
Jakarta (Riaunews.com) – Pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang diminta Presiden Joko Widodo agar menghentikan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto pada 2017 lalu, sukses membuat heboh publik Tanah Air.
Tak sedikit yang merasa kaget dengan pernyataan Agus Rahardjo, termasuk dari pihak pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengaku terkejut dengan kabar tersebut, dan menyebut hal tersebut jauh di luar imajinasi liarnya.
“Itu jauh di luar imajinasi liar saya sebagai aktivis antikorupsi. Kalau betul itu terjadi, saya kira dia [Agus] tidak berdusta. Ini tidak bisa diterima,” ujar Todung di sela konferensi pers bersama TPN Ganjar-Mahfud, Sabtu (2/12/2023).
Dia menduga intervensi dari pihak lain inilah yang jadi salah satu penyebab Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia merosot.
Pada 2022, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor ini lebih rendah empat poin dibanding tahun sebelumnya.
“Kita itu cuma lebih baik dari Myanmar, Laos, Filipina. Kita kalah dari Timor Leste,” kata Todung.
Dia pun berharap ada koreksi terlebih pelemahan KPK sebagai badan pemberantas korupsi menurutnya terjadi sistematis di depan mata.
Kasus korupsi pengadaan e-KTP kala itu menjerat Setya Novanto (Setnov). Setnov menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketum Partai Golkar yang bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi pada 2016.
Dalam program ‘Rosi’ yang diunggah di YouTube KompasTV, Agus bercerita dirinya dipanggil sendirian tanpa ditemani pimpinan KPK lain.
“Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” kata Agus.
Bantahan Istana
Istana membantah soal pengakuan Agus dan pertemuan dengan Jokowi tersebut.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden.
“Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Ari melalui keterangan tertulis.
Ia enggan menjawab ihwal Jokowi meminta kasus e-KTP dihentikan. Ia meminta publik untuk melihat fakta di mana Setnov tetap diproses hukum.
“Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Ari.
“Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik,” imbuhnya.
Ari juga mengomentari perihal pembahasan revisi UU KPK yang disinggung Agus. Ia menjelaskan inisiator revisi tersebut justru DPR, bukan Pemerintah.
“Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” kata Ari.***