Sabtu, 7 September 2024

SE Menag No.5 Tahun 2022 dan Toleransi Umat Beragama

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Menteri Agama Yaqut Cholil Qumas.

Oleh : Masirah, S.Pi, MP

Pada tanggal 18 Februari 2022, Menteri Agama telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomer 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Pada surat edaran tersebut disebutkan bahwa tujuan dikeluarkan SE ini adalah untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban dan kenyamanan bersama.

Menag memandang perlu mengeluarkan SE tersebut karena realitas hidup masyarakat Indonesia yang beragam baik agama, keyakinan, latar belakang dan lainnya sehingga diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. Penggunaan pengeras suara di masjid dan musala dianggap bisa menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban dan keharmonisan antar warga masyarakat.

Pada SE tersebut jelas menyasar umat muslim sebagai pengguna masjid dan musala. Dimana pada tempat ibadah kaum muslimin tersebut, pengeras suara dipergunakan untuk mengumandangkan adzan dan juga syiar Islam lainnya. Adzan sendiri sudah pasti dikumandangkan lima kali dalam satu hari mengikuti waktu-waktu shalat umat Islam. Yang menjadi pertanyaan, mengapa surat edaran tersebut muncul sekarang?

Bahkan kemunculannya di bulan Rajab, yang dalam hitungan hari menjelang adalah bulan Ramadhan. Dimana pada bulan tersebut, intensitas syiar Islam akan sangat tinggi. Penggunaan pengeras suara di masjid atau musala tidak hanya untuk keperluan adzan saja tetapi keperluan sholat jamaah, ceramah agama, tadarusan dan lain-lain. Pembatasan penggunaan pengeras suara dalam SE sekaligus menjadi pembatasan terhadap syiar Islam. Karena dalam SE tersebut, ada pengaturan penggunaan pengeras suara dalam dan pengeras suara luar. Sebagian besar, untuk keperluan syiar menggunakan pengeras suara dalam yang berdampak terbatasnya penyampaian syiar Islam.

Padahal penggunaan pengeras suara akan sangat membantu syiar Islam lebih luas. Kumandang lantunan adzan yang sekaligus ajakan umat Islam untuk menunaikan ibadah ke masjid, jelas tidak bisa digantikan dengan aplikasi canggih sekalipun. Suara adzan menjadi peringatan bagi umat Islam untuk memenuhi panggilan pencipta-Nya. Memutus sejenak kenikmatan dunia, bersegera menemui-Nya, membesarkan dan mengagungkan-Nya.

Lafadz bacaan dalam adzan bukanlah lafadz tanpa makna. Kalimat demi kalimat di dalam azan sangat berisi dan penuh hikmah, di dalamnya terdapat pernyataan akidah Islam. Pernyataan kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Seruan tentang adzan terdapat pada Al-Quran Surat At-Taubah ayat 3 sebagai berikut:

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ

Artinya: “Dan ini (adzan) adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia,” (QS. At-Taubah [9]: 3).

Pada masyarakat yang mayoritas muslim, tentu saja adzan menjadi bagian keseharian yang biasa dilaksanakan. Apalagi dalam hukum Islam, adzan dihukumi Sunnah atau sangat dianjurkan dikerjakan karena mendatangkan pahala. Meskipun juga ada pendapat lainnya yang mengatakan hukum adzan adalah fardhu kifayah, yang artinya menjadi kewajiban bagi sekelompok umat dimana jika sudah ditunaikan maka akan gugur kewajiban kelompok umat yang lain. Artinya, adzan akan sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari umat Islam.

Perkara ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya tanpa ada yang pernah mengusiknya. Lantas mengapa dipersoalkan? Apakah umat Islam dianggap tidak toleran kepada umat agama lain di negeri ini? Sehingga harus ‘segitu’nya mengatur sampai-sampai rasanya menjadi terbalik. Umat Islam sebagai mayoritas agama penduduk Indonesia rasanya menjadi minoritas sehingga masalah syiar agamanya pun diusik.

Yang memprihatinkan seruan itu munculnya dari menteri agama yang beragama Islam.

Lalu bagaimana dengan umat lainnya? Yang mereka juga melakukan syiar dan menggunakan pengeras suara, mengapa juga tidak diatur? Seakan ada diskriminasi aturan yang ironisnya diberlakukan bagi umat mayoritas negeri ini.

Penduduk negeri ini memang beragam dari segi agama juga keyakinan. Akan tetapi tetap saja, mayoritasnya adalah muslim. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri hingga Juni 2021, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) penduduk Indonesia beragama Islam. Adzan bahkan sudah menjadi tradisi bertahun-tahun negeri ini. Menjadi sesuatu yang dirindukan saat berada di negeri atau wilayah yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Jangan mengajari umat Islam untuk bertoleransi. Muslim sangat paham mengenai hal ini. Allah SWT berfirman dalam QS Al Kafirun : “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (TQS. Al-Kafirun : 1-6).

Sebagai praktek menjalankan toleransi dengan umat lain, muslim tidak menggangu ibadah umat lain. Saat di Bali misalnya, muslim juga toleran dengan menghormati ibadah Nyepi umat Hindu. Kita juga menghormati ritual ibadah sembahyang yang mereka lakukan saat mereka menggunakan pengeras suara. Sebagaimana hidup bertetangga dengan umat Kristen, kita juga menghormati paduan suara saat mereka melantunkan ibadah mereka. Itu hal yang sudah lumrah terjadi di masyarakat Indonesia.

Syiar-syiar Islam yang selama ini ada merupakan bagian dari dakwah Islam, mengajak masyarakat agar dalam ketakwaan yang salah satu indikasinya adalah masyarakat melaksanakan syariat agamanya (shalat).

Bagaimana dengan suara-suara lainnya yang justru mengganggu ketenteraman seperti suara musik keras yang bisa jadi selain mengganggu ketenangan juga mengganggu ketenteraman saat melakukan ibadah. Mengapa tidak diatur juga?

Daripada mempermasalahkan tolerasi yang ditujukan untuk kaum muslim melalui surat edaran tersebut, sebaiknya Menag fokus memperbaiki kualitas pengeras suara yang ada di seluruh masjid dan musala. Memastikan bahwa masjid dan musala memiliki pengeras suara dengan kualitas yang bagus, tidak rusak sehingga bisa memaksimalkan syiar agama melalui alat tersebut.

Kemenag bisa memfasilitasi juga pelatihan-pelatihan kepada para muadzin agar adzan bisa tersampaikan dengan baik. Sehingga dampak dari suara adzan bahkan bisa dirasakan oleh non muslim karena kesyahduan dan keagungan dari lafadz yang disampaikan.

Wallahua’lam bishshawab.***

 

Penulis Dosen PT Kedinasan di Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *