
Jakarta (Riaunews.com) – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengimbau Ketua DPR Puan Maharani angkat suara dan meminta maaf atas keberadaan baliho-balihonya di lokasi pengungsian korban erupsi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Lucius menilai, Puan perlu memberikan klarifikasi agar isu tersebut tak menggelinding dan menimbulkan pertanyaan bagi publik. Menurutnya, permintaan maaf penting untuk menunjukkan kerendahan hati Puan kepada korban.
“Permintaan maaf saya penting untuk menunjukkan kerendahan hati dan penghargaan mereka terhadap keluarga korban bencana alam,” kata dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (24/12).
Lucius mengkritik baliho-baliho Puan yang sempat bertebaran di sekitar lokasi pengungsian warga korban erupsi Semeru. Menurut dia, baliho-baliho itu tak menunjukkan sikap simpati kepada korban.
Lucius, oleh karena itu, mengaku mendukung sikap Satpol PP setempat yang belakangan telah menurunkan baliho tersebut karena disebut tak berizin. Dia mengingatkan kepada semua politikus agar nafsu kekuasaan mestinya tak mengikis sikap empat di tengah suasana berkabung korban bencana.
“Orang lagi berjibaku, berjuang untuk mengatasi segala dampak bencana, pada saat yang bersamaan muncul baliho dengan foto wajah kondisi, saya kira bukan sesuatu yang bijak,” kata dia.
Lebih lanjut, Lucius mengingatkan Puan bahwa kehadirannya sebagai Ketua DPR akan lebih berguna dilakukan dengan kebijakan, alih-alih memasang baliho dengan kata-kata motivasi. Baliho itu, katanya, terang-terang justru hanya menunjukkan iklan politik.
“Jadi bukan nasihat-nasihat bijak, apalagi foto diri yang sudah jelas bukan ekspresi simpati, tapi ini sebenarnya iklan politik, memanfaatkan situasi, untuk kepentingan politik,” katanya.
Sekretaris Jenderal PDIPHasto Kristiyanto sebelumnya mengungkapkan pemasangan baliho Ketua DPR RI Puan Maharani di sekitar desa terdampak erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur sebagai bentuk semangat untuk warga.
Menurutnya, kritik yang selama ini dilontarkan kepada Puan terkait baliho tersebut adalah hal lumrah dan biasa-biasa saja.
“Sehingga ini dalam konteks untuk memberikan semangat. Kalau kritik sudah biasa. Sejak zaman Bung Karno dulu kritik sudah biasa,” papar Hasto kepada wartawan saat acara PDI Perjuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (22/12).***