Oleh Yuni Oktaviani- Penulis serta Penggiat Literasi Islam, Pekanbaru-Riau
Bentrok yang terjadi di Pulau Rempang meninggalkan kesedihan, dan kekecewaan mendalam bagi semua. Penduduk sekitar yang menjadi korban tembakan gas airmata aparat keamanan tidak dapat dielakkan, mau itu orang dewasa ataupun anak-anak.
Sementara itu, banyak kalangan dan tokoh adat yang mengecam keputusan pemerintah untuk merelokasi penduduk Pulau Rempang ini karena alasan akan membangun investasi dengan asing di tanah yang sudah didiami bahkan sebelum Indonesia berdiri. Apakah cukup hanya dengan kecaman? Atau sebenarnya ada yang salah dengan penguasa dan sistem negeri ini? Lalu, apa solusinya?
Dari laporan Tribut Pekanbaru Edisi 9 September 2023, Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau Syahril Abubakar menyampaikan rasa prihatin kepada masyarakat Melayu Rempang yang menjadi korban akibat bentrokan dengan aparat beberapa waktu lalu.
Beliau mengaku sebagai serumpun Melayu, tentunya merasakan prihatin dan sedih oleh saudara-saudara di Rempang dan Galang yang mendapat tekanan dari aparat Barelang. Investasi silahkan saja, tapi tetap memperlakukan masyarakat sebagaimana layaknya manusia.
Sementara itu, dikutip dari koran tempo.co, Situasi di perkampungan Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada Jumat sore tampak kondusif, tidak sekacau sehari sebelumnya.
Kondisi mencekam terjadi hingga Kamis malam karena banyak kepulan asap dan sesaknya dada serta pedihnya mata akibat lontaran peluru gas air mata oleh aparat kepolisian untuk membubarkan kerumunan massa. Masyarakat masih enggan keluar rumah meskipun tidak ada lagi tembakan gas air mata
Bagaimana Kondisi Pulau Rempang Sekarang?
Pulau Rempang adalah salah satu pulau di Kecamatan Galang yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Riau. Rempang memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi dan terletak sekitar 3 kilometer sebelah tenggara pulau Batam. Pulau Rempang sendiri masuk kawasan hutan konservasi dengan junlah penduduk 7.500 hingga 10 ribu jiwa dengan mata pencaharian utamanya adalah nelayan dan pelaut.
Pulau Rempang juga sudah didiami sejak tahun 1834 oleh warga setempat, jauh sebelum Indonesia berdiri. Sejak zaman penjajahan Belanda, penduduknya pun sudah menganggap Rempang, dan sekitarnya sebagai tanah kelahiran tempat mereka hidup selama ini.
Maka tidak heran, penggusuran yang dialami warga sekitar pulau merupakan fenomena yang sangat memilukan. Tanah yang sudah didiami bahkan sebelum Indonesia merdeka itu ingin dirampas kepemilikannya demi kepentingan investasi.
Warga masyarakat yang menolak, dengan aparat gabungan dari beragam kesatuan yang mengendarai 60 armada kendaraan ketika memasuki pulau Rempang pun mengalami bentrok. Warga masyarakat yang bersikukuh mempertahankan tanah kelahirannya tersebut dihujani dengan gas airmata oleh aparat keamanan.
Slogan mengayomi, peduli, dan berkeadilan yang selama ini didengungkan oleh kepolisian tidak lah berlaku untuk masyarakat tertindas. Melainkan ditujukan untuk para penguasa, dan kaum oligarki yang memiliki kekuasaan. Sungguh miris.
Wajah Buruk Demokrasi Kapitalisme
Penggusuran yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau ini terjadi dikarenakan ada rencana pengembangan kawasan Rempang Eco City. Dimana proyek ini berada di dua Kelurahan Pulau Rempang, Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat setelah Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Cina pada akhir bulan lalu. Kabarnya, pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 hektare itu digarap oleh anak perusahaan milik Tommy Winata, yaitu PT Makmur Elok Graha (MEG).
Kelak Rempang Eco City ini ditargetkan dapat menarik nilai investasi mencapai 381 triliun rupiah pada tahun 2080. Angka yang sangat fantastis. Pantas saja penguasa dan para oligarki begitu tergiur dengan pulau ini mengingat potensi alamnya yang besar sehingga bisa menghasilkan banyak cuan.
Betapa ironisnya, demi nilai investasi tersebut rakyat yang menjadi korban. Tanah yang sudah menjadi rumah selama ratusan tahun dipaksa oleh penguasa dzolim untuk ditinggalkan. Dengan iming-iming akan disediakan tempat tinggal baru yang layak sebagai gantinya.
Pertanyaannya, dana dari mana untuk mengganti kerugian yang dialami oleh masyarakat atau penduduk pulau Rempang dan sekitarnya tersebut? Hutang luar negeri yang cukup besar apakah akan diabaikan? Mau mengandalkan pajak, apakah mungkin? Mengingat kasus korupsi dalam kelembagaannya yang sampai saat ini belum terlihat titik terang.
Demikian pula dengan kinerja pembangunan yang selama ini dibanggakan pemerintah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta menguntungkan. Keuntungan buat siapa? Karena faktanya semua itu tidak dirasakan oleh masyarakat, namun asing dan pemilik modal lah yang menikmatinya.
Maka dari itu, wajar jika Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene daerah kaya sumber daya alamnya tetap tertinggal. Ini menjadi bukti bahwa yang sesungguhnya terjadi bukan lah peningkatan ekonomi, melainkan “penghisapan ekonomi”.
Pembangunan daerah yang dilakukan oleh investor asing dan kalangan pemilik modal pun tidak akan mampu untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Yang terjadi justru malah krisis ekonomi sehingga alasan pengentasan kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi dengan jalan kapitalisme sangat tidak realistis.
Kapitalisme hanya memandang kemiskinan dari segi konfigurasi angka pengeluaran perkapita agar tidak berada di bawah garis kemiskinan. Bukannya dilihat dari segi bahwa setiap warga negara harus dipenuhi kebutuhan primernya.
Buruknya lagi, ketika musim pemilu penampilannya dipoles sedemikian rupa agar terlihat baik, ditambah dengan janji-janji yang tidak kalah manisnya di hadapan semua rakyat, tetapi setelah terpilih malah ingkar dan justru lebih represif. Penderitaan, dan jeritan hati rakyat yang semakin menderita tidak digubris apalagi dicari solusinya.
Rakyat dibiarkan tercekik dengan kehidupan yang dibuat oleh sistem kapitalisme ini. Penguasa yang semestinya melindungi, mengayomi, dan menjamin kesejahteraan rakyat tersebut hanya memikirkan keuntungan pribadi atau bersikap individualistik. Fakta ini menguatkan bukti bahwa demokrasi kapitalisme adalah jalan pahit menuju kemaslahatan.
Ideologi Islam Menjadi Solusi untuk Negara
Tentu bentrok yang terjadi di Rempang mengundang kesedihan, kekecewaan, dan kepiluan semua elemen masyarakat yang melihatnya. Namun, sayangnya tidak mampu berbuat apa-apa karena masyarakat umum tadi tidak memiliki tameng, seperti penguasa yang punya aparat keamanan seperti TNI/Polri yang dapat dikerahkan kekuatannya.
Harapan rakyat selama ini agar diberikan pemimpin yang pro nasib wong cilik tampaknya tidak akan pernah terwujud selama masih di bawah sistem kapitalisme liberal. Masyarakat pulau Rempang bahkan semua rakyat di negeri ini butuh solusi agar dapat hidup lebih sejahtera tanpa dibayangi oleh penguasa dzalim dan represif, diantaranya:
Pertama, membuang ideologi kapitalisme liberal yang secara de facto diterapkan di Indonesia selama ini. Karena sumber permasalahan di negeri ini ditimbulkan oleh keberadaan sistem yang merusak.
Kemiskinan yang tak kunjung usai, tingginya angka kriminalitas, korupsi di lembaga pemerintahan, pajak yang menjekik rakyat kecil, dan banyak lainnya. Termasuk pengelolaan kekayaan alam dengan cara privatisasi kepada individu, dan swasta yang memiliki modal besar. Semua ini bisa terjadi karena ideologi kapitalisme yang menjadi asas negara.
Kedua, mengganti sistem kapitalisme liberal dengan sistem yang mampu memberikan solusi bagi seluruh permasalahan negeri ini.
Tidak ada jalan lain, kecuali kembali pada ajaran Islam. Ajaran yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna, dimana ajarannya terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah yang pasti akan menyelamatkan umat manusia semuanya. Serta mampu memberikan rahmat bagi seluruh alam. Inilah yang membuat negara menjadi kuat dan bangkit, karena berdasarkan pada ideologi Islam yang shahih.
Ketika Islam dijadikan sebagai asas ideologi negara ini, maka akan dapat dipastikan seluruh hukum yang berlaku bersumber dari Syariah Islam. Dalam bidang politik misalnya, negara wajib serius mengurus urusan-urusan rakyat dengan benar dan adil. Penguasa berfungsi sebagai ra’in atau pengurus (pelayan) rakyat, memastikan rakyat tersebut sejahtera, terjamin keamanannya, dan mendapat keadilan.
Sementara dalam bidang ekonomi, negara diwajibkan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, seperti sandang, pangan, dan rumah. Negara juga wajib memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma alias gratis, serta semua rakyat berhak memerolehnya.
Negara akan bertanggung jawab mendanai fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan rakyat tadi tanpa berhutang pada negara lain seperti yang dilakukan negara dengan ideologi kapitalis. Terlebih hutang yang mengandung riba dan jelas diharamkan tidak akan dilakukan.
Begitu juga dalam pengelolaan sumber daya alam yang kaya dan berlimpah seperti negeri ini menjadi milik umum dan digunakan untuk kepentingan bersama atau rakyat. Air, hutan, padang rumput, barang tambang, listrik, dan lain-lain akan dikelola sebaik-baiknya oleh negara untuk keperluan umat.
Sehingga, akan sangat jarang terjadi krisis ekonomi yang menimpa rakyat disebabkan sumber daya alamnya dikelola seutuhnya oleh negara dan haram diserahkan kepada oligarki atau investor asing.
Kebijakan syariah ini akan sekaligus mencegah penjajahan ekonomi dari negara-negara luar yang masuk untuk menguasai kekayaan alam negara yang berideologikan Islam.
Oleh karena itu, menerapkan Islam sebagai ideologi negara merupakan solusi yang komprehensif untuk dilakukan. Jumlah penduduk, letak strategis geografis, kekayaan alam yang melimpah, dan sumber daya manusia yang handal adalah potensi dan faktor-faktor penunjang yang luar biasa.
Negara yang berideologikan Islam atau Daulah Khilafah Islamiyah pasti akan menjadi sebuah negara adidaya yang sangat kuat yang patut untuk diperjuangkan bersama. Wallahu a’lam bis-shawab
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.