Oleh: Ardhany Surydarma
MUSISI Anji ditangkap pada Jumat (11/6/2021) di sebuah rumah di daerah Cibubur, Jakarta Timur, karena diduga mengkonsumsi narkoba jenis ganja.
Dalam penggerebekan, selain menyita 30 gram ganja, polisi juga menyita buku ‘Hikayat Pohon Ganja’ sebagai barang bukti.
Sebelumnya, di kasus Jeff Smith, penyidik kepolisian juga menyita buku-buku tentang ganja. Padahal penyitaan buku untuk dijadikan barang bukti tindak kejahatan sama sekali tidak berkaitan dengan proses pembuktian dalam ketentuan UU Narkotika yang menjerat tersangka.
Jenis barang yang dapat disita antara lain, barang yang diperoleh/sebagai hasil dari tindak pidana, barang yang digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk menghalangi penyidikan, benda khusus yang digunakan untuk tindak pidana, dan benda yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak pidana.
Dari kelima jenis barang tadi, buku yang disita penyidik dalam kasus Anji jelas tidak memenuhi kriteria barang-barang yang dapat disita sesuai Pasal 39 Ayat 1 KUHAP.
Akses seluas-luasnya terhadap buku dan media literasi lainnya merupakan pengejawantahan kemerdekaan berpikir dari proses pendidikan seseorang. Konstitusi negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan ini bagi tiap warga negara. Bahkan sejak dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 lalu, Nadiem Makarin mempromosikan jargon “merdeka belajar”. Ini berarti, proses belajar tidak terbatas pada ruang kelas, buku dan alat belajar, atau guru tertentu.
Pasal 28 Huruf F UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia.
Pihak Polres Metro Jakarta Barat yang menangkap Anji bahkan sempat mengakui bahwa kepemilikan buku tersebut merupakan bagian dari pendidikan tersangka tentang tanaman ganja. Dengan menyadari hal tersebut, ditambah dengan tidak ditemukan sama sekali kaitan dengan proses pembuktian, maka harusnya penyitaan buku tersebut tidak perlu karena tidak sesuai UU.
Sebaliknya, buku-buku yang berisi pengetahuan mengenai tanaman ganja menjelaskan kesalahan-kesalahan kebijakan narkoba yang diterapkan saat ini berdasarkan berbagai kajian. Berbagai negara kini telah mengakui manfaat ganja terutama di bidang medis.
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mendorong supaya reformasi kebijakan narkotika dapat segera dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI. Kebijakan baru yang diusulkan adalah yang berlandaskan bukti-bukti ilmiah bukan mitos apalgi isapan jempol semata. Selain itu, kebijakan juga perlu memperhatikan perkembangan dunia akan posisi tanaman ganja.
Pada Desember 2020, PBB mengadakan pemungutan suara untuk menentukan posisi ganja dalam Konvensi PBB tentang Narkotika 1961. Sidang yang diikuti 53 negara itu memutuskan untuk menghapus ganja dari narkotika golongan empat, yakni narkoba yang konsumsinya merugikan kesehatan hingga kematian. Dasar penghapusan tersebut, temuan kajian WHO bahwa zat-zat yang terkandung dalam tanaman ganja punya properti pengobatan nyeri, peradangan, ayan, hingga multiple sclerosis.
Sebelumnya, ganja terdaftar sebagai narkotika golongan satu dan empat. Zat-zat yang terdaftar dalam dua golongan di Konvensi 1961 dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan, dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan.
Kebijakan narkoba, dengan demikian tidak lagi bertumpu pada pemidanaan seperti yang sekarang diterapkan. Kebijakan macam itu di mana-mana berdampak pada kelebihan populasi penjara, penularan virus darah, dan kematian jalanan akibat keracunan bahan campuran narkoba. Dengan demikian, kebijakan yang dipilih harus berpendekatan kesehatan masyarakat dan berlandaskan bukti-bukti ilmiah.
Untuk mendorong perubahan tersebut, salah satu langkah yang diambil koalisi adalah mengajukan permohonan uji materi Pasal 8 Ayat 1 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan. Mahkamah Konstitusi juga telah menggelar sidang perdana Maret lalu dan akan dilanjutkan Selasa, 22 Juni 2021 dengan agenda mendengar keterangan dari Pemerintah dan DPR RI.
Melalui uji materi tersebut, koalisi berharap bisa menyadarkan kembali para pembuat kebijakan bahwa tujuan diterbitkannya UU Narkotika adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Ini merupakan tujuan nomor satu yang tercantum dalam UU Narkotika RI.
Dengan demikian, selain menjadi selaras dengan Konvensi PBB tentang Narkotika 1961 di mana narkotika golongan satu merupakan zat yang memang ditujukan untuk pengobatan, akan lebih banyak kajian lokal yang memanfaatkan narkotika untuk kepentingan medis. Rakyat pun memiliki lebih banyak alternatif pengobatan yang memang sudah dimanfaatkan umat manusia ribuan tahun lalu tapi aksesnya terhalang oleh kebijakan pemberantasan dan pemidanaan zat-zat tersebut.
Kondisi demikian hanya bisa terjadi bila para pembuat kebijakan dan aparat-aparatnya memiliki sikap yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi.***
Penulis merupakan Aktivis Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.