Pembangkit listrik PT Chevron. Portonews.com
JAKARTA (RiauNews.com)- Lebih 20 tahun pembangkit listrik Blok Rokan beroperasi di atas tanah negara dan tidak pernah membayar biaya sewa. Ada dugaan transfer pricing yang dilakukan Chevron selama pengelolaannya
Proses alih kelola Blok Rokan antara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan PT Pertamina (Persero) masih berlangsung. Persoalan pembangkit listrik masih mengganjal peralihan ini. Chevron enggan memberikan pembangkit listrik berteknologi cogeneration (cogen) berkapasitas 300 megawatt itu secara cuma-cuma.
Pembangkit milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) ini disebut tidak masuk dalam aset hulu minyak bumi dan gas (migas).
Pemilik pembangkitnya adalah Chevron Standard Ltd (CSL) dengan porsi saham mencapai 95 persen. Karena itu, perusahaan merasa berhak melelang pembangkit tersebut ke pihak lain yang berminat.
Namun, SKK Migas berpendapat berbeda. Satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu migas itu menginginkan pembangkit segera dihibahkan ke negara. Selama beroperasi, pembangkit setrum Blok Rokan berada di atas tanah negara dan tidak pernah membayar biaya sewa sesuai perjanjian.
“Secara bisnis pembangkit tersebut diestimasi sudah mendapatkan keuntungan jauh melebihi investasi awal,” kata Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih, kepada Katadata.co.id Rabu (31/3).
Ekonom senior Faisal Basri sebelumnya mengatakan, mekanisme tender untuk pembangkit Blok Rokan berpeluang membuka celah bagi pencari rente untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya. Dengan usia aset yang hanya tiga tahun, pemenang tender akan mengambil untung dengan menetapkan tarif listrik tinggi kepada Pertamina.
“Misalnya saya beli pembangkit ini lewat tender, menang, dan di-back-up kekuasaan. Dalam tiga tahun bisa untung,” kata dia kemarin.
Agar proses transisi pembangkit listrik berjalan lancar, pengoperasiannya harus melalui PLN. Faisal mendorong PLN dan Pertamina melakukan perundingan baik-baik dengan Chevron.
“Kami juga ingin happy ending dengan Chevron. Tidak ingin ada gugat-menggugat,” ujarnya. Ilustrasi Chevron.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S Handoko mengatakan, setiap kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS yang beroperasi di Indonesia, tidak terkecuali Chevron, membangun pembangkit sendiri untuk kebutuhan listriknya. Namun, pada 1998, Chevron Pacific Indonesia menyerahkan pembangkit Blok Rokan ke Chevron Corporation. Komposisi kepemilikan saham MCTN awalnya adalah 47,5 persen dikuasai Chevron Inc, 47,5 persen oleh Texaco Inc, dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara. Pada 2001, Chevron dan Texaco bergabung. Alhasil, kepemilikan sahamnya menjadi 95 persen oleh Chevron dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara.
“Jadi, Chevron Pacific Indonesia bayar listrik ke adiknya dengan tarif yang kencang. Berapapun yang ditagihkan tadi itu semua cost recovery,” kata dia.
Cost recovery adalah pengembalian biaya operasi hulu migas dari pemerintah ke kontraktor. Pembayarannya dilakukan ketika kontraktor telah berhasil menemukan cadangan migas. Arief sebenarnya sudah menyinggung persoalan tersebut sebelum Blok Rokan diputuskan dikelola Pertamina.
Alih kelolanya akan terjadi pada Agustus nanti. Namun, masalah itu kurang mendapat perhatian. Padahal, Pertamina Hulu Rokan, selaku pengelola selanjutnya, bakal membutuhkan listrik untuk menopang produksi di sana. Ia mendesak agar Chevron tidak melakukan opsi tender dan segera menyerahkan pembangkit tersebut ke negara.
Pasalnya, usia aset yang ditenderkan hanya tiga tahun. Hal ini berpotensi membuat pemenang tender akan meraup untung dalam berjualan listrik.
Di samping itu, Chevron juga telah mendapatkan keuntungan jauh melebihi investasi awal dari pembangkit listrik. Investasi awal untuk membangunnya adalah US$ 200 juta. Sedangkan, tagihan listrik di Blok Rokan dari MCTN ke Chevron dapat mencapai US$ 80 juta per tahun hingga 2020.
“Dulu kenapa CPI tidak bangun (pembangkit) sendiri? Karena ada transfer pricing. Adik usahanya mau diuntungkan. Itu yang enggak benar. Saya marah benar itu,” ujarnya.
Ia pun mendorong supaya Chevron membatalkan proses tender dan membiarkan PLN untuk mengelola pembangkit tersebut. Apalagi, lahan yang digunakan untuk pembangkit selama ini tidak dikenakan sewa dan sebagian karyawan MCTN juga merupakan karyawan Chevron yang dibayar dengan cost recovery.
Arief mendorong pemerintah dapat bersikap lebih keras lagi terhadap Chevron. Blok Rokan memiliki nilai strategis karena bertahun-tahun menjadi penyumbang terbesar produksi minyak nasional
Anggota Komisi VII DPR Abdul Wahid sebelumnya juga menyinggung terkait persoalan ketidakjelasan lahan MCTN karena tidak ada keterangan soal sewa lahannya. Tidak ada bukti pula pendapatan negara dari hasil sewa lahan tersebut. Ia pun berencana mendalami persoalan itu lebih lanjut. Selama 20 tahun aset negara tersebut digunakan tanpa kejelasan. Kemudian hingga 2017, MCTN dioperasikan oleh karyawan Chevron yang gajinya dibayar negara melalui mekanisme cost recovery.
“Saya melihat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak ada temuan tapi kami akan gali,” kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Riau itu.
BPK sebenarnya juga sempat menyinggung ketidakberesan ini pada 2006 lalu. Hal ini berdasarkan temuan yang terungkap dalam hasil pemeriksaan semester pertama tahun itu. Mengutip hukumonline.com, BPK menemukan biaya listrik dan steam yang dimintakan kembali ke pemerintah sejak Chevron Pacific Indonesia melakukan kerja sama dengan MCTN diragukan kewajarannya.
Proses ini mengakibatkan kerugian bagi pemerintah sebesar US$ 210 juta dan merugikan negara sebesar US$ 1,23 miliar.
Katadata.co.id mencoba meminta konfirmasi kepada pihak Chevron mengenai hal tersebut. Manager Corporate Communications Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo menyatakan Chevron Standard Ltd mendukung kegiatan transisi blok Rokan ke operator berikutnya. Setiap kegiatan transisi, terdapat berbagai hal yang didiskusikan.
“Namun, sebagai kebijakan perusahaan, kami tidak dapat memberikan detail diskusi tersebut,” kata Sonitha.
Skema Pembelian Listrik Chevron Rugikan Negara
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat apa yang dilakukan oleh Chevron selama ini dengan membeli listrik lebih mahal dari MCTN sangat merugikan negara. Aparat penegak hukum perlu turun untuk menyelidiki kasus ini.
Kasus tersebut menyebabkan beban cost produksi mereka menjadi lebih tinggi. Apalagi, MCTN sahamnya 95 persen dimiliki oleh Chevron. Opsi melelang pembangkit yang dilakukan Chevron, menurut dia, merupakan perbuatan yang melawan negara. Pasalnya, pembangkit MCTN berada di aset negara dan seharusnya dikembalikan. Apalagi, biaya operasionalnya selama ini juga dibayarkan negara dengan skema cost recovery.
“Jadi, saya kira MCTN harus kembali ke negara dan diserahkan kepada Pertamina atau PLN untuk mengelola pembangkit tersebut,” kata dia.
MCTN, ia mengatakan, telah menunjuk JP Morgan untuk menilai aset pembangkitnya. Bank investasi dan penyedia layanan keuangan itu telah mengeluarkan hasil penilaian dan menyebut pembangkit tersebut masih mampu beroperasi 40 tahun lalu. Mamit berpendapat angka itu tidak wajar karena aset yang umurnya lebih dari 20 tahun masih dinilai begitu tinggi. Dugannya, ini merupakan upaya Chevron, melalui MCTN, untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Apalagi, PLN memiliki kelemahan. Apabila ingin membangun jalur transmisi dan distribusi sendiri maka perusahaan setrum negara butuh waktu tiga tahun.
Kondisi ini hanya membuat aset MCTN menjadi lebih mahal. Chevron dapat mencari penawar lebih tinggi dalam opsi tender. Dampak ke depannya pun makin runyam, terutama jika swasta atau asing memenangkan lelang tersebut. Harga listriknya menjadi tidak terkontrol.
Tidak ada jaminan pula swasta mau dikontrak tiga tahun saja karena penilaian JP Morgan dapat mencapai 40 tahun.
“Buntutnya, produksi Blok Rokan dapat terganggu apabila masalah listrik ini tidak selesai,” kata Mamit.
Kondisinya berbeda apabila PLN yang menang. Dalam perjanjian jual beli listrik dan uap dengan Pertamina Hulu Rokan beberapa waktu lalu, harganya telah ditentukan di awal.
Mamit mengatakan, MCTN harus membatalkan tender tersebut dan memberikan kepada PLN untuk menjadi prioritas utama sewa disana. Bahkan jika perlu, pemerintah meminta perusahaan untuk memberikannya kepada negara.
“Saya mendesak penegak hukum untuk menyelidiki transfer pricing yang dilakukan oleh Chevron,” kata dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat, dalam transisi Blok Rokan banyak hal sebenarnya dapat diantisipasi Pertamina dan pemerintah. Namun, hal itu tidak dilakukan.
Untuk membangun pembangkit baru ataupun mengambil alih milik Chevron akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Chevron pun telah mempunyai posisi dalam hal ini sehingga ia melihat kurangnya rencana yang matang dari pihak Pertamina maupun pemerintah.
Chevron mempunyai kuasa pertambangan sampai saat kontrak beralih. Segala dukungan perusahaan untuk transisi ini sifatnya sukarela. Tidak ada kewajiban selama mereka tidak melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Moshe mengingatkan segala tindakan yang negara ini lakukan akan dipantau oleh para investor dan pelaku migas dunia. Kejadian ini dapat dijadikan referensi mereka kedepannya dalam rencana berinvestasi.
Sumber :katadata