Selasa, 11 Februari 2025

Pengangguran Butuh Lapangan Kerja dan Sistem yang Baik

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 

Oleh. Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Muslimah Selatpanjang)

Pada usia potensial bekerja kemudian terpaksa menganggur adalah kondisi umum masyarakat yang menjadi biang kemiskinan massal. Pasalnya dengan kehadiran golongan muda di usia potensial untuk bekerja namun terpaksa menganggur dengan berbagai alasan, akan memicu tindak kriminal dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup. Hal semacam ini hanya akan menambah daftar panjang beban negara dalam pengentasan masyarakat miskin di Indonesia.

Dilansir dari riau.antaranews.com (13/04/2024), Jumlah pengangguran di Provinsi Riau yang tercatat oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) pada 2024 mencapai 132.450 orang yang terus ditekan melalui berbagai program pemberdayaan tenaga kerja yang dilakukan terus menerus setiap tahun.

Pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja lewat kartu pra kerja meliputi bantuan pelatihan Rp3,5 juta per orang, insentif pelatihan Rp600.000, insentif survei Rp100.000. Ini memakan anggaran Rp 5 triliun target peserta 1.148.000 orang.

Hal ini akan membuat cemas ketika penganggaran sebesar itu dikelola oleh birokrasi yang memiliki budaya korupsi. Sehingga yang seharusnya diperuntukkan kepada orang yang membutuhkan, tidak disalahgunakan oleh oknum nakal yang menerobos data pribadi orang lain untuk sekedar mengambil komisi program pra kerja namun tak niat bekerja.

Perbanyak Lapangan Kerja Masih Menjadi Wacana

Pergolakan ideologi di kancah Pemerintah negara ini membuat pengaturan negara tak seimbang sebagaimana mestinya. Di satu sisi rakyat butuh pengentasan kemiskinan dengan menjamin setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan tetap untuk menafkahi keluarganya.

Sementara di sisi lain, birokrasi terpengaruh oleh kepentingan pihak asing yang berani berinvestasi ke Indonesia dengan persyaratan hanya menerima pekerja terampil, sehingga lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai pesanan asing. Jikapun investor membuka lapangan kerja baru, mereka membawa pekerja asing yang justru tanpa skill di negara kita.

Sehingga janji perbanyakan lapangan kerja tinggal janji semata. Jikapun masyarakat mengenyam pendidikan tinggi hingga Sarjana kebanyakan sekedar untuk menunda mendapatkan gelar pengangguran. Ketika mereka selesai dari perguruan tinggi jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang ada.

Negara dengan tekanan hutang luar negeri tinggi, inflasi, dan tata kelola ekonomi yang kian liberal menjadikan pemerintah lemah dalam menerapkan dan menetapkan kebijakan. Hingga janji-janji pengentasan kemiskinan selama ini cenderung wacana semata. Hal ini menjadi peluang berbagai pihak yang berkepentingan untuk melakukan KKN terstruktur yang berakibat pada segelintir orang saja yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Lebih tepatnya dibahasakan “kebijakan yang tidak tepat bijaknya”.

Untuk masyarakat kecil di lokasi terpencil, hanya sekedar bersabar tanpa punya daya untuk berkoar-koar menuntut keadilan. Bantuan yang datang ala kadarnya menjadikan kualitas hidup masyarakat terpinggir kian miris.

Segala macam jenis bantuan sosial nyatanya belum mampu mengentas kemiskinan. Kebanyakan pengangguran sebagian bukan saja karena tak menerima pelatihan, tapi muncul rasa malas diakibatkan lemahnya sistem pengawasan. Dengan titel yang ada, mereka ingin tempat kerja yang setara. Sedangkan lowongan tidak tersedia. Dan inilah yang menambah beban keluarga.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi negara dalam memfokuskan diri untuk menata kembali kehidupan rakyat negeri ini. Rakyat tak butuh disuapi, tapi rakyat butuh diurus sebagaimana seorang ibu mengurus anak kandungnya sendiri.

Jangan jadikan anak sendiri menjadi anak tiri dengan kedatangan pihak asing. Sejujurnya anak negeri sendiri banyak yang berprestasi, tapi dikarenakan budaya korupsi yang menyusup di dalam birokrasi, yang berprestasi tak dihargai dan memilih pergi membangun negara lain untuk lebih maju lagi.

Solusi Pengentasan Pengangguran

Menurut M.Umer Chapra (intelektual muslim kontemporer) yang banyak menulis dalam bidang ekonomi Islam, beliau merincikan beberapa langkah untuk mengatasi masalah pengangguran.

Pertama, mendorong kembali berkembangnya Industri Kecil dan Mikro (IKM). Dan pemerintah hendaknya juga ikut mengerem masukkan barang-barang impor dari luar negeri untuk menjaga pasar IKM dalam negeri.

Kedua, melakukan tindakan-tindakan esensial yang dapat memberdayakan para pelaku IKM, termasuk di dalamnya kegiatan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat kecil menengah yang membutuhkan serta memiliki skill padat karya.

Ketiga, pengaktifan zakat secara maksimal. Hal ini tentu saja akan berbeda dengan sistem negeri ini yang hampir segala jenis kegiatan ekonomi dikenai pajak yang lumayan besar. Serta butuh kesadaran bersama untuk mengeluarkan zakat harta yang tidak lebih dari 2,5% saja. Jika pun akan mengambil pajak dari non muslim, besaran pajak tidak membebani mereka yang non muslim.

Keempat, mobilisasi tabungan dengan akad mudharabah dan musyarakah melalui lembaga-lembaga perekonomian umat maupun lembaga keuangan syariah. Perbedaannya, dalam mudharabah permodalan hanya dari satu pihak, sedangkan musyarakah berasal dari dua pihak atau lebih. Dan mobilisasi tabungan ini harus dijauhkan dari transaksi ribawi yang berlabel syariah. Pasalnya ketika permodalan disisipi akad ribawi yang tumpang tindih, maka jangankan usaha akan untung, modal pun bisa ikut habis.

Keempat langkah ini hanya mampu ditempuh secara aman damai, jika negara bebas dari perbudakan utang luar negeri dan negara siap menerapkan syariat Islam di segala lini kehidupan. Semoga Allah SWT mudahkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *