Minggu, 16 Februari 2025

Viral Pernikahan Beda Agama, Bolehkah?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Nelly, M.Pd
Khadijjah Nelly, M.Pd

Oleh: Khadijah Nelly, M.Pd.

Akhir-akhir ini publik dihebohkan Kembali dengan berita yang lagi viral tentang kabar Staf khusus Jokowi, Ayu Kartika Dewi yang beragama Islam, menikah dengan pria Katolik Gerald Sebastian. Keduanya menjalani prosesi pernikahan dengan dua cara, yaitu akad nikah Islam sesuai agama Ayu dan proses pernikahan atau pemberkatan di Gereja Katedral sesuai agama Gerald yaitu Katolik.

Stafsus Jokowi bernama Ayu ini menggelar akad nikah di Hotel Borobudur Jakarta secara Islam, sekitar pukul 07.30 pagi, Jumat (18/3/2022). Setelah itu dilanjutkan dengan misa pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta pukul 10.00 WIB. Prosesi pernikahan disiarkan langsung di YouTube Ayu Kartika Dewi.

Banyak pihak memberikan respon dan tanggapan, salah satunya yaitu Sekjen MUI Amirsyah Tambunan yang menanggapi pernikahan beda agama itu. Ustaz Amirsyah Tambunan menjelaskan bahwa sesuai Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara tegas dan jelas menyebutkan perkawinan berbeda agama tidak dibolehkan di Indonesia.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 itu disebutkan bahwa pernikahan yang sah harus sesuai agama dan keyakinannya masing-masing, jelas Amirsyah kepada pewarta di Kantor MUI, Jakarta, Jumat (18/3).

Artinya perkawinan itu memang perkawinan yang dikonotasikan secara tegas dan jelas berbeda agama tidak dibolehkan, harus dengan seagama sesuai keyakinan,” katanya.

Amirsyah menjelaskan bahwa konstitusi Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lantas bagaimanakah hukum pernikahan beda agama dalam hukum agama Islam?

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH. M Cholil Nafis mengatakan bahwa hal tersebut tidak sah. Sementara Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama mengatakan: “Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah,” dikutip oleh tim tvOnenews.com, Kamis (10/3).

Dalam fatwa tersebut, dijabarkan beberapa firman Allah SWT yang menegaskannya, seperti surat An Nisa ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. al-Nisa [4]: 3).

Fatwa tersebut juga menyebutkan firman Allah SWT lainnya yakni Al Tahrim ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. al-Tahrim [66]: 6).

Selain itu larangan pernikahan beda agama juga tercantum dalam Surat Al Baqarah 221, yang berbunyi: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. alBaqarah [2]: 221).

Sementara hadits yang menegaskan adanya larangan pernikahan beda agama dalam fatwa tersebut disebutkan sebuah riwayat dari Muttafaq Alaih dari Abi Hurairah RA menyatakan bahwa: “Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu. (hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a.)”.

Adapun fatwa tersebut dikeluarkan MUI dengan dasar banyak terjadinya pernikahan beda agama, dan menurut MUI, selain mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, hal tersebut juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh dasar itulah untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.

Sementara itu menurut Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkap ada upaya menyamakan agama satu dengan yang lain dalam pola pernikahan beda agama.

“Pola-pola pernikahan beda agama itu kan berarti juga ada upaya menyamakan agama satu dengan yang lain,” tuturnya dalam Segmen Tanya Profesor: Waspada! Kawin Beda Agama itu Upaya Deislamisasi Dan Legalitas Zina, Kamis (10/3/2022) di kanal YouTube Prof. Suteki.

Dalam pandangannya, pluralisme semakin nampak di pernikahan beda agama, dan dipastikan berkaitan dengan program moderasi agama. “Dan saya yakin, pluralisme ini dapat dipastikan terkait dengan program moderasi agama,“ tegasnya.

Jika hingga saat ini pernikahan beda agama masih marak terjadi, dianggapnya merupakan proyek lama dari deislamisasi dengan mengatas namakan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Akhirnya dengan fenomena yang sudah mencapai ribuan ini, saya kira proyek lama seperti deislamisasi, liberalisasi atau sebagainya tampak makin marak, dengan mengatas namakan HAM,“ jelasnya.

Ia mengungkap, dalam Undang-undang perkawinan nomor 174 pernah ada salah satu pasal yang menyatakan apapun latar belakangnya, baik itu agama, suku bangsa, ras dan sebagainya, tidak boleh menghambat seseorang melakukan pernikahan.

Membuktikan bahwa sebenarnya prinsip yang diharamkan MUI tentang pluralisme agama ini, memang sudah ada sejak dulu. “Sampai-sampai MUI mengeluarkan fatwa tentang pluralisme karena itu dilarang, diharamkan, sebab menyamakan agama satu dengan yang lain,” ujarnya.

Sedangkan jika ditinjau dari perspektif hukum, menurutnya, ada beberapa hal sebuah pernikahan dinyatakan sah.

Pertama, dilihat dari Undang-undang Perkawinan no. 174 pasal 2 ayat 1 dan 2, ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Artinya harus seagama, baru pernikahan dinyatakan sah secara agama. Ayat 2, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksudnya pernikahan dikatakan sah jika sudah tercatat di kantor setempat.

“Jadi kalau melihat dua ayat di pasal 2 itu, perkawinan dikatakan sah jika memenuhi kedua ayat dalam pasal 2 tadi, sah secara agama artinya harus seagama, dan sah jika sudah dicatatkan pada kantor setempat sesuai agama masing-masing. Kalau Islam ke Kantor Urusan Agama, sedangkan nasrani atau agama lain ke Kantor Catatan Sipil,” terangnya.

Kedua, dilihat dari fatwa MUI no. 4 Munas ke VII MUI/8-2005 menyebutkan bahwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah. “Berarti itu juga jelas, dilihat dari sisi hukum,” ujarnya.

Ketiga, dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), saat Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat 1 dan 2 di uji materiil pada tahun 2014 dan putusannya juga jelas MK menolak untuk menganulir atau mengubah isi pasal tersebut dengan putusan nomor 68 tahun 2014. “Berarti apa? Dengan demikian tetap, perkawinan dianggap sah jika di jalankan seagama dan sudah dicatatkan, “ tegasnya.

Keempat, dalam Undang-undang tahun 2006 no. 23 Junto UU no. 24/tahun 2013 disebutkan supaya mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil, dengan syarat ketika pernikahan dilangsungkan, harus ada penetapan pengadilan, setelah 60 hari harus kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, baru kemudian surat Kutipan Akta Perkawinan diterbitkan. “Disini ada sedikit celah, ketika bicara soal Undang-undang Adminduk (Administrasi Kependudukan),” tuturnya.

“Kalau dilihat ke tiga hal diatas, semuanya menegaskan larangan pernikahan beda agama, tetapi yang keempat ini justru memberikan celah terjadinya, makanya sampai saat ini masih ada saja yang melangsungkan pernikahan beda agama. Negaralah yang memberikan celah itu, melalui Kantor Catatan Sipil,” pungkasnya.

Maka, melihat fenomena maraknya pernikahan beda agama ini yang sangat jelas sudah dilarang dalam agama dan UU negara. Maka mestinya dapat dipahami oleh semua pihak terutama para penggawa negeri agar lebih memperhatikan lagi segala masalah dan kejadian di tengah masyarakat. Jangan sampai tidak ditopang aturan yang jelas hingga kasus nikah beda agama menjadi sesuatu yang biasa di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia ini.

Khusus bagi keluarga Muslim agar lebih menanamkan aspek aqidah pada keluarga, anak-anak, agar iman dan takwa dapat menjadi benteng ketahanan dan tak mudah goyah hingga mengorbankan aturan agama demi pernikahan yang telah jelas dilarang oleh Islam.***

Wallahu’alam

Penulis Akademisi dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *