Oleh Yuni Oktaviani (Penulis, Pegiat Literasi Islam Pekanbaru-Riau)
Keberadaan pinjol atau pinjaman online menjadi booming lima tahun belakangan. Ibarat pisau bermata dua, pinjol menjadi angin segar bagi masyarakat yang kesulitan uang, namun juga menjadi bencana ketika menjadi korban pinjol ilegal. Bahkan ada yang sampai bunuh diri karena terlilit hutang yang tak kunjung selesai.
Mirisnya, pinjol tetap naik daun hingga sekarang. Ditambah lagi sudah tersedia platform pinjol yang legal di bawah naungan OJK. Harapannya agar jumlah korban pinjol ilegal dapat diatasi dengan kehadiran pinjol legal tersebut. Benarkah demikian?
Dikutip dari jawapost.com edisi 12 Juli 2023, tren pinjaman online (pinjol) semakin marak. Sejalan memberikan kemudahan dan solusi untuk masyarakat dalam bertransaksi bisnis melalui digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending meningkat. Pembiayaan melalui fintech P2P lending pada Mei 2023 sebesar Rp 51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11 persen year-on-year (YoY).
Menurut Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa, pertumbuhan positif pembiayaan pinjol menunjukkan fungsi intermediasi yang berjalan. Serta, tingginya kebutuhan masyarakat hingga pelaku UMKM, terhadap akses keuangan yang lebih mudah serta lebih cepat dibandingkan melalui perbankan atau perusahaan pembiayaan.
Pinjol di Era Digitalisasi
Pada era digital seperti saat ini, serta perkembangan teknologi yang semakin pesat, membuat pinjaman secara online (pinjol) pun semakin meningkat. Aksesnya yang sangat mudah dijangkau semua kalangan, dan lebih cepat dalam mendapatkan dana tanpa persyaratan yang rumit seperti di bank menjadi jalan pintas bagi masyarakat untuk memilih pinjol ketika membutuhkan dana darurat. Sayangnya, banyak pinjol yang menjadi pilihan masyarakat awam ini keberadaanya ilegal.
Banyak akhirnya masyarakat yang menjadi korban platform pinjaman online ilegal ini, sehingga sejak tahun 2018 sampai 2021 sebanyak 4.873 platform ilegal diputus aksesnya oleh Satuan Satgas Waspada Investasi. Apakah berhenti sampai disana?
Ternyata tidak, bahkan fenomena baru saat ini yang terjadi adalah terdapat pinjol ilegal yang “bekerja sama” dengan platform finansial peer-to-peer (P2P) resmi di bawah naungan OJK dimana data pribadi nasabah yang tidak mampu bayar cicilan akan disebar, kemudian direkomendasikan untuk melakukan pinjol lagi untuk membayar hutangnya alias gali lubang tutup lubang.
Masyarakat yang terjebak karena butuh dana, atau beberapa kasus sampai diteror oleh debt collector karena hutang yang terlalu besar sehingga kesulitan membayar cicilannya, serta masih rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia, menyebabkan banyak yang akhirnya stres bahkan sampai bunuh diri.
Akhirnya dibentuklah fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online yang terdaftar atau berizin di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan tujuan untuk meminimalisir jumlah korban pinjol ilegal ini. Keberadaan fintech ini diklaim akan memudahkan masyarakat yang membutuhkan dana atau modal usaha dengan bunga yang kecil dan transparan.
OJK menghimbau masyarakat lah yang seharusnya bijak dalam menggunakan platform pinjol yang tersedia ini agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan, sehingga tidak merugikan diri sendiri dan keluarga.
Pertanyaannya, apakah cukup dengan narasi “bijak dalam berteknologi”, “bijak dalam memilih platform pinjol”, atau “bijak dalam melakukan pinjol” ini bisa memberikan solusi kepada masyarakat sehingga masalah perekonomian di negeri ini dapat dituntaskan?
Kombinasi Kemiskinan dan Hedonisme Membuat Pinjol Makin Populer
Maraknya masyarakat yang berutang melalui platform pinjol resmi atau legal maupun ilegal ternyata dipengaruhi oleh kemiskinan yang semakin meningkat bahkan hingga level ekstrem. Masyarakat miskin yang sudah kalap karena desakan kebutuhan hidup tidak akan memedulikan apakah pinjol yang mereka pilih bunganya tinggi, dan dendanya besar.
Selain karena kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup hedon yang sudah menjalar di masyarakat Indonesia, terutama dikalangan anak muda sosialita membuat pinjol semakin naik daun.
Di satu sisi kehidupan memang semakin sulit dari harga kebutuhan pokok itu sendiri, sampai ketersediaan lapangan pekerjaan yang minim. Gaji yang dihasilkan sekali pun bekerja hanya mampu mencukupi sebatas kebutuhan pokok sehari-hari saja. Sementara tingginya biaya-biaya lain tidak terjangkau oleh masyarakat. Contohnya saja, biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Akhirnya pinjol menjadi alternatif untuk memiliki uang. Cukup menunjukkan foto KTP, KK, NPWP, dan slip gaji, siapa saja dapat menjadi pengguna pinjaman online ini, ditambah lagi tidak sampai 24 jam dana sudah sampai di tangan sang pemohon.
Sementara di sisi lain, pergeseran gaya hidup dewasa ini juga menunjukkan gaya hidup hedonis. Hedonisme ini sendiri tidak hanya menjangkiti para sosialita dari kalangan orang-orang kaya, tetapi juga merambah hingga kalangan masyarakat ekonomi ke bawah.
Makanya tidak heran anak sampai menyakiti orang tuanya karena tidak dibelikan gadget, seorang anak tidak segan membunuh orang tuanya karena tidak dibelikan motor, atau bahkan pinjol dijadikan pelarian untuk memenuhi setiap keinginan si anak. Soalan bunga tinggi maupun denda yang besar menjadi urusan belakangan.
Padahal, faktanya keberadaan platform pinjaman online baik legal maupun ilegal ini bukanlah solusi masalah perekonomian bangsa ini. Pinjol hanya menambah masalah baru yang jelas-jelas menyengsarakan masyarakat.
Hanya Islam Solusi yang Mengakar
Dalam platform pinjaman online yang legal maupun ilegal terdapat denda dan bunga pinjaman untuk setiap penggunanya. Bedanya, pinjol ilegal memberikan bunga dan denda yang besar kepada nasabahnya, sementara pinjol legal di bawah naungan OJK, bunga dan denda lebih transparan. Artinya, kedua jenis pinjol ini sama-sama menerapkan sistem riba dimana hukumnya jelas haram dalam Islam.
Padahal Allah sudah melarang transaksi riba seperti tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275 :
….وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
“….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
Dosa riba itu sendiri juga mengerikan, selain memiliki 73 tingkatan dosa seperti sabda Rasulullah Saw.
عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الربا ثلاثة و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه
“Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Dosa riba yang paling ringan itu semisal dosa menzinai/menyetubuhi ibu sendiri”. (H.R. Hakim)
Bagaimana mungkin negeri ini menjadi negeri yang makmur kehidupan masyarakatnya, atau menjadi negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofuur sementara masyarakatnya banyak melakukan dosa riba, bahkan difasilitasi lagi oleh negara. Bagaimana mungkin kemiskinan dan gaya hidup hedon bisa dituntaskan sementara negara masih setia menerapkan asas demokrasi kapitalisme dalam institusi pemerintahannya?
Ditambah lagi, pajak menjadi andalan untuk menambah pemasukan kas negara. Berbeda ketika masa kekhilafahan Islam, pajak hanya dipungut ketika Baitul mal dalam kondisi kosong atau ketika Negara mengalami masa panceklik. Maka pajak akan dipungut dari orang-orang yang ekonominya cukup atau mampu.
Setelah kondisi negara kembali normal, maka pajak tidak akan dipungut kecuali untuk para kafir dzimmi dan jumlahnya tidak lah besar.
Negara bisa menyediakan fasilitas umum, seperti rumah sakit, sekolah, jalan raya, dan fasilitas utama lainnya untuk menunjang roda perekonomian negara. Semua fasilitas tersebut diberikan kepada masyarakat dalam bentuk gratis atau tidak dipungut biaya seperti yang terjadi di era kapitalisme saat ini.
Kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama ketika khilafah berdiri. Aturan negara harus sesuai dengan aturan yang berasal Allah SWT, dan ketakwaan individu menjadi modal penting dalam menjalankan aturan-aturan tersebut. Dengan kata lain, jika Islam diterapkan dalam kehidupan niscaya semua permasalahan yang membelenggu masyarakat bahkan negara bisa diatasi. Karena solusi yang diberikan merupakan solusi yang mengakar, bukan tambal sulam.
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Alquran), sebagai kalimat yang benar dan adil…” (Q.S Al-An’am : 115)
Wallahu a’lam bis-shawab.