Oleh: Maretatik
Tempe penyet sambel terasi
Nasinya hangat tambah syahdu
Moderasi Islam dikira solusi
Ternyata racun dibungkus madu
Wapres Ma’ruf Amin menyeru para ulama supaya bersatu meningkatkan dan menyebarkan Islam moderat ke seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, hal tersebut akan menjadikan Indonesia menjadi poros perdamaian dan toleransi di berbagai negara, (sumut.antaranews.com, 26/1/2022).
Isu moderasi saat ini begitu masif digulirkan. Berbagai lembaga negara mengadopsi isu ini untuk dideraskan di kalangan pegawainya. Moderasi Islam dianggap sebagai solusi untuk permasalahan bangsa. Padahal sejatinya ia adalah racun bagi umat, yang terbungkus dengan istilah manis “moderasi” sehingga banyak yang terkecoh dan mengikuti, bahkan turut mengkampanyekannya.
Jati Diri Moderasi
Menurut KBBI, moderasi artinya pengurangan kekerasan. Sedangkan menurut salah satu pengusungnya, Abdul Kadir Massoweang, moderasi beragama adalah cara pandang agama yang moderat, tidak ekstrem. Baik ekstrem kanan yang fanatik, maupun ekstrem kiri yang liberal. Singkatnya, beragama secara tengah-tengah.
Jika menilik definisi tersebut, sebenarnya tergambar bahwa moderasi beragama ini akan membawa umat Islam pada penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh, karena hanya mengambil separuh-separuh.
Moderasi beragama atau moderasi Islam menginginkan adanya toleransi yang dimaknai dengan turut berpartisipasi dalam pelaksanaan ibadah agama lain. Misalnya membolehkan memberi ucapan selamat hari raya umat agama lain.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip akidah Islam. Karena toleransi dalam Islam adalah dengan membiarkan umat agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing, tanpa harus ikut berpartisipasi di dalamnya.
Selain itu, moderasi bersikap anti kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Kekerasan fisik ini akan menjadikan ajaran jihad sebagai sasaran tembak untuk dikebiri. Sehingga wajar jika ajaran jihad diletakkan dalam mata pelajaran sejarah, bukan dalam mata pelajaran fikih. Sedangkan dakwah amar makruf nahi munkar dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal. Dengan demikian, keduanya menjadi sesuatu yang dapat dilarang. Padahal keduanya adalah ajaran Islam.
Di sisi lain, pengertian moderasi juga mencakup adanya penerimaan terhadap semua kearifan lokal (tradisi). Tidak peduli apakah tradisi itu bertentangan dengan syariat Islam atau tidak. Hal ini tentu juga keliru. Karena dalam Islam, tradisi tidak bisa mengangkangi hukum syarak. Justru tradisi yang harus tunduk kepada hukum syarak. Jika tidak melanggar syariat, maka boleh dilakukan, dan sebaliknya jika bertentangan, maka harus dihentikan.
Asal mula definisi moderasi ini juga seringkali dikaitkan dengan istilah ummatan wasathan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Padahal, menurut KH. Shiddiq al Jawi, Mudir Ma’had Hamfara Yogyakarta, definisi moderasi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan salah satu ayat dalam Al-Qur’an. Karena pengertian ummatan wasathan dalam Al-Qur’an adalah umat yang adil. Adil dalam memberikan kesaksian. Bukan adil yang artinya bersikap tengah-tengah, tidak condong ke kanan maupun ke kiri.
Jangan Tertipu
Demikianlah wajah asli moderasi. Bukan sesuatu yang patut dibanggakan, justru wajib ditinggalkan. Karena penerapan Islam yang tidak menyeluruh dapat mengundang murka Allah. Islam telah dijanjikan oleh Allah sebagai solusi atas problematika umat manusia, jika ia diterapkan secara menyeluruh, bukan setengah-setengah.
Dengan demikian, umat Islam, apalagi ulama, tidak boleh tertipu dengan istilah moderat ataupun moderasi beragama. Karena sejatinya ia mengandung racun, yang akan menjauhkan umat Islam dari Islam itu sendiri. Sebaliknya, ulama justru harus menjadi garda terdepan untuk menjelaskan kepada umat tentang Islam yang sebenarnya. Islam yang akan membawa kepada kerahmatan kepada seluruh alam.***
Penulis Pegiat Literasi dari Banjarnegara