Jakarta (Riaunews.com) – Sejumlah mantan pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta aktivis antikorupsi turun gunung melakukan demonstrasi di depan Gedung Merah Putih KPK, Senin (10/4/2023).
Mereka yang hadir antara lain Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Saut Situmorang, hingga mantan pegawai seperti Novel Baswedan, Aulia Postiera, M. Praswad Nugraha, Lakso Anindito, dan Ronald Paul Sinyal.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat juga hadir, yakni Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII).
Kemudian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Muhammadiyah, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Research Institute, serta Themis Indonesia.
Tuntutan mereka cuma satu: mendesak Ketua KPK Firli Bahuri dicopot dari jabatannya.
Novel Baswedan menilai dugaan perbuatan Firli membocorkan dokumen hasil penyelidikan di Kementerian ESDM sudah keterlaluan. Namun, ia tak heran lantaran saat menjadi Deputi Penindakan KPK, Firli diduga sering membocorkan penanganan kasus korupsi.
“Sudah menjadi rahasia umum ketika di media disampaikan tentang banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Firli Bahuri ini. Bahkan, ketika menjadi Deputi Penindakan di KPK, saya teringat Firli Bahuri ketika mengikuti ekspose, dia sering memfoto-foto risalah atau dokumen rahasia ekspose,” ujar Novel.
Novel mengatakan hal serupa juga diduga dilakukan Firli terkait kebocoran dokumen hasil penyelidikan KPK di Kementerian ESDM. Menurutnya, perbuatan tersebut tidak hanya melanggar etik melainkan juga pidana.
“Ini kan membocorkannya sudah pada level menghalang-halangi penyidikan, tentunya saya lebih melihat ini pidana. Tapi, terlepas dari pidana, ini menjadi ujian buat Dewas [Dewan Pengawas KPK] untuk bisa menegakkan etik dengan cara yang baik demi kepentingan KPK,” ujarnya.
Demonstrasi ditutup dengan pelaporan Firli atas dugaan pelanggaran kode etik ke Dewas KPK.
“Kami mewakili 56 lebih perorangan dan organisasi menyampaikan dugaan, intinya adalah potensi pelanggaran yang terjadi baik etik maupun pidana yang dilakukan oleh Firli Bahuri dalam hal ini sebagai Ketua KPK,” kata Saut Situmorang di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi alias Kantor Dewas KPK.
Goyang penanganan perkara
Pakar hukum dan sejumlah aktivis antikorupsi mengatakan permasalahan internal KPK mengganggu kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah setidaknya melihat hal itu dari kasus yang ditangani KPK di era kepemimpinan Firli Cs.
“Implikasinya lembaga yang sibuk ngurusin perilaku komisionernya yang bermasalah tentu akan berdampak signifikan terhadap kinerjanya. Dan itu terkonfirmasi dari belum adanya kasus-kasus besar yang ditangani KPK di periode Firli ini,” ujar Castro, sapaan akrabnya, kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/4).
Sepengetahuan Castro, KPK saat ini lebih banyak menindak kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala dinas. Hal itu berdampak pada kepercayaan publik terhadap KPK yang semakin merosot.
Pernyataan Castro tersebut sesuai dengan yang disampaikan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyayangkan KPK di era kepemimpinan Firli Cs belum mampu mengungkap kasus-kasus besar atau big fish, padahal masa jabatan tersisa kurang lebih delapan bulan lagi.
Castro memandang kondisi KPK saat ini merupakan buah dari terpilihnya Firli sebagai pimpinan KPK. Saat proses pemilihan berlangsung, masyarakat sipil sudah menyuarakan begitu lantang kalau Firli bermasalah.
Castro memberi contoh Firli sempat dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik berat oleh Direktorat Pengawasan Internal KPK pada 2019 lalu. Saat itu Firli menjabat Deputi Penindakan KPK.
Penilaian itu berdasarkan fakta kalau Firli melakukan pertemuan dengan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang sebanyak dua kali. Padahal, KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi terkait kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont pada 2009-2016.
Pelanggaran etik selanjutnya adalah ketika Firli bertemu pejabat BPK Bahrullah Akbar di Gedung KPK.
Saat itu, Bahrullah akan menjalani pemeriksaan dalam kapasitas sebagai saksi untuk tersangka Yaya Purnomo perihal kasus suap dana perimbangan. Firli didampingi Kabag Pengamanan menjemput langsung Bahrullah di lobi Gedung KPK.
Selanjutnya pelanggaran etik dilakukan Firli saat bertemu dengan pimpinan partai politik di sebuah Hotel di Jakarta, 1 November 2018. Firli saat itu tidak pernah meminta izin melakukan pertemuan dengan pihak yang terkait perkara dan tidak pernah melaporkan ke pimpinan.
“Firli misalnya, kan sejak proses seleksi capim [calon pimpinan] KPK sudah disorot habis-habisan, terutama saat dia masih menjabat Deputi Penindakan KPK sebelumnya,” kata Castro.
“Jadi, kalau Firli terus bermasalah saat ini, tentu bukan hal baru. Apalagi banyak yang menduga keberadaan Firli ibarat strategi kuda troya, yang memang berdampak terhadap pelemahan KPK dari dalam,” ujarnya menambahkan.
Firli Dianggap Sumber Masalah
Sementara itu, Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha berkeyakinan Firli menjadi sumber masalah di lembaga antirasuah dengan melihat kondisi tiga tahun terakhir. Tak hanya sekarang, Praswad menyoroti saat Firli menjadi Deputi Penindakan KPK.
Saat itu, tepatnya pada 29 Maret 2019, pegawai KPK ramai-ramai membuat petisi yang isinya mengeluhkan masalah di bidang penindakan terkait kebocoran informasi saat penyelidikan. Hampir seluruh satuan tugas (Satgas) Penyelidikan KPK pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi senyap.
Petisi yang berisi lima poin penting itu di antaranya menyinggung perihal kedeputian penindakan mengalami kebuntuan dalam mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke level yang lebih tinggi, kejahatan korporasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pegawai juga menyoroti mandeknya laporan dugaan pelanggaran berat oleh oknum di penindakan lantaran tidak ditindaklanjuti secara transparan oleh Pengawas Internal. Mereka pun akhirnya bertemu dengan pimpinan KPK 16 April 2019.
CNNIndonesia.com saat itu memperoleh notulensi pertemuan 16 April 2019. Pertemuan berlangsung di lantai 15 Gedung KPK.
Lima pimpinan KPK era Agus Rahardjo Cs serta sejumlah penyelidik dan penyidik KPK hadir. Dalam pertemuan itu, diuraikan secara gamblang perihal dugaan kebocoran penanganan kasus di masing-masing Satgas.
“Terbukti benar bahwa Firli adalah sumber karut-marutnya penegakan hukum di KPK. Bukan hanya sekarang, namun sudah sejak tahun 2018 saat dia menjabat Deputi Penindakan KPK,” ucap Praswad.
Praswad yang sempat menjadi penyidik KPK dan kemudian disingkirkan lewat asesmen TWK ini meyakini kontroversi yang menyeret Firli sangat mengganggu kerja-kerja pemberantasan korupsi. Bukan hanya itu, perbuatan tak mengenakkan itu berdampak kepada pelemahan lembaga antirasuah.
Setidaknya hal itu terbukti dari banyak survei yang selalu menyimpulkan kepercayaan publik terhadap KPK melorot, kata Praswad.
“Mau tidak mau kerusakan bertubi-tubi yang menimpa KPK ini pasti akan melemahkan KPK baik secara institusional maupun secara individual dari para penyelidik, penyidik dan petugas lapangan yang sedang melaksanakan penegakan hukum,” ujarnya.
Desakan Copot Firli
Praswad menawarkan solusi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK dan kerja-kerja pemberantasan korupsi kembali ke jalur yang benar. Satu di antaranya ialah menjauhkan KPK dari para pemain perkara dan pelanggar kode etik.
“Copot Firli,” tegas dia.
Di samping itu, Praswad meminta Dewas KPK menaruh atensi dengan bekerja cepat menindaklanjuti banyak laporan masyarakat yang menyeret Firli. Seiring dengan proses pemeriksaan, menurut dia, Firli harus dinonaktifkan sebagai pimpinan KPK.
“Dewas sebagai harapan terakhir untuk menyelamatkan KPK harus bertindak sekarang, sebelum semua terlambat dan kerusakan di KPK sudah tidak tertolong lagi. Nonaktifkan Firli Bahuri sekarang juga dan bawa ke persidangan kode etik,” ujarnya.
Herdiansyah Hamzah alias Casto sepakat dengan solusi tersebut. Ia menilai hal itu sebagai solusi untuk jangka pendek.
“KPK memang harus berbenah jika public trust ingin dikembalikan. Pilihan jangka pendeknya, Firli harus mundur atau dipecat oleh Dewan Pengawas, sembari ranah pidananya (untuk kasus bocornya hasil penyelidikan ESDM) juga mesti jalan agar ada efek jera terhadap komisioner yang lain,” imbuhnya.
Solusi jangka panjang, Castro menekankan kepada perubahan Undang-undang KPK.
“Solusinya berkelindan antara regulasi (Revisi UU KPK dulu yang memangkas kewenangan KPK dan menempatkannya di bawah kekuasaan eksekutif) dengan bersih-bersih di internal,” ujarnya.
Terkait UU KPK yang direvisi, lembaga antirasuah sempat mencatat 26 poin permasalahan yang dapat memperlemah KPK.
Mulai dari diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; Dewas yang lebih berkuasa daripada pimpinan KPK dan masuk pada teknis penanganan perkara; hingga pemangkasan kewenangan penyelidikan dan penyadapan.
“Kalau desain jangka panjangnya, KPK harus dijadikan organ konstitusi atau diatur dalam UUD agar tidak mudah diobok-obok oleh para politisi sekutu koruptor,” katanya.
CNNIndonesia.com telah meminta tanggapan Firli Bahuri terkait berbagai desakan untuk mundur dari kursi ketua KPK, namun yang bersangkutan belum merespons.
Sementara Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri enggan menanggapi dugaan kebocoran dokumen hasil penyelidikan dimaksud. Ia hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK lantaran sudah ada laporan yang masuk.
“Kami tentu sangat menghargai beberapa pihak yang melaporkan dinamika dan isu dugaan kebocoran dokumen kepada Dewas KPK. Kita semua tentu juga menunggu hasil tindak lanjut dari Dewas KPK tersebut,” ucap Ali.
“Marilah kita serahkan proses tersebut pada mekanisme di Dewas, sehingga kami berharap tidak ada lagi pihak yang membangun narasi kontraproduktif terkait persoalan dimaksud,” ujarnya.***