Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
OPINI – Sungguh panggilan ilahi untuk berkunjung ke tanah suci Makkah adalah impian semua muslim. Karena haji menjadi poin yang tak kalah penting dalam berIslam, setelah syahadat, salat, puasa dan zakat. Namun di sistem yang materialistik dan sarat kepentingan bisnis, untuk berhaji bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi di Negara yang memiliki populasi muslim terbanyak dari sekian banyak negara muslim. Tentu antri akan menjadi sandungan untuk ke tanah suci.
Dari informasi haji.kemenag.go.id kita dapat melihat bahwa untuk wilayah Riau sendiri telah memiliki antrian selama 51 tahun. Jika estimasi ini mutlak adanya, tentu jika kita mendaftar di usia 40 tahunan, artinya akan diberangkatkan setelah kita berusia 91 tahun. Apakah fisik di usia renta begitu masih sanggup melaksanakan ibadah dengan optimal? Kembali kita diajak merenung. Ataukah harus kita mendaftar di usia 14 tahun agar 51 tahun ke depan kita masih disebut layak menjalankan ibadah haji?
Tentu ada yang tidak imbang dengan sistem yang dipakai saat ini. Apa masalahnya? Akar masalah terbesar adalah tata kelola keberangkatan. Masih saja ada pembiaran untuk oknum tertentu berangkat haji berulang kali. Dan lemahnya pengurusan Negara terhadap warganya sehingga begitu sulit sekali mengumpulkan biaya berangkat haji secara mandiri, imbas dari inflasi dan amburadulnya perekonomian, sehingga dana yang mampu disediakan oleh setiap individu tersita habis-habisan pada 6 kebutuhan dasar umat, baik itu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Yang pada akhirnya sebagian kalangan marginal masih menunda untuk mendapatkan antrian keberangkatan.
Dari fakta yang terindera inilah bagi sebagian yang telah mengenal kemuliaan Islam pada zaman kegemilangannya, muncul rindu yang amat dalam untuk kembali berada diposisi aman dan nyaman seperti dahulunya, bersama Khilafah (Negara dengan sistem Islam yang paripurna).
Khilafah, Pelayan Terbaik Tamu Allah
Ibadah haji utamanya adalah fardhu bagi setiap Muslim dengan syarat utama yaitu yang mampu atau istitha’ah. Syariah Islam pula telah menetapkan Imam/Khalifah untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan para jamaah haji. Sebabnya, Imam/Khalifah adalah ra’in (pengurus rakyat). Sebagaimana sabda Nabi saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Sejarah telah mencatat betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jamaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Berikut beberapa langkah yang dilakukan oleh para khalifah di Negara bernama Khilafah pada sejarah silam dalam melayani para jamaah haji :
1) Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin.
Sebagaimana Rasulullah saw. pernah menunjuk ‘Utab bin Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra., untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Rasulullah saw. juga pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat Haji Wada’. Pada masa Kekhilafahan Umar ra., pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra. hingga masa akhir Kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra., pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.
2) Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
3) Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (a) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (b) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan.
Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.
4) Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].
5) Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dsb. Semua itu dimaksudkan agar bisa menampung banyak jamaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jamaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangunan saluran air bagi jemaah haji itu diinisiasi oleh istri Khalifah Harun ar-Rasyid yang bernama Zubayda. Diriwayatkan untuk proyek itu ia mengeluarkan uang hingga 1,7 juta dinar atau setara dengan tujuh triliun dua ratus dua puluh lima miliar rupiah!
6) Pada masa pandemi atau wabah, Khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga medis yang memadai.
Khilafah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.
Semua aktivitas Khilafah dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dsb.
Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh para khalifah (kepala Negara). Mereka benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Tanpa pelayanan dari pemimpin yang bertumpu pada syariah, pelaksanaan ibadah haji sering terkendala, dan bukan tidak mungkin menjadi ajang mencari keuntungan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Terutama saat ini, serba kapitalistik. Dana haji diincar untuk investasi yang tak memiliki nilai tambah.***
Pegiat Literasi Islam asal Selatpanjang, Riau
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.