Oleh Devi Ramaddani, aktivis muslimah
Jika sudah berbicara pajak pasti erat kaitannya dengan kewajiban yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti slogannya “orang bijak taat pajak”, slogan seperti ini seolah olah ingin mengatakan bahwa kalau orang bijak pastilah membayar pajak. Sebaliknya, jika tidak bayar berarti tidaklah bijak. Slogan ini seperti menghipnotis kita untuk taat membayar pajak.
Pajak tersendiri merupakan pendapatan utama dan terbesar untuk negeri ini. Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda tak henti mengupayakan peningkatan pendapatan daerah di setiap tahunnya. Agar mencapai target realisasi pendapatan yang diinginkan, sejak akhir tahun lalu Pemkot Samarinda melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menjalankan sensus pajak secara door to door, dengan harapan pihaknya dapat menghimpun data pajak dengan maksimal.
Diketahui dari Tribun News Kaltim, sensus pajak ini mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya seperti hotel, restoran, hiburan, dan parkir, yang merupakan turunan dari Pajak Bumi dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini disampaikan oleh Kepala Bapenda Kota Samarinda, Hermanus Barus saat ditemui TribunKaltim, Senin (26/8/2024).
Memilukan, bukan? Bagaikan jatuh tertimpa tangga begitulah nasib rakyat saat ini. Sudahlah banyak berbagai macam persoalan hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar yang susah, ditambah lagi dengan beban pajak yang katanya untuk mengupayakan peningkatan pendapatan daerah setiap tahunnya.
Padahal negara kita ini adalah negara dengan melimpahnya sumber daya alam (SDA) mulai dari hasil bumi, hasil lautnya pun tak kalah melimpah, belum lagi pertanian dan perkebunannya. Sayangnya pengelolaan kekayaan dinegeri sendiri diserahkan kepada pihak swasta dan asing. Efeknya rakyat banyak yang terperangkap dalam kemiskinan, membuktikan pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Kekayaan alam akhirnya hanya dinikmati segelintir orang.
Ironis memang, pajak terus dioptimalkan berbanding sekali dengan kehidupan para aparatur negara yang dimanjakan dengan fasilitas mewah. Pemerintah malah selalu banyak cara untuk menjadikan rakyat sebagai “sapi perah” untuk mendapatkan pajak salah satunya dengan cara menangih door to door. Seperti dipaksa, rasanya negara terus menangih pajak dari rakyat, semua tak luput dari pungutan.
Hal remeh temeh digencarkan tapi lupa hal besar yaitu tata kelola kekayaan alam. Beginilah jika hidup dalam paradikma sistem demokrasi kapitalis. Demi mendapatkan keuntungan dan sumber pemasukan bisa melalukan apa saja yang diinginkannya.
Kondisi ini jelas berbeda jika negara dalam naungan sistem Islam. Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Bahkan pajak tidak akan menjadikan beban utama, karena dilihat sebagai sumbangsih warga yang mempunyai kelebihan harta atas urusan umat, sehingga mendapatkan pahala dan kebaikan.
Selain itu, sistem Islam beberapa sumber pemasukan negara. Pertama, bagian ghanimah, kharaj, tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Kedua, bagian kepemilikan umum yaitu listrik, migas, pertambangan, laut, sungai, hutan, perairan, padang rumput dan tempat khusus. Ketiga, bagian sedekah yaitu zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak.
Allah Swt telah menyediakan kekayaan alam yang jika dikekola sesuai dengan syariat maka dapat dipastikan hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negara. Sebagaimana dalam Islam yang terbukti mampu menjadikan rakyat sejahtera. Bukannya hanya mengandalkan pajak yang melilit yang membuat rakyat semakin terbelit.
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.