Kamis, 24 Oktober 2024

Dalam Sidang MKMK Denny Indrayana Nilai Putusan 90 Adalah Mega-skandal Presiden dan MK

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Denny Indrayana, salah satu penggugat Putusan 90 Mahkamah Konstitusi.

Jakarta (Riaunews.com) – Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia capres-cawapres merupakan mega-skandal.

Hal itu disampaikan Denny selaku pelapor dalam sidang perdana dugaan pelanggaran etik hakim MK yang diadili oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).

“Putusan 90 terindikasi merupakan hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime, sehingga layak pelapor anggap sebagai mega-skandal mahkamah keluarga,” ujar Denny.

Menurutnya, tingkat pelanggaran etik dan kejahatan politik yang dilakukan sangat merusak dan meruntuhkan pilar kewibawaan MK.

Denny menyebut mega-skandal mahkamah keluarga itu melibatkan tiga elemen tertinggi. Pertama, Ketua MK Anwar Usman. Kedua, Presiden RI Joko Widodo dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.

“Ketiga, demi menduduki posisi di lembaga kepresidenan, yaitu the first office, Kantor Kepresidenan RI,” kata mantan wakil menteri hukum dan HAM era Presiden SBY.

Dengan ketiga elemen tertinggi itu, kata dia, tidaklah patut jika pelanggaran etika dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan kejahatan yang biasa-biasa saja.

Apalagi hanya cukup dijatuhkan sanksi etika semata, karena menurut Denny, kerusakan yang dihasilkan terlalu dahsyat. Caleg dari Partai Demokrat ini pun menilai peran MKMK mesti dijadikan pintu solusi untuk melakukan koreksi mendasar.

“Bukan hanya dengan menjatuhkan sanksi etik dengan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap hakim terlapor, tapi juga menilai dan memberi ruang koreksi atas putusan 90 yang sudah direkayasa dan dimanipulasi hakim terlapor, dan kekuatan kekuasaan yang telah mendesain kejahatan yang terencana dan terorganisasi tersebut,” ujarnya.

Dalam petitumnya, Denny meminta MKMK menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Anwar Usman.

Hal itu lantaran Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, khususnya tidak mengundurkan diri dari perkara yang anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

Kemudian, meminta MKMK menyatakan proses pengambilan keputusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, bukan hanya terjadi pelanggaran etika, namun juga intervensi dan kejahatan yang terencana dan terorganisir yang merusak keluhuran martabat dan kehormatan MK.

“Menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman,” jelas Denny.

Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden.

MK menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.

Putusan itu membuka pintu bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi sekaligus keponakan Anwar Usman yang belum berusia 40 tahun untuk maju di Pilpres 2024.

Saat ini, Gibran telah resmi mendaftarkan diri sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada kontestasi politik nasional tahun depan.

Anwar Usman telah menanggapi istilah Mahkamah Keluarga yang sempat viral usai putusan MK terkait syarat usia capres-cawapres.

Ia mengatakan dirinya sudah menjadi hakim sejak 1985. Anwar mengklaim telah memegang teguh sumpah sebagai hakim, konstitusi, hingga Alquran. Ia kemudian mengutip kisah Nabi Muhammad SAW yang didatangi utusan bangsawan Quraisy bernama Usamah bin Zaid.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *