Jumat, 29 November 2024

Diskon hukuman untuk Romahurmuziy, potret nyata peradilan tumpul bagi orang besar

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Romahurmuziy bebas setelah masa tahanannya dikorting satu tahun oleh Pengadilan TInggi Jakarta. (Foto: Detikcom)

Jakarta (Riaunews.com) – Potongan hukuman mantan Ketum PPP Romahurmuziy (Rommy) menjadi 1 tahun, denda Rp100 juta, subsider 3 bulan kurungan yang diberikan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menuai sorotan.

Korting hukuman bagi terpidana kasus suap sekitar Rp300 juta terkait jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemag) ini dinilai mencoreng rasa keadilan bagi masyarakat.

Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya memvonis Rommy hukuman 2 tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan lantaran terbukti menerima suap secara bertahap senilai Rp255 juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin.

Dia juga terbukti menerima uang dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi sebesar Rp50 juta. Rommy kemudian mengajukan banding atas vonis tersebut hingga dikabulkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Berdasarkan putusan banding tersebut, Rommy pun bebas Rabu (29/4) malam setelah melewati masa tahanan sejak Maret 2019. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pun terkait vonis ringan Rommy tersebut.

Vonis ringan diberikan PT DKI Jakarta dianggap aneh. Lantaran jika dibandingkan, banyak kasus korupsi lebih ringan dari Rommy namun mendapatkan hukuman berat.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berharap, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan memperberat vonis mantan ketua umum PPP Romahurmuziy.

“Kami meminta MA juga berani menunjukkan keberpihakannya kepada publik dengan membatalkan putusan di PT dan memperberat vonis Rommy,” ujar Alvin saat dihubungi merdeka.com, Kamis (30/4).

Menurutnya, pemotongan vonis Rommy dari 2 tahun hukuman penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan menjadi setengah hukuman, tidak mempertimbangkan political exposed person pada kasus korupsi suap. Padahal, lanjut dia, Indeks Persepsi Korupsi sudah menegaskan bahwa korupsi di sektor politik itu, jantungnya korupsi di Indonesia.

Lebih lanjut, Alvin mengatakan, pihaknya sudah sejak awal mengkritik vonis Pengadilan Tipikor yang sangat rendah terhadap Rommy. Oleh sebab itu, dia mendesak agar MA dan KPK juga mencabut hak politik Rommy.

Sementara itu, peneliti ICW Tama S Langkun menilai vonis ringan diberikan PT DKI Jakarta semakin memperlihatkan terjadi ketimpangan putusan ketika pengadilan menghadapi tingkat bawah dan atas. Dia mengambil contoh kasus kepala desa Hambuku, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang melakukan korupsi Rp43,4 juta menerima hukuman 4 tahun penjara.

“Walau kasus Rommy kan suap, sedangkan kepala desa ini kerugian negara. Tetapi secara subtansinya sama, malah kepala desa lebih berat dibanding hukuman yang diterima Rommy,” ungkap dia.

Eks Kades Dihukum 3 Tahun Penjara Korupsi Rp31 Juta

Hal serupa dialami Parno, mantan Kepala Desa Paya Itik, Galang, Deli Serdang, Sumut. Parno harus membayar mahal perbuatannya mengorupsi dana pembangunan desa Rp31 juta. Dia dijatuhi hukuman sama, bahkan lebih tinggi, dari koruptor yang merugikan negara bermiliar rupiah.

Majelis hakim yang diketuai Didik Handono menjatuhi Parno dengan hukuman 3 tahun penjara. Laki-laki ini juga dihukum membayar denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Parno juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp24 juta. Jika tidak membayar, harta bendanya akan disita dan dilelang. Seandainya hasil lelang tidak mencukupi, dia dipidana 3 bulan penjara.

Majelis hakim menyatakan pria berusia 49 tahun ini terbukti telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

“Menyatakan terdakwa Parno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsidair,” kata Didik Handono di Pengadilan Tipikor, Medan, Senin (25/4/2016).

Perkara ini bermula dari kucuran dana yang diterima Desa Paya Itik, Kecamatan Galang, Deli Serdang, Sumut pada 2013 dan 2014. Sebanyak Rp40 juta dialokasikan untuk rehabilitasi kantor desa dan pembangunan gang.

Terdakwa membuat dan meneken laporan pertanggungjawaban bahwa pekerjaan telah selesai 100 persen. Padahal fakta di lapangan, pengerjaan itu tidak selesai. Akibatnya negara dirugikan Rp31 juta. Dalam proses penyidikan, Parno mengembalikan Rp7 juta.

Sebelumnya, JPU meminta agar majelis hakim menghukum Parno dengan hukuman 5 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 1 tahun kurungan. Terdakwa juga diminta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp31 juta.

Seusai persidangan, penasihat hukum terdakwa, Suripno, mengatakan, putusan majelis hakim tidak memberi rasa keadilan. Menurutnya, putusan ini membuktikan hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

“Tidak wajar vonisnya begitu. Sangat berbeda dengan kasus korupsi yang melibatkan pejabat yang memakan uang negara bermiliar rupiah. Mereka malah sering divonis dengan hukuman minimal, yaitu 1 tahun penjara. Terdakwa ini sudah miskin, apalagi yang mau dijualnya,” ucap Suripno.

Korupsi Rp162 Juta, Penjabat Kades Divonis 4 Tahun Penjara
Hal serupa dialami Penjabat Kepala Desa Paya Itik, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Marolan SE. Dia divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi kasus proyek drainase desa Tahun Anggaran (TA) 2016 dan 2017 yang merugikan negara Rp162.505.000.

Meski sempat berbeda pendapat, majelis hakim akhirnya menghukum terdakwa dengan pidana 4 tahun penjara denda Rp50 juta subsidair dua bulan kurungan dalam sidang putusan di ruang Cakra III Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (29/5) siang. Atas putusan itu, baik terdakwa dan penuntut umum masih pikir-pikir.

“Menimbang dan memutuskan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 4 tahun penjara denda Rp50 juta subsidair dua bulan kurungan,” ujar majelis hakim diketuai Nazar Efriady.

Sebelum putusan itu, hakim dua yang berbeda beda pendapat mengaku sepakat dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Guntur Samosir, yakni meminta terdakwa dihukum pidana 5 tahun denda Rp50 juta subsidair dua bulan kurungan.

Sementara, Rion Aritonang selaku kuasa hukum terdakwa mengaku keberatan kliennya saja yang dipidana. Sebab menurutnya, selain terdakwa seharusnya ada tiga orang lagi yang menjabat sebagai tim pelaksana kegiatan proyek drainase itu, namun cuma terdakwa Marolan saja yang menjadi tersangka (terdakwa).

“Ketiganya ada RN, ketua tim pelaksana kegiatan proyek drainase, R sekretaris, dan Su bendahara, mereka seharusnya ikut terlibat tapi mengapa hanya klien saya saja yang harus menanggungnya, padahal dia pun hanya penjabat kepala desa,” beber Rion.

Dalam dakwaan JPU menyatakan, Marolan yang diangkat berdasarkan Keputusan Bupati Deli Serdang Nomor : 1967 Tahun 2015 tanggal 13 Nopember 2015 sebagai Pj Kades, mengubah mekanisme pembayaran upah tenaga kerja dalam rangkaian proyek drainase.

Pada proyek drainase Dusun I tahun 2016 sepanjang 402 Meter, anggaran upah tukang yang dibayarkan sesuai hari orang kerja (HOM) adalah Rp67.630.000. Namun, Marolan melakukan pembayaran upah dengan hitungan per meter (borongan). Dikutip Harian Andalas.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan