Sabtu, 25 Januari 2025

Berikut Sejumlah Pasal Kontroversial di RKUHP

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Demo penolakan pengesahan RKUHP yang dianggap bermasalah.

Jakarta (Riaunews.com)- Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disetujui oleh Komisi III DPR dan pemerintah untuk dibawa dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Nantinya, rancangan aturan ini akan disahkan di Rapat Paripurna DPR sebelum masa reses 15 Desember 2022.

Dari total sembilan fraksi di Komisi III DPR, hanya fraksi PKS yang memberi catatan terhadap RKUHP. Mereka menilai RUU tersebut membungkam kebebasan berdemokrasi. Sedangkan delapan fraksi sisanya, termasuk partai Demokrat sebagai oposisi menerima tanpa syarat.

Meski demikian, masih ada pasal yang dianggap beberapa kalangan kontroversial dalam draf RKUHP yang diserahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ke Komisi III DPR RI pada Rabu (9/11/2022) lalu.

Berikut rangkuman CNNIndonesia.com beberapa pasal kontroversial dalam draf RKUHP yang diserahkan ke DPR pada 9 November 2022.

1. Penghinaan Terhadap Presiden

Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden.

Dalam negara demokratis, lanjut penjelasan ayat itu, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wapres.

“Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,” demikian penjelasan ayat itu.

Kemudian, ada dua pasal lagi yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wapres, yakni Pasal 219 dan 220.

Pasal 219 menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan/atau wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dapat dipidana dengan penjara maksimal empat tahun atau denda maksimal Rp200 juta.

Kemudian, Pasal 220 (1) mengatur bahwa tindak pidana ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan oleh Presiden dan/atau wakil presiden sendiri. Kemudian pada ayat (2) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2. Pidana Makar
Pasal terkait makar tetap ada di draf RKUHP. Paragraf 1 Pasal 191 menyatakan setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan presiden dan/atau wakil presiden (wapres) atau menjadikan presiden dan/atau wapres tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Kemudian, Paragraf 2 mengatur soal makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.

Berikutnya, Paragraf 3 mengatur soal makar terhadap pemerintah. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

Berikutnya, Pasal 194 ayat (1) menyatakan bahwa dipidana karena pemberontakan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun terhadap setiap orang yang melawan pemerintah dengan menggunakan kekuatan senjata atau dengan maksud untuk melawan pemerintah bergerak bersama-sama atau menyatukan diri dengan gerombolan yang melawan pemerintah dengan menggunakan kekuatan senjata.

Kemudian, Pasal 194 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur pemberontakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Lalu, Pasal 195 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun bagi setiap orang yang mengadakan hubungan dengan orang atau organisasi yang berkedudukan di luar negeri dengan maksud: membujuk orang atau organisasi, memperkuat niat dari orang atau organisasi, menjanjikan atau memberikan bantuan kepada orang atau organisasi, atau memasukkan suatu Barang ke wilayah NKRI.

Dalam rapat bersama Komisi III DPR Kamis (24/11) kemarin, Wamenkumham Eddy OS Hiariej mengusulkan agar makar didefinisikan sebagai tindakan serangan hingga menimbulkan korban. Menurutnya, definisi itu harus diperjelas agar tak menimbulkan ambiguitas.

“Pasal 160 poin 8 kita mengubah istilah makar, makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut,” kata Eddy di kompleks parlemen, Kamis (24/11).

3. Penghinaan Lembaga Negara
Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri.

Pada pasal 349 ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

Kemudian, ayat 3 menyebut pidana dalam pasal tersebut bisa dilakukan jika ada aduan dari pihak yang dihina. Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial.

Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati.

“Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini”.

4. Pidana Demo Tanpa Pemberitahuan
Draf RKUHP turut memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan.

Hal itu tertuang dalam Pasal 256 RKUHP yang mengatur setiap orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Aturan ini dikritisi lantaran KUHP yang berlaku sekarang hanya mewajibkan pemberitahuan dan menjatuhkan sanksi administratif berupa pembubaran sekiranya ketentuan tersebut tidak terpenuhi.

5. Hukuman Mati
Aturan tentang hukuman mati masih tercantum dalam draf RKUHP. Pidana mati di RKUHP diatur di Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102.

Pasal 67 berbunyi, “Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”.

“Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat,” demikian Pasal 98 RKUHP.

Draf RKUHP juga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman mati. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 99. Kemudian pasal 100 mengatur terkait hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.

Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung,” demikian Pasal 100 ayat (4).

Sementara itu, Pasal 101 menyatakan bahwa, “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.”

6. Pasal Perzinahan dan Kumpul Kebo
Draf RKUHP juga masih mengatur ketentuan hubungan seks di luar pernikahan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 413 ayat (1) bagian keempat tentang Perzinaan.

Dalam beleid tersebut, orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara satu tahun.

Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi pasal 413 ayat (1).

Meski begitu, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan. Aturan itu mengatur pihak yang dapat mengadukan yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Lalu, orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai,” bunyi Pasal 413 ayat 4.

RKUHP juga masih mengatur orang-orang yang tinggal bersama seperti suami istri tapi tanpa terikat perkawinan alias Kumpul Kebo. Aturan itu tertuang pada Pasal 414 ayat 1 dengan ancaman Pidana enam bulan.

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi Pasal 414 ayat 1.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *