LAM Riau Tolak Rencana ‘Pengampunan’ 1,4 Juta Hektare Lahan Sawit Ilegal di Riau oleh KLHK Melalui UU Ciptaker

Hutan di Riau banyak yang dibabat secara ilegal untuk kemudian dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pekanbaru (Riaunews.com) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, total 2,2 juta hektare kawasan hutan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan tanpa izin di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.

Di Provinsi Riau sendiri terdapat 1.444.800 hektare luas hutan yang telah digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan. Hutan seluas itu digunakan paling banyak untuk perkebunan sawit ilegal dengan luasan 1.351.816 hektare.

Mirisnya, para pelaku aktivitas ilegal itu akan diampuni menggunakan UU Cipta Kerja, sehingga bisa melanjutkan operasinya.

Baca Juga: Kejagung Sita Aset Duta Palma Grup Berupa Dua PKS dan 37 Ribu Ha Lahan

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Tan Seri Syahril Abubakar menolak keras rencana tersebut.

“LAM yang saya pimpin menolak dengan keras kebijakan yang diwacanakan Kementerian LHK untuk memberikan pengampunan kepada pemilik kebun yang masuk dalam kategori kebun ilegal. Kita sependapat dengan kawan – kawan aktivis lain. UU Omnibus law sudah ditolak oleh MK untuk diperbaiki, karena sangat bertentangan dengan UUD maupun filosofi Pancasila. Maka dengan adanya keinginan memberikan pengampunan perusahaan yang membabat hutan secara ilegal, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan khususnya masyarakat adat,” tegas Syahril, Ahad (28/8/2022).

Ia mengatakan, dari 1,4 juta hektar tersebut, tidak kurang dari 1 juta hektarnya berada di tanah ulayat. Sesudah dikuras perusahaan besar selama lebih kurang 30 tahun dan masyarakat adat tidak dapat apa- apa, tentu tidak adil.

Maka dari itu, kata Syahril, harusnya kebun ilegal tersebut bukan dikembalikan ke perusahaan, namun harus dikembalikan ke masyarakat adat.

“Perusahaan wajib membayar denda kepada negara selama berapa tahun mereka menikmati itu, dan ke depan harus dikembalikan ke masyarakat. Itu yang harus didorong oleh pemerintah, berapa rinciannya yang berada di atas tanah ulayat, itu yang harus dikembalikan ke masyarakat adat. Baru nantinya masyarakat adat bekerjasama dengan perusahaan, itu baru adil,” katanya lagi.

Baca Juga: PT RAPP Dilaporkan Warga Meranti Karena Diduga Lakukan Penyerobotan Lahan

Ia mencontohkan seperti langkah bijak yang diambil Presiden Jokowi di Sinamanenek, Kabupaten Kampar.

Dimana, 2800 hektar tanah masyarakat adat yang digarap perusahaan sawit akhirnya dikembalikan presiden ke masyarakat setelah 20 tahun lebih bertikai.

“1400 kepala keluarga yang tertolong dan masyarakat sudah dapat sertifikat dengan program Tora. Nah persoalan 1,4 juta hektar ini juga kalau sudah dikonsultasikan ke Presiden Jokowi, pasti presiden mengambil langkah yang sama dengan kasus Sinamanenek,” kata Syahril lagi.

Dimana, di Sinamanenek tersebut, saat ini, tetap dikelola perusahaan, namun masyarakat adat dapat hasil dari lebih kurang dua hektar lebih. Akhirnya sama-sama mendapat solusi terbaik.

Disinggung mengenai apa langkah LAM Riau terhadap hal ini, Syahril mengatakan, bahwa pihaknya segera mungkin akan menyurati Presiden Jokowi, dan sedang disiapkan untuk menjumpai presiden melalui KSP Moeldoko.

“Tentu ada yang bertanya, kalau LAM yang saya pimpin ini tidak sah. Saya tegaskan, yang tidak sah itu kan di mata gubernur saja, kami masyarakat adat tetap berjalan dengan masyarakat adat yang berjalan menaungi kami semua,” cakapnya.

“Ini kami mendorong agar masyarakat adat tetap mendapatkan haknya. Kalau Pemprov tak mengakui kami itu lain soal. Yang jelas hak masyarakat adat dan kami membela itu,” tukasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *