Jakarta (Riaunews.com) – Penurunan harga minyak mentah dunia dan rendahnya konsumsi BBM membuka celah bagi PT Pertamina (Persero) menambah minyak mentah. Alasan PT Pertamina, penambahan import minyak mentah untuk keamanan pasokan energy nasional.
Niat PT Pertamina menambah import minyak dicermati oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Saadiah Uluputty, sebagai anomali dalam kebijakan migas jika tidak diikuti dengan langkah rekalkulasi atau hitung ulang harga dasar BBM dalam negeri.
“Pertamina memanfaatkan celah merosotnya harga minyak, menambah kuota import. Saat yang sama pemerintah tidak bicara tentang penurunan harga BBM. Ini sikap anomali. Tidak responsif,” kritik Saadiah kepada Riaunews.com melalui keterangan pers yang diterima Kamis (23/4/2020).
Sebagai BUMN, langkah untuk menaikan volume import tidak serta merta lepas dari kebijakan dan persetujuan kementerian terkait.
“Pertamina memiliki tupoksi khas, tapi kebijakan untuk menaikan atau menambah volume import tidak lepas dari persetujuan Kementerian ESDM”, tandas Saadiah.
Ia mencontohkan, awal Januari 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memangkas kuota impor minyak mentah atau crude oil sebesar 30 juta barel dalam setahun untuk PT Pertamina. Pemangkasan ini menyusul berlakunya kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemilik Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) menjual minyak mentah kepada Pertamina.
“Hal serupa juga butuh ketetapan Kementerian ESDM untuk niatan Pertamina menambah kuota Import minyak mentah. Karena adanya celah harga minyak mentah jatuh bebas di pasar internasional seperti kondisi sekarang”, tandasnya.
Pertamina berdalih jika mengutamakan penyerapan minyak mentah dalam negeri yang didapat baik dari bagian pemerintah (government intake), anak perusahaan pemerintah, maupun pembelian bagian SKK. Tapi Saadiah memastikan jika tambahan kuota import minyak mentah akan berlipat dibanding dengan serapan minyak mentah dalam negeri.
“Tahun misalnya, neraca migas defisit. Produksi minyak dalam negeri 808ribu barel per hari. Konsumsi 1,8 juta barel per hari. Defisit minyak meningkat 13,79% menjadi 977 ribu barel per hari dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi skema import menjadi semakin melebar dibanding serapan minyak mentah produk dalam negeri”, tandasnya.
Dirinya mengingatkan pertamina dan kementerian ESDM untuk tidak mengabaikan hak publik mendapatkan harga BBM Subsidi maupun Non Subsidi lebih murah. ”Harga minyak mentah yang rendah jangan hanya diarifi dengan tambahan kuota import. Namun, tidak menurunkan harga BBM bagi masyarakat. Itu mengabaikan hak publik menikmati turunnya harga BBM”, imbuh politisi PKS ini.
Harga minyak mentah Brent yang merupakan patokan yang sangat dekat dengan ICP (Indonesia Crude Price) saat ini melemah. Pada penutupan perdagangan (21/4) harga brent US$ 25,57 per barel. Brent kembali melemah pada (22/4) berada di level US$ 16.98 per barel.
Formula penghitungan harga jenis bahan bakar minyak (BBM) umum non-subsidi dan non penugasan telah ditetapkan oleh kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Evaluasinya dilakukan bulanan. Dengan harga minyak mentah yang rendah, harga keekonomian BBM jauh lebih rendah.
“Pembentukan harga BBM akan lebih rendah. Jadi wajar jika harga BBM dalam negeri sudah saatnya diturunkan. Jangan digantung apalagi diabaikan”, tegas Saadiah.***