Opini  

Pemberdayaan Perempuan, Kemana Arahnya?

(ilustrasi)

Oleh: Alfi Ummuarifah

Pemberdayaan perempuan terutama dalam bidang ekonomi bernama PEP kini makin digencarkan (Kompas.com, 17/03/21). Apalagi di era pandemi yang sangat buruk kondisi perekonomiannya.

Seorang perempuan khususnya ibu meskipun dia multitalen, tetap saja bingung bagaimana harus bersikap. Naiknya harga bahan pokok makanan sementara pendapatan menurun menjadi dilema yang membuat galau perempuan manapun.

Pemberdayaan perempuan yang digadang-gadang pemerintah bersama program kerjasama lembaga Internasional ditujukan agar perempuan mandiri secara ekonomi.

Lepas dari ketergantungan pada kaum laki-laki. Dengan cara seperti ini perempuan akan berusaha mandiri. Sekilas program nya sangat manis dan menarik.

Padahal sebenarnya memiliki cacat yang membahayakan kaum perempuan, masyarakat, generasi dan negara. Tak banyak yang dapat membaca “sinyal bahaya itu”. Jika cara berfikirnya terlalu dangkal dan sangat permukaan (pragmatis).

Program pemberdayaan ekonomi perempuan itu sungguh membahayakan ibu. Ibu akan meninggalkan posko strategisnya sebagai pencetak generasi emas karena disibukkan dengan urusan pengembangan ekonominya. Ibu akan kelelahan,habis waktu dan kehilangan fokus untuk tugas utamanya itu sebagai ibu dan manajer rumah tangganya.

Karena urusan seorang ibu memang tak hanya sekedar hamil, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, memasak, mengurusi pakaian, rumah dan tugas rumah tangganya. Tetapi lebih dari itu “mendidik” itu membutuhkan waktu yang sangat banyak. Tak cukup sejam dua jam. Membersamai anak dan mendidiknya hingga dewasa membutuhkan pengorbanan seorang ibu yang luar biasa.

Kedua, yang dirugikan adalah anak. Anak akan kehilangan kesempatan berkasih sayang dengan ibunya. Ibu pun akan pudar rasa empatinya dan kasih sayangnya yang amat besar. Semua itu terkikis dengan arogansi ingin mendapatkan secuil materi untuk sekedar bertahan hidup.

Para suami yang sulit mendapatkan pekerjaan karena sistem kapitalisme kini berebut rizki dengan seorang ibu. Dan perempuan.

Harga upah yang murah untuk buruh dan pekerja perempuan menjadikan perempuan mudah mendapatkan lapangan pekerjaan daripada laki-laki. Otomatis meningkatlah tingkat pengangguran di kalangan laki-laki.

Sangat aneh memang, ingin menuntaskan masalah perempuan tetapi mengorbankan kaum laki-lakinya.Itulah solusi tambal sulam sistem kapitalisme. Tak menyentuh akar masalah dan cenderung sesat arah pemikirannya.

Ketiga, yang dirugikan dari program itu adalah negara dan masyarakat. Negara akan kehilangan putra putri terbaik didikan ibu yang memiliki potensi luar biasa untuk membangun bangsa. Generasi yang rusak akan meramaikan sebuah negara dan itu sangat merugikan sebuah bangsa.

Negara akan membayar kerugisan itu dengan degradasi moral yang rendah sekali, mudah terjajah secara fisik maupun psikisnya oleh bangsa lain. Sumber daya alam pun habis terjual di tangan generasi muda yang sangat materialistik. Jika sudah begini negara benar-benar merugi dan masyarakatnya menjadi masyarakat yang terbelakang.

Demikianlah program PEP itu hanya akan menguntungkan para kapital karena mendapatkan buruh dengan harga murah dan lemah dalam tekanan dunia kerja. Tercapailah cita-cita kapitalis barat dalam menghancurkan benteng terakhir sebuah institusi terkecil sebuah bangsa.

Kaum perempuan memang tiang negara. Tak salah isi hadis Rasulullah tentang ini. Sebab di tangannya peradaban bermula. Demikian juga di tangannya generasi itu menjadi generasi cemerlang bagaikan bintang.

Rencana program PEP tetap tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi perempuan selama sistem yang melingkupinya masih Kapitalisme. Kesetaraan gender dalam bidang ekonomi hanya akan menjadi blunder bagi pegiat gender dan penguasa di belakangnya.***

Penulis merupakan Guru dan Pegiat Literasi Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *