oleh : Audina Putri
Dalam laman Republika, pada Ahad (03/09/23), Menteri Agama (MENAG) Republik Indonesia, Yakut Cholil Qoumas, menghimbau Masyarakat agar tidak memilih pempimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai politik. Yakut, menyampaikan hal tersebut di Garut, Jawa Barat. Dalam rangka menghadiri Tabligh Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Al-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat.
Yakut juga meminta Masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Karena itu, pemimpin yang Ideal menurut-nya, harus mampu menjadi Rahmat bagi semua golongan. “ Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingan-nya atau tidak, kalau pernah, jangan dipilih”. Kata politikus PKB tersebut.
Islam Dikambing Hitamkan
Dari pernyataan Menteri Agama RI tersebut, dapat diartikan bahwa agama Islam akan buruk jika digabungkan dengan politik, negara, atau pemerintahan. Dan pernyataan seperti ini sudah sering terjadi sejak bertahun-tahun silam, terutama ketika mendekati ajang pemilu. Ucapan ini juga sangat berbahaya dan sangat memojokkan islam, seakan-akan jika kaum muslimin memegang teguh akidahnya, menerapkan islam diseluruh aspek kehidupannya, maka akan menjadi ancaman bagi umat yang lain.
Padahal di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, yang artinya :“ Tidak kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) Rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya : 107).
Dari ayat tersebut kita dapat memahami bahwa islam memang benar adalah Rahmat bagi semesta, dan Ketika syariat diterapkan secara sempurna, tentu akan mendatangkan kebaikan bagi seluruh makhluk di dunia.
Tapi sedihnya umat islam saat ini begitu terlena, mereka malu dengan ke-islamannya, berbagai tuduhan, kecaman, bahkan celaan datang dari umat islam itu sendiri.
Seharusnya yang menjadi perhatian adalah mereka yang Ketika mendekati pemilu, mereka merubah penampilan menjadi Islami, bersarung, bersorban, bergamis dan berkerudung, dekat dengan Santri dan Ulama. Semua dilakukan untuk mencari rasa simpati masyarakat. Tapi setelah pesta demokrasi, mereka kembali dengan sikap dan penampilan yang jauh dari kata Islami, bahkan ada yang terang-terangan mencap Radikal dan Kadrun kepada mereka yang berpenampilan Islami. Inilah seharusnya yang menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Belajar dari Sejarah Islam
Sejak masa Daulah Islam pertama di Madinah, masa para sahabat dan khalifah setelahnya, warga non muslim mendapatkan hak yang sama dengan kaum muslimin. Dalam hal keyakinan, sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, serta keamanan. Sudah menjadi tugas Daulah islam untuk selalu memastikan setiap rakyat nya mendapatkan hak-haknya.
Selama mereka melaksanakan kewajiban mereka kepada negara, seperti menjaga perjanjian dengan negara, dan membayar jizyah bagi mereka yang mampu. Dan Jizyah tidaklah sama seperti pajak, Jizyah tidak dipungut dari orang-orang miskin, lemah, dan membutuhkan.
Penjaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan ini diperuntukkan kepada seluruh rakyat. Termasuk jika ada non-muslim yang kekurangan, maka kebutuhan pokok mereka menjadi tanggung jawab negara.
Didalam kehidupan pribadi, mereka diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya, mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk agama islam.
Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair:
وَكَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ: وَمَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِأَوْ نَصْرَانِيَّتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَة
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: “Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya. Mereka hanya wajib membayar jizyah.” (HR Abu ‘Ubaid).
Apabila diambil dari Sejarah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Mesir yang pada saat itu ingin membangun Masjid di tanah seorang Yahudi. Amir mengirim utusan untuk berunding dengan Yahudi tersebut dan membayar harga tanahnya 2 kali lipat. Tapi, yahudi menolaknya. Setelah berkali-kali ditolak, Amir (gubernur) pun tetap membangun Masjid di sana.
Yahudi tersebut mengadukan perihal itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah pun memberikan sebuah tulang yang sudah digores dengan pedang dan berpesan untuk diberikan kepada Amir (gubernur). Lalu ia pun memberikannya. Amir (gubernur) langsung pucat, menggigil Ketika melihat tulang tersebut, ia pun membatalkan pembangunan Masjid di tanah yahudi tersebut.
Demikianlah jika aturan islam ditegakkan. Tentu akan menjadi Rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya untuk umat islam saja. Agama dan politik tentu tidak bisa dipisahkan, karena politik dalam islam adalah menjamin dan mengurusi kebutuhan (urusan) umat. Semua itu bisa terwujud apabilah politik atau kekuasaan dijalankan sesuai dengan tuntunan syariat Islam, sehingga rahmat Allah meliputi seluruh alam.