau dulu ada firaun yang takut akan kelahiran seorang bayi laki-laki. Sehingga memerintahkan seluruh bayi laki-laki dibunuh.
Kini ada pemimpin negeri yang takut akan lukisannya sendiri sehingga memerintahkan pelukisnya diburu.
Ah…..sudah separah apakah mentalitas penguasa negeri ini?***
Penulis merupakan pemerhati masalah sosial