Opini  

Penundaan Pemilu; Akal Bulus Rezim Sirkus

Alfiah S.Si

Oleh : Alfiah, S.S.i

Masih dalam huru-hara polemik pindah ibu kota negara, kini dimunculkan wacana yang tak kalah membahana yaitu penundaan Pemilu. Ada apa ini? Ketika pemerintah ‘ngotot’ pindah ibu kota negara, justru wacana penundaan Pemilu bak kotak pandora yang sengatannya tak bisa dicegah.

Jadilah muncul berbagai prasangka yang tak bisa diabaikan begitu saja. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang, wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan. Menurutnya ada pihak yang ingin melanggengkan kekuasaannya dan mereka takut kehilangan kekuasaan.

Ketua majelis jaringan aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule menduga, wacana penundaan Pemilu ini sebagai bentuk ketakutan Luhut Binsar Pandjaitan lantaran memiliki banyak kesalahan selama menjabat sebagai pejabat negara. Termasuk dengan dugaan Kolusi dan Nepotisme kasus PCR yang dilaporkan ProDEM.

Anehnya, pihak-pihak yang mengusulkan wacana Pemilu 2024 agar ditunda mengklaim bahwa usulan tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat. Menurut mereka penundaan pemilu 2024 agar momentum perbaikan ekonomi tidak terjadi stagnasi usai pandemi menghajar tanah air dua tahun terakhir.

Padahal jika dicermati dari pernyataan ketua-ketua partai baik Golkar, PAN, PKB dalam menyampaikan upaya-upaya perpanjangan masa jabatan ini adalah karena mereka terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan. Karena jika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 yang dilaksanakan ketika kasus Covid-19 sedang tinggi. Ternyata tak ada satu pun partai politik koalisi pemerintahan yang menolak hal tersebut. Ditambah lagi pemerintah saat ini justru ‘ngotot’ pindah ibu kota negara. Padahal menurut hukum UU IKN cacat secara formil dan materiil.

Inilah watak asli sistem demokrasi kapitalis yang mencetak para elit politik minim empati dan lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya. Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktifitas politis justru luput dari perhatian dan bukan prioritas untuk diperjuangkan.

Padahal salah satu misi Jokowi-Ma’ruf saat mencalonkan di periode kedua adalah menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Namun realisasi misi Jokowi-Maruf jauh panggang dari api. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, menghancurkan lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat. Apa memang rezim seperti ini yang dikehendaki rakyat hingga 3 periode? Atau hanya akal bulus rezim sirkus yang suka bermanuver demi kepentingan korporatokrasi?

Jika saat ini masih ada yang menganggap rezim hari ini berprestasi sehingga layak dilanjutkan, maka berikut dibeberkan kebijakan-kebijakan rezim yang pro kapitalis dan berbahaya :

1. Menyetujui dan Menandantangani Revisi UU KPK
Sebelumnya, YLBHI dalam catatan 100 hari Jokowi-Ma’ruf menyatakan bahwa revisi Undang-undang KPK 2019 memperlemah KPK seperti adanya Dewan Pengawas, adanya ketentuan SP3 untuk perkara yang tidak selesai disidik dalam waktu satu tahun dan pegawai KPK diubah statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara.

Satu persatu indikasi tersebut terbukti. PP 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN disahkan. Selain itu integritas pimpinan KPK perlu dipertanyakan.

2. Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Minerba
Direvisinya UU Minerba menguntungkan kelompok pengusaha tambang dan sebaliknya ancaman besar bagi lingkungan hidup dan hidup masyarakat. Hal ini terlihat dari salah satu pasal yaitu pasal 169 A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Maka, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun.

3. Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Mahkamah Konstitusi
Hanya dalam waktu 7 haru sejak pembahasan, revisi UU MK disahkan DPR RI menjadi UU. DPR memaksakan revisi UU ini meski tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020. Tetapi, meski YLBHI bersama Koalisi meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi ini, Presiden malah terus menyetujui dan menandatangani revisi ini.

4. Mengusulkan dibuatnya Omnibus Law UU Cipta Kerja
Dengan diketoknya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, maka paket agar oligarki semakin berkuasa di Indonesia sudah lengkap. Diawali dengan revisi UU KPK yang bertujuan agar memudahkan gerak dari para Oligarki, dilanjutkan dengan revisi UU Minerba yang memperpanjang keistimewaan perusahaan tambang besar di Indonesia.

Kemudian dilanjutkan dengan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang menjadi gula-gula dalam memuluskan jalan para Oligarki. Lalu ditutup dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang bermasalah bahkan sebelum aturan ini lahir.

5. Konflik agraria dan lingkungan hidup marak
Pada periode Januari hingga Agustus 2020 meletus 79 kasus konflik agraria dan lingkungan hidup yang di dalamnya juga terdapat kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat. Kasus sengketa lahan Masyarakat Adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, sampai sekarang masih berlangsung.

Kriminalisasi juga terjadi pada ketua masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing karena perlawanannya terhadap perampasan tanah adat Kinipan. Kriminalisasi juga terjadi pada tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan yang ditahan karena menebang pohon di kebunnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.

Sementara itu ancaman terhadap aktivis lingkungan terjadi pada aktivis WALHI Zenzi Suhadi yang digeledah rumahnya dengan tuduhan menyimpan narkoba dan tiga aktivis WALHI Kaltim yang dituduh positif Covid-19.

6. Membungkam kebebasan berpendapat
Dalam laporan tanda-tanda otoritarianisme pemerintah tahun 2019, YLBHI mencatat ada 28 indikator yang menguatkan hal itu dengan tiga pola yang mengindikasikan bangkitnya otoritarianisme di Indonesia, yakni, pertama, adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan.

Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan. Ketiga, memiliki watak yang represif, yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.

Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-Omnibus Law untuk mencegah penularan masif Covid-19. Hal ini bertentangan hak menyampaikan pendapat dan Perkapolri No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam Surat Telegram tersebut, Kapolri memerintahkan pula adanya polisi siber untuk menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terlihat polisi sudah menjadi alat kekuasaan/pemerintah padahal Konstitusi menyatakan polisi adalah alat negara.

Pihak-pihak yang bertentangan dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah justru dikriminalisasi menggunakan UU ITE, pemblokiran akun media sosial, peretasan akun mereka yang kritis kepada pemerintah, hingga pemadaman internet. Kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi. Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan terhadap massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law.

Pada periode sebelumnya LBH-YLBHI mencatat 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum, ditambah penangkapan 21 orang buruh yang berdemonstrasi pada 16 Agustus 2019. Selama Januari-September 2020, YLBHI-LBH juga mencatat 24 kasus penyiksaan di 9 provinsi di Indonesia.

Tanda-tanda pemerintahan yang otoriter beriringan dengan kebijakan pemerintah yang mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan. Ini akan bertentangan dengan TAP MPR VI/2000 yang sudah mencabut dwi fungsi ABRI. Pemerintah Jokowi justru melibatkan TNI dan Polri dalam struktur pemerintahan. TNI dan Polri menempati berbagai posisi di Kementerian/ Lembaga Negara mulai dari Kementerian, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara hingga Duta Besar. Dwi fungsi Polri semakin terlihat ketika terlibat dalam membuat kontra narasi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu.

7. Mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

Dalam catatan Komnas HAM, masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat yang sampai sekarang belum memiliki kepastian hukum. Dalam catatan yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura.

Alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut, Pemerintah kini masih tetap mengirim militer ke Papua. Dugaan pelanggaran HAM di Papua justru ditutupi oleh Indonesia dengan tidak adanya keterbukaan informasi kepada publik.

8. Disahkannya UU IKN yang cacat formil dan materiil di tengah penolakan masyarakat terhadap pemindahan IKN
Guru Besar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri mengungkapkan bahwa UU No. 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) cacat formil dan materiil serupa dengan UU Cipta Kerja.

9. Pengaburan dan Penguburan Sejarah
Sejarah PKI di Indonesia dengan menggambarkan PKI seolah korban, dicekalnya Film JKDN (Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia), Serangan Umum 1 Maret dengan hilangnya nama Soeharto menunjukkan upaya rezim dalam membelokkan sejarah.

Sangat jelas rezim saat ini tidak layak untuk dilanjutkan berikut sistem kapitalisme yang menopangnya. Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik dan tidak ada tempat bagi korporatokrasi menyetir kekuasaan oligarki.

Wallahusalam bissawab***

 

Penulis pegiat literasi Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *