Opini  

Nasionalis vs Islam yang mengancam Demokrasi


Oleh: Dr Anwar Mujahidin

Setidaknya dalam lima tahun terakhir ini kita saksikan keharmonisan bangsa ini mulai tercabik cabik. Dunia media sosial yang menjadi simbol komunikasi warga pada era ini, dipenuhi dengan pro kontra yang berujung pada olok-olok, saling fitnah, sampai berujung pada tindakan hukum pihak kepolisian antara berbagai kelompok masyarakat.

Menguatnya adanya kubu kubu yang berujuang pada pro kontra, satu membela kelompoknya yang lainnya mengkritik bahkan menyerang.

Padahal semua telah paham sekali, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri beragama suku ras dan agama. Bangsa ini juga diperjuangkan merdeka dan dibangun secara bersama sama oleh semua elemen bangsa yang berbeda latar belakangnya. Sistem demokrasi dipilih karena ia menjanjikan kemajuan dengan tingkat partisipasi segenap warga yang tinggi.

Baca: Dianggap mengorganisir usaha untuk merubah Pancasila, Hasto Kristiyanto dan Rieke Diah Pitaloka diadukan ke Polisi

Partisipasi tersebut diperoleh karena prinsip kesamaan hak bagi semua warga untuk menetukan arah pembangunan bangsa. Semua elemen dan kelompok masyarakat memiliki kontribusi dan penghargaan yang sama dalam pembangunan.

Keterwakilan dan keadilan harus benar benar dijaga sehingga tidak ada kelompok yang lebih menonjol daripada yang lain yang berpotensi mendominasi atau bahkan menghegemoni. Setiap gejala dominasi dari satu kelompok atas kelompok lain, pasti menimbulkan gejolak dengan bangkitnya kelompok lain yang merasa terdominasi.

Dalam kurun lima tahun terakhir, kelompok Islam dianggap yang pertama kali melancarkan ancaman terhadap kelompok lain. Kasus 212 dianggap sebagai sikap intoleran kelompok Islam terhadap Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama. Meskipun kasus tersebut diselesaikan melalui proses hukum, namun tetap menyisakan persoalan yang berkepanjangan mengenai hubungan antar kelompok yang sama-sama merasa terancam eksistensinya.

Bagi pendukung 212 merasa telah terjadi ancaman terhadap kelompok Islam secara terencana dan terstruktur, bahkan juga adanya kriminalisisasi terhadap ulama. Bagi kelompok lain, gerakan 212 merupakan gerakan intoleran yang mengancam eksistensi kelompok di luar Islam. Penegakan hukum nampaknya tidak bisa memberikan jaminan kepada semua kelompok untuk bersikap saling percaya.

Baca: PBNU minta RUU HIP dicabut total, bukan ganti nama

Bahkan aparat penegak hukum dicurigai dengan berbuat tidak adil sehingga keadaan menjadi tidak kondusif.

Sikap pemerintah sebagai pengayom bangsa dinilai juga tidak turut memberikan jaminan kepada semua kelompok bahwa mereka akan diperlakukan secara adil dan terpenuhi segala haknya. Alih-alih memberi jaminan keadilan, pemerintah justru dianggap turut memecah belah ummat.

Keputusan Presiden mengenai tanggal 22 Oktober sebagai hari santri, merupakan salah satu contoh sikap menodai kebersamaan. Tanggal tersebut didasarkan pada seruan jihad KH Hasyim Asyari pendiri ormas keagamaan NU dari pesantren Tebuireng, Jombang.

Keputusan tersebut menimbulkan reaksi dari kelompok Islam sendiri yang tidak berafiliasi pada NU. Pesantren pesantren yang berbasis NU setiap tanggal 22 Oktober kini antusias memperingati hari santri, namun banyak pesantren dan lembaga pendidikan di luar NU enggan mengadakan peringatan tersebut.

Keputusan Presiden tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila juga memicu reaksi penolakan, karena 1 Juni adalah pidato Bung Karno mengenai usulan tentang dasar Negara. Bung Karno bukan satu satunya orang yang membuat usulan sila-sila Pancasila karena selain beliau ada Soepomo dan Muhammad Yamin.

Baca: Umat Islam siaga satu, PKI akan bangkit lewat RUU HIP

Panitia BPUPKI yang memfinalisasi rumusan dasar Negara juga terdiri dari banyak tokoh yang beragam latar belakang ideologi dan agama. Tuduhan menguatnya Pancasila versi Soekarno tersebut melahirkan reaksi kewaspadaan kelompok lain yang merasa ikut merumuskan dasar Negara, sebut saja kelompok Islam.

Isu ini memuncak akhir-akhir ini dengan munculnya draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Draft RUU HIP di antaranya mencantumkan pemerasan Pancasila ke dalam Trisila dan Eka sila yakni gotong royong. Ide Trisila dan Eka Sila adalah ide yang berasal dari Bung Karno.

Bukan hanya isu menguatnya ideologi nasionalis bung Karno, RUU HIP juga disinyalir mencerminkan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tidak dicantumkannya Tap MPRS tentang pembubaran dan pelarangan PKI.

Maka, MUI, Muhammadiyah, dan NU dan seluruh ormas Islam lainnya mererespons dengan nada yang kompak bahwa RUU HIP merupakan upaya memecah belah bangsa dengan membangkitkan Pancasila menurut vesi nasionalis (Soekarno). Mereka meminta pembahasan RUU HIP tersebut dihentikan.

Bagi mereka RUU HIP dapat dipandang sebagai rentetan puncak dari dialektika saling curiga dan saling serang antara kelompok yang selama ini terjadi. RUU HIP membuka ingatan sosial adanya kontestasi antara kelompok Islam dan nasionalis, baik pada masa kemerdekaan maupun masa pembangunan. Dua kelompok tersebut dengan varian keragaman masing-masing turut mewarnai perdebatan perumusan dasar negara, UUD, bentuk negara, dan berbagai regulasi turunannya. Mereka bersaing bahkan dengan keras, namun karena sikap kenegarawanan para tokoh pada masing masing kelompok, maka simphoni dalam harmoni bisa dicapai.

Baca: MUI: RUU HIP dan Omnibus Law benih untuk memporakporandakan RI

Gelagat dominasi Pancasila oleh satu versi dalam RUU HIP jelas sekali membangkitkan ingatan pahit hubungan antar kelompok bangsa yang sebenarnya sudah memiliki formula keharmonisannya. Wacana adanya kebangkitan PKI dan kelompok fundamentalis Islam yang ingin mengganti dasar Negara Pancasila sebenarnya hanya sebagai bentuk wacana demagogy (Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas, 2003).

Demagogy adalah wacana manipulatif untuk tujuan kepentingan kelompok tertentu dengan mengaduk aduk perasaan masyarakat dan menjauhkan masyarakat dari berpikir obyektif dan rasional. Wacana demagogy umumnya selalu mencari kambing hitam atas segala masalah. PKI secara nyata adalah partai terlarang di Indonesia dan TAP MPRS mengenai pelarangan PKI juga masih berlaku.

Sehingga kekhawatiran akan bangkitnya PKI sebenarnya adalah sesuatu yang tidak perlu, terutama apabila pemerintah dan penegak hukum bersikap tegas. Begitu juga bahaya ancaman kelompok fundamentalis Islam terhadap eksistensi dasar negara. Selain jumlah mereka sangat kecil, mekanisme hukum juga siap memproses jika mereka akan melakukan aksinya hendak mengganti dasar negara.

Publik pun masih ingat secara jelas bagaimana sikap pemerintah ketika membubarkan HTI yang mendahului proses hukum, justru merupakan sikap blunder yang menjadi sumber kekhawatiran masyarakat, karena politik mengangkangi hukum, politik menjadi penentu. Sikap ini ternyata dipandang berbeda ketika membahas atau terkait soal sikap terhadap ideologi komunis. Soal ini terkesan sikapi berbeda dan malah dianggap seperti hembusan angin lalu.

Baca: Menurut Habib Rizieq cara menghentikan agenda neo PKI adalah makzulkan Jokowi dan bubarkan PDIP

Imbasnya, perasaan kelompok kelompok-kelompok masyarakat sebagai bagian dari warga bangsa Indonesia menjadi teraduk aduk. Sikap penuh dengan rasa saling curiga bahwa adankelompok lain mengancam eksistensinya muncul. Padahal hendaknyan semenjak awal dominasi sikap saling curiha harus bisa segera dihentikan.

Dan memang penerimaan terhapan pluralisme, juga sangat diperlukan dan tidak hanya sebatas untuk menjaga stabilitas kepentingan saja. Tetapi lebih mendasar lagi, soal ini harus dipakai sebagai bentuk nyata ekpresi pengakuan negara dan masyarakat terhadap yang berbeda untuk hidup bersama.

Untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya empat hal perlu diperhatikan bersama. Pertama adalalah masalah moral. Di atas hukum terdapat etika dan moral, maka yang diperlukan adalah sikap dan karakter yang saling percaya, terbuka dan menguatkan dialog antarelemen masyarakat. Sikap saling melaporkan ke pihak kepolisian bagi kelompok masyarakat yang berolok olok di media sosial justru memperburuk hubungan antar kelompok.

Kedua, pemerintah harus memberikan teladan dengan memberi jaminan akan kesamaan hak bagi semua warga dan kelompok bangsa bahwa tidak ada kelompok yang lebih dominan dibanding yang lain. Pemerintah harus bersikap transparan terhadap semua kebijakannya, bahkan termasuk berbagai bentuk kerjasama dengan pihak asing sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat.

Baca: GP Ansor endus upaya terselubung eks PKI di RUU HIP

Ketiga, penegakan hukum yang adil, yang tidak tebang pilih, yang tajam ke samping kiri, tumpul ke samping kanan, atau atas bawah. Keempat, peran serta masyarakat melalui berbagai ormas dan institusi sosial perlu diperkuat. Masyarakat harus membangun kemandirian dan kearifan yang terus menerus , tanpa bersikap cengeng dengan meminta-minta intervensi pemerintah pada masalah-masalah tertentu yang bisa diselesaikan secara kultural.

Dengan berbagai hal tersebut, pemerintah dan institusi politik jangan mencari dukungan politik dari masyarakat dengan menghalalkan segala cara yang itu hanya berakibat merusak instusi sosial.***

Penulis merupakan Dosen Ilmu Tafsir IAIN Ponorogo
Artikel ini sudah dipublikasikan di Republika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *