Jakarta (Riaunews.com) – Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghasilkan sejumlah kesepakatan. Para ulama sepakat bahwa penggunaan kripto sebagai mata ulang hukumnya haram. Berikut poin-poin kesepakatan ijtima ulama.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia VII diselenggarakan sejak Selasa (9/11/2021) kemarin.
Berikut hasil kesepakatan itu dibacakan Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, sebagaimana dilansir Detikcom.
1. Kripto Haram Sebagai Mata Uang
Kesepakatan pertama adalah, para ulama setuju bahwa penggunaan kripto sebagai mata uang adalah haram. Sebab kripto disebut tidak memenuhi sil’ah secara syar’i.
“Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram,” ujar Ketua Fatwa MUI Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021).
Niam pun menyampaikan beberapa alasan kripto itu haram. Ini dikarenakan kripto mengandung gharar, dharar, juga bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.
“Cryptocurrency sebagai komoditas atau aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i,” ungkapnya.
2. Permendikbud PPKS Minta Dicabut
Ijtima ulama juga menyoroti frasa ‘tanpa persetujuan korban’ di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ijtima ulama MUI menilai frasa itu bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
“Meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, dan materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” katanya.
Mengenai aturan nikah online, MUI menyepakati bahwa nikah tidak sah apabila tidak memenuhi syarat sah ijab-kabul. Niam pun menjelaskan syarat itu.
“Akad nikah secara online hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab-kabul akad pernikahan,” ujar Ketua Fatwa MUI Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021).
Apa saja syarat yang harus dipenuhi agar akad nikah secara online bisa sah?
“Yakni dilaksanakan secara ittihadu al-majlis (berada dalam satu majelis), dengan lafaz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung),” ungkap dia.
Niam melanjutkan, jika calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, ijab-kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil atau mewakilkan.
3. Syarat Nikah Online
Sementara dalam hal para pihak tidak bisa hadir dan atau tidak mau mewakilkan, pelaksanaan akad nikah secara online dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Di antaranya, adanya ittihadul majlis, lafaz yang jelas dan tersambung antara ijab dan kabul secara langsung.
Syarat ittihadul majlis, lafaz yang sharih dan ittishal ditandai dengan beberapa hal:
1. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar;
2. Harus dalam waktu yang sama;
3. Terdapat jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.
4. Pinjaman Online Riba Hukumnya Haram
Niam menambahkan bahwa pinjaman online yang mengandung riba hukumnya haram. Hal yang sama juga berlaku pada pinjaman offline.
“Layanan pinjaman, baik offline maupun online, yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan,” ujar Niam.
Niam pun memberikan imbauan kepada umat. Dia meminta agar umat Islam memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
“Umat Islam hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah,” katanya.
5. Lecehkan Agama Hukumnya Haram
Niam melanjutkan bahwa menghina hingga melecehkan agama hukumnya haram. Niam pun menjelaskan kriteria penodaan agama itu.
“Menghina, menghujat, melecehkan, dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan, dan simbol-simbol dan atau syiar agama yang disakralkan oleh agama hukumnya haram,” ujar Niam.
Niam menjelaskan bahwa kriteria dan batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan:
a. Allah SWT
b. Nabi Muhammad SAW
c. Kitab Suci al-Qur’an
d. Ibadah Mahdlah seperti Shalat, Puasa, Zakat dan Haji.
e. Sahabat Rasulullah SAW
f. Simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan seperti Ka’bah, Masjid, dan adzan;
Selain itu, pembuatan gambar, poster, karikatur masuk kategori penistaan agama. Kemudian, pernyataan dan ucapan di muka umum dan media yang menghina agama juga masuk kategori penistaan agama.
“Pembuatan konten dalam bentuk pernyataan, ujaran kebencian, dan video yang di-publish ke publik melalui media cetak, media sosial, media elektronik, dan media publik lainnya,” kata dia.
6. Pilkada
Isu pemilu dan pilkada juga dibahas dalam ijtima ulam ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai pilkada lebih banyak menimbulkan mafsadah atau kerusakan akibat perbuatan buruk yang melanggar hukum.
“Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadahnya daripada maslahatnya,” ujar Niam.
Dia menyebutkan beberapa mafsadah yang ditimbulkan, antara lain menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat. Selain itu, dampak lain dari pilkada ialah adanya disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat adanya politik uang.
7. Minta RUU Minol Segera Disahkan
Selanjutnya, itjima ulama MUI juga membahas mengenai larang minuman beralkohol. MUI meminta DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) menjadi undang-undang. Menurut MUI, minuman beralkohol merugikan masyarakat.
“RUU Larangan Minuman Beralkohol yang telah sejalan dengan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol agar segera disahkan menjadi UU,” ujar Niam.
Negara, kata Niam, harus hadir untuk mengatur minuman beralkohol. Dia mengatakan, sesuai amanat konstitusi, yaitu Preambul UUD 1945, negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah air Indonesia.
“Negara harus menerbitkan regulasi mulai dari pencegahan, pengurangan risiko, daya tanggap, serta upaya pemulihan akibat minuman beralkohol,” jelas Niam.
“Berlandaskan ajaran agama, bahwa semua agama melarang minuman dan beralkohol. Islam dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90, dan hadis-hadis Nabi, serta kaedah ushuliyah, serta fatwa MUI, menegaskan bahwa khamar, alkohol, minuman dan makanan beralkohol adalah haram,” sambungnya.
8. Minta Tak Ada Stigma Negatif soal Jihad dan Khilafah
MUI juga mengeluarkan pandangannya mengenai jihad dan khilafah. MUI menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.
“MUI menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami makna jihad dan khilafah. Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam,” ucap Niam.
Niam mengatakan bahwa jihad merupakan salah satu inti ajaran dalam Islam guna meninggikan kalimat Allah. Perihal itu telah difatwakan oleh MUI.
“Dalam situasi damai, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan,” jelas Niam.
“Dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara,” ujar Niam.
9. Aturan Toa Masjid
Selain itu, MUI juga membahas mengenai volume toa masjid yang digunakan untuk azan. MUI mengatakan hal itu sebelumnya telah diatur oelh pemerintah.
“Dalam masalah ini, Kemenag telah menerbitkan aturan sejak tahun 1978 untuk dipedomani setiap muslim, khususnya para pengurus masjid/musholla. Agar lebih kontekstual, perlu disegarkan kembali seiring dengan dinamika masyarakat,” katanya.
MUI kemudian merekomendasikan adanya sosialisasi dan pembinaan kepada umat Islam. MUI juga menyarakankan sosialisasi delakukan kepada pengurus masjid/dan masyarakat umum tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid mushalla yang lebih maslahah.
“MUI juga merekomendasikan pemerintah memfasilitasi infrastruktur masjid dan mushala sebagai penyempurna kegiatan syiar keagamaan,” sebutnya.
10. Masa Jabatan Presiden 2 Kali
Ijtima Ulama MUI itu juga menghasilkan mengenai pemilihan presiden. MUI mengatakan masa jabatan presiden hanya dua kali periode.
“Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah,” ujar Niam.
Dalam Ijtima Ulama MUI juga diputuskan bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia. Selain itu, pemilu harus bebas dari oligarki dan dinasti politik.
11. Aturan Pajak Bea Cukai
12. Aturan Transplantasi Rahim
Mengenai dua poin terakhir, Niam mengatakan pihaknya masih melakukan finalisasi keterangan.***