Tokyo (Riaunews.com) – Fenomena resesi seks mulai melanda Jepang. Hal ini terlihat dari sebuah laporan pemerintah yang menyebut angka kelahiran Negeri Sakura merosot.
Mengutip Reuters, Jumat (3/6/2022), ada 811.604 kelahiran di Jepang pada tahun lalu. Angka ini merupakan rekor terendah sejak 1899.
Di sisi lain, angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa. Hal ini menyebabkan penurunan populasi hingga 628.205 jiwa.
Selain itu, tingkat kesuburan keseluruhan turun selama enam tahun berturut-turut, menjadi 1,3. Tingkat kesuburan keseluruhan ini sendiri menggambarkan jumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang wanita seumur hidupnya.
Jepang sendiri merupakan negara yang mengalami penuaan tercepat di dunia. Dengan angka kelahiran yang rendah, Tokyo saat ini mulai mengandalkan pekerja dari luar negeri.
Melansir dari McKinsey & Company, resesi seks ini juga akan berdampak pada kegiatan ekonomi. Resesi seks dapat menghasilkan sebuah kondisi yang dinamakan lonely economy.
Sebutan ini merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri. Bahkan, data Statista, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga terus menyusut.
Sebaliknya, rumah tangga berisi satu orang, atau yang melajang, makin banyak. “Pergeseran demografis yang signifikan ini mengubah pola permintaan,” tulis Mckinsey yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (4/5/2022) silam.
Meningkatnya jumlah orang yang lebih memilih hidup sendiri telah mendorong penguatan fenomena hewan peliharaan. Kepemilikan hewan peliharaan tercatat melonjak di Asia.
Dalam 5 tahun terakhir, jumlah hewan peliharaan di China, Singapura, dan Thailand. Masing-masing melonjak 114%, 12%, dan 23%.
Tak hanya hewan, terjadi peningkatan penggunaan aplikasi seperti Chatbot yang digerakkan oleh kecerdasan buatan. Aplikasi ini kian populer dengan jumlah pengguna yang makin meningkat yang mayoritas merupakan lajang.
Selain itu, ada juga robot LOVOT dari perusahaan Jepang yang mampu menjaga suhu tubuhnya seperti manusia dan bisa meminta pelukan. Permintaannya meningkat hingga 15 kali lipat pada 2020 akibat pandemi dan efek dari lonely economy.
Pola konsumsi makanan juga diyakini berubah. Rumah tangga tunggal membutuhkan produk yang berbeda, termasuk makanan yang dikirim ke rumah dan porsi yang lebih kecil untuk makanan kemasan.
Di Jepang, misalnya, pada 2012-2019, berat bersih rata-rata beberapa barang konsumsi yang bergerak cepat menurun sebesar 8%.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.