Oleh : Alfiah, S.Si
Dunia kesehatan kembali menjadi sorotan. Pasalnya 241 anak terkena gagal ginjal akut misterius di Indonesia. Total pasien yang meninggal tercatat 133 kasus. Tren peningkatan kasus melonjak sejak Agustus 2022. Ini ditemukan di 22 provinsi.
Tentu kita tak habis pikir dimana selama ini peran lembaga-lembaga yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pengawasan obat. Dimana BPOM, dimana Departemen Kesehatan, dan dimana negara?
Anak-anak yang merupakan generasi masa depan harus meregang nyawa karena lalainya peran negara. Yang menjadi korban bukan satu dua, tetapi sudah ratusan. Sehingga wajar berbagai kritik dilontarkan gegara polemik gagal ginjal akut pada anak-anak.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengkritik lemahnya fungsi monitoring yang dimiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atas kejadian temuan cemaran senyawa etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas pada sejumlah produk obat sirop yang beredar di Indonesia.(CNNIndonesia.com, 26 Oktober 2022)
Siti menilai tupoksi BPOM melemah pada era sekarang. BPOM saat ini hanya sebagai lembaga registrasi obat dan makanan tanpa pengawasan yang penuh. Harusnya peran BPOM rutin melakukan uji dan pengawasan. Menurutbya karena perubahan peta politik, sehingga Indonesia harus masuk ke pasar bebas. Akibatnya BPOM hanya untuk registrasi saja, harus menurut saja pada yang tertera dari pabrik yang meregister. Kemudian kalau ada masalah baru diteliti
BPOM memang mengakui selama ini tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya cemaran EG maupun dietilen glikol (DEG) pada obat sirop. BPOM hingga saat ini, belum ada pakem internasional yang mengatur soal pemeriksaan kedua senyawa itu dalam komponen pembuatan obat.
Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari atau 0,1 persen.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga menduga kemungkinan lain di balik penyebab gagal ginjal akut misterius Indonesia, yang menewaskan lebih dari 140 anak. Menurutnya, selain obat, ada baiknya infeksi virus dan Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) tidak dikesampingkan sebagai hal yang bisa menjadi pemicu 255 anak terkena gagal ginjal akut. (detikHealth.com, 27 Oktober 2022)
Sayangnya, pemerintah sudah mengatakan pasti karena ini (keracunan obat). Padahal itu belum tentu benar. Harusnya dicermati dulu. Dikumpulkan orang-orang ahli, penyebabnya apa saja. Karena tidak diumumkan berapa persen dari 200-an sekian itu yang betul-betul karena minum obat sirup atau berapa persen kaitannya dengan yang lain. Karena ada beberapa hal yang bisa mengakibatkan gagal ginjal akut.
Di sinilah pentingnya periayahan (pelayanan/pengayoman) negara terhadap rakyat. Negara seharusnya tidak hanya bertindak sebagai regulator atau sebatas pemberi izin peredaran obat di tengah- tengah masyarakat. Namun, negara harus memastikan bahwa obat atau makanan yang beredar di tengah-tengah masyarakat aman untuk dikonsumsi.
Negara tidak boleh lemah atau lalai terhadap masuknya atau beredarnya obat atau makanan di tengah-tengah masyarakat. Karena jika negara abai dan tidak mekakukan uji klinis terhadap masuknya berbagai produk berakibat fatal bagi kesehatan masyarakat. Nyawalah yang menjadi taruhannya.
Sesungguhnya pada masa kejayaan Islam, dunia kesehatan dan kedokteran memakai uji klinis. Kaum muslimin secara sadar melakukan penelitian-penelitian ilmiah secara orisinal dan memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang kedokteran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah SAW adalah inspirator utama kedokteran Islam. Meski Beliau bukan dokter, namun kata-katanya yang terekam dalam banyak hadits sangat inspiratif, semisal “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya” (HR Bukhari).
Ada ratusan tokoh ilmuwan muslim yang berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam kedokteran Islam. Pada abad ke-9, Al Kindi menunjukkan aplikasi matematika untuk kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengukur derajat penyakit (sejenis termometer), mengukur kekuatan obat hingga dapat menaksir saat kritis pasien.
Ar-Razi pada abad-10 memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari eksperimennya yang dapat diverifikasi.Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar mengenali penyakit dari analisis urin.
Sementara Ibnu Sina sudah dianggap Bapak Kedokteran Modren. Dia meletakkan tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat, sehingga Ibnu Sina juga dijuluki Raja Obat. Dan masih banyak ilmuwab-ilmuwan Islam lain yang berjasa besar dalam bidang kesehatan.
Semua prestasi ini terjadi tidak lain karena adanya negara yang mendukung aktivitas riset kedokteran untuk kesehatan masyarakat.
Masyarakat akan kuat jika masyarakat sehat sehingga bisa produktif dan memperkuat negara. Anggaran negara yang diberikan untuk riset kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia.
Filosofi inilah yang seharusnya ada di benak pemangku kebijakan (negara) saat ini dan juga masyarakat. Jangan sampai adanya BPOM, BRIN dan lembaga-lembaga riset lain hanya menjadi penstempel produk demi kepentingan korporatokrasi. Wallahu a’lam bi ash shawab.***
Penulis pegiat literasi Islam