Jakarta (Riaunews.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) diajukan oleh eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo .
Mahkamah Konstitusi (MK) secara konsisten menyatakan presidential threshold atau ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen, seperti terkandung dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, adalah konstitusional.
Baca Juga:
- DPD Bakal Ikut Gugat Presidential Threshold ke MK
- PKS Ternyata Tak Sepakat dengan Presidential Threshold Nol Persen
- Refly Harun: Yang Jagokan Anies atau Ganjar Bakal Gigit Jari Akibat Presidential Threshold
“Mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu, untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana ketentuan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah konstitusional,” kata Hakim MK Manahan M.P. Sitompul dalam Sidang Pengucapan Putusan, seperti dipantau secara daring di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (24/2/2022), dilansir ANTARA.
Pernyataan serupa juga telah dikemukakan oleh MK dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
Meskipun putusan tersebut merupakan perkara pengujian undang-undang yang berbeda, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun secara substansial norma yang dimohonkan pengujian mengatur hal yang sama dengan perkara a quo.
Adapun perkara yang dimohonkan oleh pemohon adalah besaran angka persentase presidential threshold. Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 telah menjadi dasar pertimbangan hukum berbagai putusan Mahkamah Konstitusi untuk perkara serupa.
“Menurut pendapat kami, belum terdapat alasan-alasan yang fundamental untuk dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan-putusan yang sebelumnya,” tambahnya.
MK melalui berbagai putusan sebelumnya telah menyatakan bahwa presidential threshold tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Persyaratan tersebut juga memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR.
Lebih lanjut, MK juga menyatakan presidential threshold merupakan open legal policy, sehingga menjadi ranah pembentuk UU (DPR) dalam menentukan dan/atau mengubah besaran persyaratan tersebut.
Di sisi lain, Ketua Hakim MK Anwar Usman menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, pokok permohonan dari para pemohon tidak dipertimbangkan.
MK beralasan, pemegang legal standing di pasal yang dimaksud adalah Parpol. Pasal yang dimaksud yaitu Pasal 222 UU Pemilu.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Anwar Usman.
Putusan MK itu tidak bulat. Empat dari sembilan hakim MK menyatakan pemohon memiliki legal standing, yaitu Manahan Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Sebelumnya, dalam sidang di MK, Gatot menyatakan menolak aturan Presidential Threshold itu.
“Berdasarkan hasil analisis, hasil renungan, kami berkesimpulan, Yang Mulia, ini adalah sangat berbahaya karena presidential threshold 20% adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi, menjadi partaikrasi melalui berbagai rekayasa undang-undang,” kata Gatot.
“Dan ini benar-benar sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” sambung Gatot menegaskan.
Selain Gatot, ada 5 pemohon lain yang meminta penghapusan presidential threshold. Di antaranya, politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono, beberapa anggota DPD RI termasuk Tamsil Linrung dan Fahira Idris.***