Oleh: DR Syahganda Nainggolan
AREMANIA, klub suporter Arema FC, telah mensomasi Presiden Joko Widodo, Kapolri, Ketua Umum PSSI, Panglima TNI, Menpora, DPR RI, PT LIB (Liga Indonesia Baru), Direktur LIB dan panpel kompetisi sepakbola di Kanjuruhan Malang lalu, paska tragedi Kanjuruhan.
Dari sembilan poin somasi Aremania, kita akan membahas poin pertama, yakni permintaan maaf dari Presiden, Ketua Umum PSSI, Kapolri, Panglima TNI, dan lainnya. Poin permintaan maaf adalah poin budaya, bukan soal apakah pihak yang dituju terkait langsung, melainkan sebuah pertanggungjawaban moral, khususnya ketika kejadian ini adalah persoalan nasional dan bahkan internasional, jadi kita bukan hanya sekedar mencari kambing hitam.
Permintaan maaf terutama ditujukan pada ketua PSSI. Sebab, netizan dan masyarakat meyakini bahwa PSSI lah simbolik identitas persepakbolaan kita.
Permintaan maaf dari Iwan Bule (Mochammad Iriawan, ketua umum PSSI) sebenarnya sudah dia sampaikan pada Ahad (2/10). Namun, kenapa masyarakat tetap tidak puas dan tetap masih meminta Iwan Bule meminta maaf? Bahkan suara itu terus menggema di media sosial?
Untuk Iwan Bule ini, sebenarnya permintaan maaf yang diinginkan masyarakat, khususnya netizen, bukan sekedar minta maaf saja, melainkan minta maaf yang disertai rasa bersalah, malu dan lalu mengundurkan diri dari ketua umum PSSI. Sebab, di Indonesia permintaan maaf seringkali hanya merupakan “lip service”, tanpa makna.
Dalam berbagai media, disebutkan Iwan Bule tidak terima dengan permintaan netizen agar dia mengundurkan diri, bahkan katanya dia harus terus menjabat sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan demikian, menurutnya, dia justru harus mengaudit kenapa kerusuhan itu terjadi. Dan dia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, khususnya urusan pengamanan, antara Arema FC dan Persebaya itu.
Sesungguhnya, permintaan mundur pada Iwan Bule bukan saja dari netizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, melainkan banyak pihak, baik ketua Bonek (supporter Surabaya), Barnis (Relawan Anies), pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan tokoh-tokoh persepakbolaan.
Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan suporter Arema FC terlalu mengada-ada?
Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar. Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun “Shame Culture”, bukan “Guilt Culture”, seperti Jepang, Ras China dan juga Indonesia.
Dalam “The Shame Culture”, David Broke, The New York Times (15/3/2016), mengatakan bahwasanya seseorang sangat takut mengalami “social exclusion”, apalagi di era media sosial saat ini
Pada medio April 2014, sebuah kapal ferry yang mengangkut ratusan pelajaran tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal. Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari pemerintahan. Dalam pernyataannya yang dimuat BBC (27/4/14), “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam).
The Guardian (27/4/14) memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea. Di Korea, Chung adalah orang kedua setelah Presiden. Meskipun urusan tenggelamnya The Sewol Ferry secara teknis adalah tanggung jawab kapten kapal, krew dan pejabat terkait lalulintas kapal, namun rasa malu, rasa bersedih dan penghormatan terhadap keluarga yang berduka diambil tanggung jawabnya oleh kepala pemerintahan. Itulah “Shame Culture”.
Di Indonesia pepatah Jawa “Wedi Wirang, Wani Mati” merupakan ajaran yang sama dengan di Korea Selatan di atas. Artinya takut menanggung malu, lebih baik mati. Memang tidak seperti di Korea maupun Jepang yang sudah sangat terkenal budaya ini, tapi sebagai umpama, ada juga di Indonesia, misalnya, eks Dirjen Perhubungan Darat, Kemenhub, Djoko Sasono.
Alumni ITB itu menyatakan diri bersalah dan mengundurkan diri akhir tahun 2015, karena terjadi kemacetan di mana-mana pada akhir tahun 2015. Dia tidak ingin menyalahkan anak buahnya, apalagi pelaksana jalan tol. Alumni ITB lainnya, Sigit Pramudito, juga mengundurkan diri pada waktu yang hampir bersamaan dengan Djoko itu. Sigit adalah eks dirjen pajak, dirjen yang jabatannya paling bergengsi di Indonesia. Sigit pun mengaku malu dan menyatakan mundur karena target penerimaan pajak tidak tercapai. Dia tidak ingin menyalahkan siapapun. Kedua alumni ITB itu, punya rasa malu, tentu sebuah anomali saat sekarang ini.
Memang mengharapkan elit-elit negara yang mempunyai budaya malu sangatlah susah saat ini. Apalagi dalam situasi mengejar jabatan merupakan tujuan elit-elit bangsa dengan segala cara dan kasak kusuk. Belum lagi sogok menyogok dan bekerjasama dengan mafia atau oligarki dalam merebut jabatan-jabatan prestise.
Iwan Bule adalah contoh elite kita, dimana mengaku salah dan lalu mengundurkan diri sangatlah berat. Padahal salah di sini maksudnya, sekali lagi, bukan dalam pengertian hukum saja, melainkan utamanya moral atau kultur. Ini adalah cerminan resmi elit bangsa kita saat ini. Kekurangan rasa malu.
Kepolisian sudah membuat 6 orang jadi tersangka. Termasuk direktur liga LIB. Pihak keamanan, polisi dan sekuriti pertandingan, tentu saja harus ada yang jadi tersangka, karena terjadi kekerasan dan kematian ketika mereka mengamankan wilayah itu.
Namun, penggunaan gas air mata untuk pertandingan bola, merupakan kejahatan besar. Orang-orang yang menonton bola tidak mengerti tentang itu, berbeda dengan mahasiswa dan buruh yang berdemonstrasi anti pemerintah. Kelompok mahasiswa ini biasanya menyiapkan diri dengan odol atau lainnya jika mereka memperkirakan ada gas air mata. Odol itu di oles di sekitar wajah. Itupun situasinya di daerah terbuka di mana mereka bisa melarikan diri.
Oleh karenanya, secara niat atau perencanaan awal, suporter atau penonton pertandingan sudah diasumsikan sama dengan demonstran atau kelompok vandalis. Inilah kerusakan moral dari penyelenggara dan pihak aparatur negara. Ini sudah menjadi kultur kekerasan polisi yang buruk selama ini.
Oleh karenanya tidak heran berbagai LSM berdimensi hukum, seperti LBH, PBHI, dan lainnya menyerukan “Reformasi Kepolisian”. Isu Reformasi kepolisian ini memperkuat gema isu ini paska kasus Sambo. Rakyat Indonesia tidak terima dengan polisi yang kulturnya penuh kekerasan dan kurang cinta pada rakyat. Di sini pula letak tuntutan maaf Aremania terhadap Kapolri.
Pemberian sanksi pidana terhadap kelompok pelaksana teknis sebenarnya seperti hanya mencari kambing hitam saja, jika melihat magnitude persoalan ini, dan pandangan dunia internasional yang menunggu tunggu solusi. Presiden boleh jadi memerintahkan TGIPF, yang diketuai Mahfud MD, bekerja untuk mencari fakta, namun sebaiknya sebelum sanksi pidana terjadi, refleksi moral harus secepatnya dilakukan.
Harus ada pernyataan maaf yang diikutin dengan rasa bertanggung jawab, yakni mundur dari jabatannya, apakah itu Iwan Bule atau Kapolri. Jika tidak, maka kekecewaan rakyat akan terus membara.
Kita melihat Aremania dan Aremanita terkesan mulai mengapresiasi pentersangkaan 6 pihak dan permintaan maaf, namun secara keseluruhan masyarakat masih merindukan permohonan maaf pada level yang sangat tinggi dari penyelenggara persepakbolaan, yakni pimpinan PSSI ataupun pimpinan kepolisian. Ini penting sebagai simbolis moral dan rasa malu dalam skala yang diinginkan masyarakat kita dan dunia.
Penutup
Somasi Aremania terhadap presiden, Kapolri, Ketum PSSI dan lainnya mempunyai landasan moral penting untuk kita dukung. Tentu saja somasi ini mewakili perasaan masyarakat kita semua. Karena terjadi pembantaian manusia dengan sadis di Kanjuruhan, yang dilakukan oleh aparat negara.
Bangsa ini perlu belajar budaya malu, maksudnya elite bangsa, khususnya yang berkuasa. Jangan membiarkan bangsa ini terbiasa mencari kambing hitam.
Dalam kacamata sosiologi, “shame culture” merupakan spirit bangsa Asia, baik Korea, Jepang, China dan juga harusnya Indonesia. Budaya Jawa, “Wedi Wirang, Wani Mati” (Lebih baik mati daripada malu) sudah lama hilang, meski mungkin tidak sepenuhnya.
Kita harus mendorong sifat-sifat bermoral dan bertanggung jawab pemimpin kita. Jokowi harus minta maaf, Kapolri harus minta maaf dan Iwan Bule harus mundur. Itu di luar urusan pidana, ini soal moral dan budaya malu. Itu juga di luar jadwal kerja tim TGIPF yang dipimpin Mahfud MD. Dengan demikian kepedihan atas kematian ratusan korban Kanjuruhan bisa terobati, setidaknya sebagiannya. ***
(Sebuah Renungan Diakhir Weekdays, Puncak 7/10)