Selasa, 17 September 2024

Tugas Pers Masihkah Berjalan?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Helfizon Assyafei

(Catatan Kecil Bersempan Hari Pers Nasional 9 Februari)

Oleh Helfizon Assyafei 

“Tugas Pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa.” [PK-Ojong]

Kata wartawan senior Hersubeno Arif kutipan PK-Ojong itu sebuah kredo yang harus dijunjung tinggi tidak hanya oleh wartawan Kompas tetapi juga oleh wartawan seluruh dunia. Pesan itu hanya bisa dilakukan bila insan pers menjaga indenpendensi, sikap kritis, fungsi kontrol dan menjaga jarak dari kepentingan bisnis dan kekuasaan. Membela keadilan. Menyuarakan kebenaran adalah ‘ayat suci’ yang harus dijunjung tinggi oleh media, maupun oleh wartawan.

***

Saya terbangun pagi ini dan termangu sejenak. Hei, hari ini hari ‘raya’ kami. Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh setiap tanggal 9 Februari. Bersamaan dengan berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 9 Februari 1946. Sejarah pers di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.  Pasalnya, surat kabar atau media adalah sarana komunikasi utama untuk memantapkan kebangkitan nasional dalam mencapai cita-cita perjuangan, kemerdekaan Indonesia.

Apalagi saat itu penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya. pers secara umum memiliki peranan penting dalam sebuah negara demokrasi seperti di Indonesia, sebab pers menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi, media komunikasi, serta kontrol masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tahun lalu saya ikut menghadiri puncak acaranya di Kalimantan Selatan. Tahun ini ke Kendari Sulawesi Utara kawan-kawan dari Riau dan seluruh Indonesia berangkat ke sana. Kali ini saya tidak ikut. Ini membuat saya bisa sedikit punya waktu untuk merenung. Dulu kredo tugas pers itulah yang membuat saya bergairah terjun ke dunia jurnalistik. Ingin menjadi bagian dari pilar demokrasi ke-4. Itulah pers.

Hari ini harusnya saya gembira. Tapi kali ini tidak. Tepatnya lagi; hati tak menentu. Bukan karena tak ikut ke Kendari, bukan. Sebab terbaca oleh saya berita berjudul Iluni UI Soroti Penurunan Demokrasi. Iluni itu Ikatan Alumni Universitas Indonesia. Sarangnya para intelektual negeri ini. Menurut Illuni demokrasi di Indonesia sedang mengalami penurunan atau regresi secara perlahan.

Ada sejumlah gejala dari penurunan demokrasi itu. Misalnya, partisipasi publik sudah kuat, tapi tidak berkualitas. Pemicunya adalah polarisasi dan populisme. Kondisi tersebut muncul karena competition of propaganda yang memanfaatkan media sosial dan teknologi digital. ’’Situasi ini membuat masyarakat melihat sesuatu dari satu sisi saja,’’ ujar Andre Rahadian, ketua umum Iluni UI.

Gejala berikutnya-masih menurut Iluni- media di Indonesia masih jauh dari sikap kritis dan beragam. Sejumlah media juga dimiliki orang-orang politik. Akibatnya, banyak media yang dipolitisasi. Poin ini yang membuat saya sedih. Media tidak saja harus berhadapan dengan buzzer yang bahkan kini juga punya media resmi. Tapi juga dengan para politisi yang mempolitisasi media. Media jadi alat kepentingan entah itu politik, ekonomi, bisnis dan lainnya.

Saya sependapat dengan pandangan Iluni itu. Dalam era pers industrial terkadang peran pers yang berjalan hanya tiga saja yakni sebagai media informasi, edukasi dan hiburan. Sedang fungsi utamanya sebagai kontrol sosial kerap tak berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin dengan banyak pertimbangan entah itu keamanan, ekonomi, kepentingan, bisnis dan lainnya. Menjadi kritis itu penuh risiko. Tentu tak semua yang siap menempuhnya.

Di titik inilah saya mengapresiasi apa yang dilakukan Majalah Tempo yang tetap kritis dalam situasi ketika hampir semua media ‘tiarap’ menghadapi besarnya hegemoni kekuasaan. Perhatikanlah liputan utamanya, liputan investigasinya sungguh banyak kejutan yang berani. Dan ternyata tidak ada bantahan ataupun keputusan hukum yang menyalahkan produk Tempo. Artinya benar begitu kejadiannya sesuai dengan hasil liputan tersebut.

Tempo sebagai media pers tetap menjalankan fungsinya menjadi pilar demokrasi ke empat yang mengawasi jalannya penyelenggaraan negara oleh  trias politica  eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagi saya Tempo menjalankan keempat fungsi dan peran pers dimasa kini. Bahwa pers di zaman industrial ini bisa saja dikuasi oleh elite yang sarat kepentingan namun akan selalu ada penyeimbangnya yakni pers yang benar-benar menjalankan tugasnya secara murni dan konsekwen.

Jadi kalau kembali ke pertanyaan pada judul di atas masihkan pers menjalankan tugasnya, saya jawab masih. Setidaknya kita masih punya pers sekelas Majalah Tempo yang mewarisi dan terus menjalankan tugas persnya dengan kredo mulia tersebut. Saya berharap Tempo bisa konsisten. Itu membuat saya masih punya alasan untuk tak lagi sedih melainkan gembira di hari penting ini.

Selamat Hari Pers Nasional 2022.

Pekanbaru, 9 Februari 2022

*Penulis Jurnalis Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *