Oleh: Darmawan Sepriyossa
Akibat salah urus. PM Islandia, Geir Haarde, menjadi pemimpin pertama di dunia yang secara formal diadili karena tanggung jawabnya dalam krisis keuangan negara. Hanya di negara-negara seperti itu perasaan bahwa semua setara di mata hukum akan tumbuh di hati rakyat. Hanya di negara-negara seperti itu, para petualang minus kapabilitas namun tak tahu diri, tak akan coba-coba menjadi pejabat negeri.
“Harimau mati meninggalkan belang, Jokowi pergi meninggalkan utang.” Tentu saja kalimat di atas bukankah peribahasa. Penciptanya ?”kalau boleh dikatakan demikian?” yang anonim, tampaknya hanya ingin menegaskan bahwa Sang Presiden turun justru di saat Indonesia, mengutip frasa yang tengah “in” dan populer, “tidak baik-baik saja”.
Lihatlah, Indonesia telah mencatatkan deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Ini fenomena ekonomi yang tidak bisa dianggap enteng. Deflasi beruntun menggambarkan dengan jelas turunnya daya beli masyarakat, di mana konsumsi melemah dan tekanan terhadap perekonomian semakin meningkat.
Bukan lagi soal kelebihan pasokan atau faktor musiman, deflasi kali ini mencerminkan turunnya kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa. Ketika daya beli masyarakat ambruk, dampaknya langsung terasa pada sektor riil dan investasi, memperburuk kelesuan ekonomi yang sudah berlangsung cukup lama.
Citra “bling-bling” Sektor Infrastruktur
Sepanjang dua periode pemerintahan, Jokowi terus menampilkan proyek infrastruktur masif sebagai bukti “kemajuan ekonomi”. Jalan tol, bandara, pelabuhan, dan kereta cepat menjadi simbol kebanggaan pemerintah. Namun, di balik citra megah ini, kenyataannya tidak seindah yang terlihat.
Sebagian besar proyek infrastruktur tersebut didanai melalui utang, dan beberapa di antaranya bahkan telah dijual sebagian sahamnya kepada pihak asing untuk menekan beban utang yang membengkak.
Ambil contoh jalan tol yang sering disebut sebagai pencapaian besar era Jokowi. Jalan Tol Trans Jawa, yang dibangun dengan investasi besar dan klaim sebagai penggerak perekonomian, kini sebagian sahamnya telah dimiliki oleh investor asing, termasuk perusahaan dari Hong Kong dan Australia.
Penjualan saham jalan tol itu menunjukkan bahwa pemerintah terpaksa menjual aset strategis untuk mendapatkan likuiditas dan mengurangi beban keuangan. Beberapa tol lain yang mengalami hal serupa adalah Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), yang sebagian sahamnya kini dikuasai Astra Infra dan perusahaan Australia, serta jalan tol lainnya yang menjadi target investor asing yang berani menawarkan harga tinggi.
Elinor Ostrom, ahli politik yang menjadi pemenang Nobel Ekonomi 2009, pernah menyebutkan bahwa penjualan aset publik kepada pihak swasta, apalagi asing, dapat melemahkan kedaulatan ekonomi dan memperkecil kendali negara terhadap sumber daya yang seharusnya dimiliki bersama.
Pandangan Ostrom ini relevan untuk menggambarkan situasi di Indonesia saat ini, di mana penjualan aset infrastruktur strategis dapat mengurangi kemampuan negara untuk mengatur tarif dan kebijakan layanan publik.
Pada sudut pandang lain, ahli ekonomi Thomas Piketty, dalam “Capital in the Twenty-First Century”, berargumen bahwa ketergantungan pada utang dalam pembiayaan infrastruktur sering kali tidak disertai dengan redistribusi kekayaan yang memadai.
“Ketika sebuah negara terlalu fokus pada proyek-proyek fisik tanpa memperhatikan distribusi pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi hanya menjadi milik segelintir orang,” tulis Piketty.
Hal itulah yang terjadi di Indonesia, di mana pembangunan infrastruktur yang masif tidak membawa peningkatan kesejahteraan bagi kelas menengah dan bawah yang kini semakin tersudut. Bacalah baik-baik laporan tahunan CHELIOS, “Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin”, yang terbit September, yang menunjukkan kian besarnya jurang yang menganga dalam kesejahteraan warga miskin dan kaya Indonesia.
Terkuak, antara lain, bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia; butuh waktu satu abad supaya semua pekerja secara umum dapat menyamai kekayaan lima triliuner teratas; perlu 133 tahun agar kemiskinan di Indonesia bisa terentaskan, sementara hanya perlu enam tahun untuk munculnya kuadriliun pertama di Indonesia.
Bagi anak muda, jangan mimpi bisa menyamai kekayaan Gibran Rakabuming saat ini. Kalau pun mereka bergaji Rp15 juta sebulan, dan tak menabungkan semua gaji tersebut dengan memilih berpuasa ketat sebagai gaya hidup, itu pun perlu waktu 142 tahun untuk bisa menyamai!
Gunung Utang Sebagai Warisan
Hari ini, di saat kekuasaan Jokowi laiknya lagu Kris Dayanti, “Menghitung Hari”, pemerintah Jokowi meninggalkan beban utang yang luar biasa besar, mencapai lebih dari Rp8.253 triliun hingga akhir 2024.
Pada 2025 nanti, cicilan utang pemerintah diperkirakan mencapai lebih dari Rp1.000 triliun, atau sekitar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, pernah mengingatkan bahwa utang yang terlalu besar bisa menjadi “senjata makan tuan” jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan negara.
“Utang harus dilihat bukan hanya sebagai alat pembiayaan, tetapi sebagai beban yang harus dikelola dengan hati-hati. Jika gagal, konsekuensinya adalah pelemahan ekonomi yang bisa berlarut-larut,”kata Stiglitz.
Dengan warisan utang bejibun itu, Indonesia tidak memiliki ruang fiskal yang cukup untuk bergerak. Dengan defisit transaksi berjalan yang terus meningkat dan ketergantungan pada utang luar negeri, kemampuan negara untuk mengelola ekonomi dengan kebijakan moneter dan fiskal juga jadi sangat terbatas.
Skenario ini bisa memicu krisis utang di masa depan, seperti yang terjadi di Yunani pada awal 2010-an, ketika negara tersebut hampir bangkrut karena tidak mampu membayar cicilan utangnya yang besar.
Apalagi ada sisi lain perekonomian yang tengah bermasalah. Salah satu kelompok yang paling terkena dampak kebijakan ekonomi yang tidak inklusif itu ternyata adalah kelas menengah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah menurun dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Sementara di sisi ekonomi, pemenang Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, dalam “The Conscience of a Liberal”, menyoroti pentingnya kelas menengah dalam mempertahankan stabilitas sosial dan ekonomi.
Menurut Krugman, ketika kelas menengah melemah, perekonomian suatu negara akan kehilangan penopang utamanya karena konsumsi domestik akan tergerus.
“Kelas menengah yang kuat bukan hanya penopang ekonomi, tetapi juga penjamin kestabilan sosial. Ketika kelas menengah terpuruk, maka seluruh fondasi ekonomi ikut terancam,” tulis Krugman.
Dengan turunnya ‘maqam’ ekonomi kelas menengah, kini warga dengan kategori rentan miskin atau miskin meningkat dari 54,9 juta orang menjadi 67,6 juta orang. Data yang menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang dilakukan Jokowi tidak memberikan perlindungan yang memadai pada warga.
Penurunan daya beli yang tajam ini tidak hanya berdampak pada konsumsi domestik, tetapi juga pada investasi, karena pasar dalam negeri menjadi tidak menarik bagi para investor yang memerlukan pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan.
Alhasil, begitu dilantik pada 20 Oktober nanti, Prabowo Subianto akan dihadapkan pada tantangan besar untuk memulihkan ekonomi yang kini berada pada sekian banyak distorsi. Tumpukan utang yang besar akan membatasi ruang gerak kebijakan, sementara daya beli yang lemah akan mempersulit pemulihan ekonomi.
Pertanggungjawaban Presiden
Tentu saja harus segera diambil langkah-langkah konkret, setidaknya, untuk memulihkan kelas menengah dan memperbaiki distribusi pendapatan, yang bisa membuat perekonomian Indonesia Kembali sehat dan bergerak.
Apapun itu, apakah melalui restrukturisasi utang dan penundaan proyek-proyek mahal; meningkatkan pendapatan negara melalui pajak yang lebih progresif; membangun kembali kelas menengah dengan kebijakan sosial yang kuat; alokasi lebih banyak dana untuk program-program yang mendukung peningkatan daya beli masyarakat, seperti subsidi langsung, pendidikan gratis, dan layanan kesehatan universal; atau apa pun.
Yang pasti Prabowo Subianto dan para menterinya tentu lebih kapabel untuk itu.
Persoalannya, dengan mewariskan kekusutan ekonomi yang jadi beban pemerintahan Prabowo dan seluruh rakyat Indonesia, tidakkah kita seharusnya rakyat Indonesia pun meminta pertanggungjawaban Jokowi? Apalagi bila kita sadari, gunung utang itu pun bukan tidak menunggu untuk meledak.
Tanpa penyelesaian yang tuntas akan tanggung jawab kepemimpinan, Indonesia bukan tak mungkin terjebak dalam lingkaran setan utang yang tak berkesudahan akibat kepemimpinan tak becus yang konsekuensinya diderita rakyat banyak.
Rakyat harus yakin bahwa pemimpin mereka telah menggunakan kekuasaan dengan bijaksana, atau justru sebaliknya. Jika ditemukan adanya penyalahgunaan atau keputusan keliru yang berkontribusi pada memburuknya perekonomian, sangat logis dan sudah seharusnya si pemimpin bertanggung jawab, secara moral maupun hukum.
Bercerminlah kepada negara-negara berikut untuk mengambil hikmah. Ketika Carlos Menem, presiden Argentina yang menjabat pada 1989-1999, dianggap gagal dan merusak perekonomian negara itu karena kebijakan ekonomi neoliberalisme yang ekstrim dengan privatisasi besar-besaran dan menerapkan “peg” (kurs tetap) antara peso Argentina dan dolar AS, ia dihadapkan ke pengadilan.
Benar ia lolos dari hukuman penjara karena imunitas sebagai senator, tapi rakyat banyak melihat dengan terbuka bahwa hukum benar-benar diterapkan sama rata pada semua.
Ketika George Papandreou, perdana menteri Yunani saat itu, gagal menyehatkan ekonomi meski sudah melakukan kebijakan penghematan ketat sebagai syarat bailout dari Uni Eropa dan IMF, termasuk pemotongan gaji dan kenaikan pajak yang memicu protes dan menyebabkan krisis sosial yang berkepanjangan, ia juga menerima konsekuensi.
Papandreou, yang mundur pada 2011 akibat tekanan politik dan kehilangan dukungan rakyat, meskipun tidak menghadapi hukuman langsung, karier politiknya rusak. Namanya menjadi ikon pemimpin yang gagal.
Kita tahu, Presiden Filipina 1965-1986, Ferdinand Marcos, yang membuat utang luar negeri Filipina membengkak, dengan banyak dana yang disalahgunakan untuk proyek-proyek yang tidak produktif, bukan hanya terjungkal dari kekuasaan.
Ia juga menjadi ikon pemerintah despot yang tak becus. Kalau pun saat ini putranya, Ferdinand “Bongbong” Marcos junior, menjadi presiden, itu tak lain karena rakyat Filipina memang punya kebiasaan mengidolakan keluarga tiran.
Yang fenomenal mungkin Geir Haarde, perdana menteri Islandia, yang gagal menangani krisis keuangan global 2008. Di masa pemerintahannya, sistem perbankan Islandia runtuh, menyebabkan resesi dalam dan kenaikan pengangguran yang tajam.
(Pemerintah) Haarde yang dianggap bertanggung jawab atas buruknya pengawasan terhadap sektor perbankan, menjadi pemimpin pertama di dunia yang secara formal diadili karena tanggung jawabnya dalam krisis keuangan negara.
Hanya di negara-negara seperti itu perasaan bahwa semua setara di mata hukum, akan tumbuh di hati rakyat. Hanya di negara-negara seperti itu, para petualang minus kapabilitas namun tak tahu diri, tak akan coba-coba menjadi pejabat negeri.***
Penulis Jurnalis Senior