Jakarta (Riaunews.com) – Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional belakangan mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Sebab, Inpres yang diteken pada tanggal 6 Januari tersebut menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik, mulai dari SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga ke soal keimigrasian.
Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra Fadli Zon memberikan catatan terkait kebijakan tersebut.
Melalui akun media sosial Twitter @fadlizon, politisi berdarah Minang tersebut membuat utas yang memaparkan sejumlah hak rakyat dari negara, salah satunya adalah pelayanan kesehatan.
INPRES TENTANG BPJS SEHARUSNYA TIDAK MENGIKAT. #BPJS
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) February 27, 2022
“Pertama, pelayanan kesehatan serta layanan publik lainnya, terutama yang bersifat dasar, pada prinsipnya adalah hak rakyat, yang seharusnya dilindungi oleh negara,” cuitnya, sebagaimana dipantau Riaunews.com, Ahad (27/2/2022).
Baca Juga:
- Jika Tak Selaras, Syarat BPJS untuk Perpanjang STNK Bisa Munculkan Gejolak
- Warga Bisa Makin Malas Urus SIM dan STNK karena Dikaitkan dengan BPJS Kesehatan
- Luqman Hakim Sebut BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah Sebagai Kebijakan Konyol
Sehingga, lanjut Fadli Zon, negara tak boleh memposisikan hak tadi seolah-olah adalah kewajiban. Apalagi, hak rakyat dalam satu bidang kehidupan, dalam hal ini kesehatan, kemudian hendak dijadikan penghalang bagi hak dalam bidang kehidupan lainnya.
“Dari sudut filosofi layanan publik, ini jelas keliru,” lanjutnya.
Kedua, lanjutnya, dari sisi tata peraturan perundang-undangan, Inpres itu kedudukannya tak bisa mengikat umum (semua orang, atau setiap orang). Menurutnya, kedudukan Inpres hanya bersifat mengikat ke dalam para pejabat pemerintah di bawah Presiden.
Selain itu, lanjutnya, Inpres juga seharusnya tidak memasukkan muatan yang bersifat pengaturan di dalamnya dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat, karena Presiden telah diberi kewenangan lain untuk menetapkan peraturan, yaitu berupa Peraturan Presiden.
“Dengan demikian, Inpres bukanlah bagian dari peraturan perundangan atau peraturan kebijakan. Sehingga, jika Inpres No. 1 Tahun 2022 kemudian diterjemahkan menjadi peraturan-peraturan baru terkait BPJS, maka hal itu bukan hanya menyalahi prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan, tapi bahkan bisa melangkahi kewenangan sebuah undang-undang,” ujarnya.
Fadli menjelaskan syarat administratif orang membuat SIM, misalnya, sudah diatur dalam Pasal 81 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Syaratnya hanyalah KTP, mengisi formulir permohonan, serta rumus sidik jari. Menurutnya menjadikan BPJS sebagai syarat baru, hanya dengan bekal Inpres, tak cukup punya dasar.
“Ketiga, meskipun UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mewajibkan semua orang untuk mendaftarkan diri dalam kepesertaan BPJS, mestinya Pemerintah menyelidiki terlebih dahulu kenapa orang tak mendaftar. Kendala sosiologis dan strukturalnya mestinya dipahami dan dibenahi terlebih dahulu,” imbuhnya.
“Inpres No. 1 Tahun 2022 jangan menjadi alat pemaksaan BPJS. Tugas pemerintah mencari tahu atau memahami kendala yang dihadapi masyarakat mengapa tak daftar BPJS. Jangan sampai masyarakat jadi kian antipati terhadap BPJS,” lanjutnya.
Keempat, Fadli melanjutkan, Inpres tersebut sangat tak adil bagi masyarakat. Di satu sisi masyarakat mau dipaksa menjadi peserta BPJS, namun sistem dan manfaat pelayanan BPJS sendiri masih kerap berubah-ubah.***