Sabtu, 21 September 2024

Luhut Tebar Isu Penundaan Pemilu Demi Ambisi Pembangunan IKN?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Luhut Binsar Panjaitan
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

Jakarta (Riaunews.com) – Dari mana sumber pembiayaan ibu kota negara (IKN)?. Pertanyaan itu yang hingga kini masih menjadi teka-teki itu acap dilontarkan berbagai pihak seiring mulai dibangunnya ibu kota baru.

Pertanyaan makin mengemuka menyusul batalnya Softbank berinvestasi dari proyek yang ditaksir bernilai Rp466 triliun itu.

Maklum, Softbank sempat digadang-gadang Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan bakal menggelontorkan US$100 miliar atau Rp1.428 triliun (Kurs Rp14.428 dolar AS) untuk proyek itu.

Luhut mengungkap ada berbagai alasan perusahaan Jepang itu batal berinvestasi ke ibu kota baru. Pertama, CEO Softbank Masayoshi Son tidak akan lagi menduduki posisi sebagai Dewan Pengarah Pembangunan IKN.

Kedua, saham perusahaan anjlok dan memaksa Softbank menarik investasinya. Ketiga, mereka ditinggal oleh investor Timur Tengah.

Tak patah arang, Luhut menyatakan masih ada dua investor potensial lain yang mau membiayai pembangunan IKN. Menurutnya, UEA akan masuk ke proyek IKN melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) dengan angka US$20 miliar atau setara Rp286 triliun (kurs Rp14.305 per dolar AS).

Lalu, Luhut juga sudah melobi Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) bin Abdulaziz al-Saud untuk ikut membantu Indonesia. Saat ini, ia masih dalam tahap pembahasan.

Walau berbagai janji manis disampaikan oleh kedua pihak itu, hingga kini belum ada kejelasan kapan atau infrastruktur apa yang akan mereka bangun di IKN. Terlebih, jika dilihat sebetulnya Arab Saudi dan UEA bukan negara investor besar di Indonesia.

Dilansir CNNIndonesia.com, mengutip data olahan BKPM/ Kementerian Investasi, pada 2015 tercatat nilai investasi Arab Saudi sebesar US$30,36 juta. Lalu, pada 2016 investasi merosot menjadi hanya US$939,6 ribu. Pada 2017 investasi naik menjadi US$3,53 juta.

Kemudian, nilai investasi pada 2018-2020 berada di kisaran US$5 jutaan per tahun dan turun menjadi US$3,63 juta pada tahun lalu.

Baik Arab Saudi mau pun Uni Emirat Arab tak masuk dalam 10 negara investor terbesar Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura sebagai negara investor pertama di RI menanamkan US$9,7 miliar pada 2020 dan US$9,3 miliar pada 2021.

Selain investor asing, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menaksir sumber pendanaan pembangunan IKN, sekitar 19 persen-20 persen dana tersebut akan berasal dari APBN.

Selain itu, pembangunan ibu kota baru juga akan didanai melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Jokowi menilai investasi secara langsung juga dapat dilakukan oleh swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tak hanya itu, ia bahkan menyebut pendanaan dapat dilakukan dengan menerbitkan surat utang publik alias obligasi.

Dari pandangan Ekonom Senior sekaligus Guru Besar FEM IPB Didin Damanhuri, cabutnya Softbank dari IKN tak terlepas dari perkembangan yang terjadi di dalam negeri. Termasuk, dari besarnya pro kontra masyarakat hingga aspek keamanan di IKN.

Pasalnya, IKN dinilai tak seaman yang diklaim pemerintah. Contohnya bisa dilihat dari gempa bumi yang sempat mengguncang Kabupaten Paser, Kaltim, awal Maret lalu. Belum lagi banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), longsor, dan lainnya yang juga masih mengancam daerah itu.

Ia menduga alasan lain Masayoshi Son keluar dari IKN berasal dari aspek pengelolaan keuangan negara. Didin menilai investor akan melihat kemampuan fiskal RI memenuhi pembangunan dasar infrastruktur.

Hal ini bisa dilihat dari defisit fiskal yang membengkak akibat pembiayaan pandemi covid-19 atau Utang Luar Negeri (ULN) yang mencapai US$413,6 miliar atau Rp5.938,4 triliun per akhir Januari 2022 kemarin.

“Masalah basis keuangan pemerintah yang dicerminkan dari APBN dan defisitnya seperti apa? Utang lndonesia gimana? Saya kira Softbank melihat keraguan-raguan dari sisi kesiapan pemerintah, itu akhirnya mereka memutuskan tidak jadi karena risiko bisnis,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/3/2022).

Di sisi lain, Didin melihat minggatnya Softbank memberikan sentimen negatif atau dampak domino ke investor asing lainnya. Bukan tak mungkin, langkah SoftBank bakal diikuti UEA dan Arab Saudi.

Kalau sudah begitu, lantas siapa yang bakal membiayai IKN di tengah APBN yang sudah kembang kempis?

Menurut analisis Didin, menyoal investor potensial lain bisa dilihat dari sinyal Jokowi memilih profesional swasta sebagai Wakil Kepala Otoriita IKN, Dhony Rahajoe. Ia sempat menjabat sebagai Managing Director of President Office of Sinar Mas Land.

Didin menyebut terpilihnya Dhonny menjadi pertanda bahwa pemerintah membidik pengusaha swasta nasional untuk masuk ke IKN. Terlepas dari mau tidaknya swasta nasional berinvestasi di IKN, Didin menilai mereka sebetulnya cukup mumpuni jika dilihat dari data likuiditas Bank Indonesia (BI).

Seperti investor asing, pebisnis swasta pun murni melihat prospek bisnis dan keuntungan yang bisa diraup di IKN.

Tapi bedanya, ada unsur politik yang dikalkulasi pebisnis dalam negeri. Dalam kajian ekonomi politik, pebisnis sebagai pemburu rente pasti mencari tawaran yang bisa memberikan konsorsium bisnis menggiurkan.

Didin mengatakan garansi yang didapatkan oleh pebisnis adalah eksistensi pemerintahan saat ini. Selama pemerintahan tidak bubar dan pembangunan IKN bisa dilanjutkan, maka pebisnis bisa jadi mau masuk sebagai investor ibu kota baru.

Karena itu lah, sambung dia, Luhut getol mengkampanyekan penundaan pemilu. Ia yakin itu dilakukan guna mengamankan investor IKN.

“Seandainya berhasil upaya politik perpanjangan jabatan, garansi makin kuat lagi, tapi secara politik feasible (memungkinkan) engga? Ini bisa fifty-fifty,” ujarnya.

Ia menambahkan ada kabar beredar dari salah satu menteri yang menyebut seorang pengusaha China siap menginvestasikan US$100 miliar ke IKN. Di sisi lain, ia pesimistis pembiayaan IKN bisa mengandalkan APBN atau BUMN yang saat ini juga tak sehat.

Ekonom Indef Nailul Huda menyebut keluarnya Softbank akan menciptakan preseden buruk bagi investor lainnya. Pasalnya, bukan tak mungkin UEA dan Arab Saudi pun mengikuti jejak Masayoshi Son. Karena itu, ia menilai ujung-ujungnya pembangunan IKN bakal mengandalkan APBN.
“Saya lihat kemungkinan besar investor lainnya akan bertindak serupa seperti Softbank, kalau terjadi dan tidak ada alternatif lainnya ya otomatis APBN lagi APBN lagi,” ujarnya.

Walau Jokowi masih menyatakan APBN hanya akan dikucurkan maksimal 20 persen, namun Nailul mengaku ragu dengan itu semua. Ia memproyeksi APBN bakal dikucurkan dari berbagai sisi, misalnya lewat investasi langsung atau penanaman modal negara (PMN) atau pun penerbitan surat utang negara (SUN) atau SBN.

Nailul tak yakin dana abadi Indonesia Investment Authority (INA) bakal bisa diandalkan untuk mencari pendanaan IKN. Apalagi, dana di INA yang baru jelas hanya suntikan dana pemerintah yang berasal dari APBN juga.

“Sovereign Wealth Fund INA kan sebetulnya dananya dari investor luar juga, ketika mereka gagal meyakinkan investor ya otomatis lembaga engga ada uang juga,” imbuhnya.

Nailul mengatakan salah satu alternatif yang mungking diambil pemerintah adalah dengan menjual atau menyewakan aset-aset di Jakarta yang nantinya tak lagi dipakai.

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut investor melihat ada risiko politik pembangunan IKN cukup tinggi, misalnya terkait perpanjangan masa jabatan presiden. Ia menilai hal ini membuat investor memilih wait and see.

“Investasi di IKN bukan jangka pendek, tapi butuh kepastian jangka panjang. Dikhawatirkan risiko politik terkait pemilu akan membuat proyek IKN terkendala, bahkan bisa berhenti total,” katanya.

Belum lagi faktor perang di Ukraina yang menambah deretan ketidakpastian global. Ia mengatakan investor turut membaca risiko inflasi tinggi di negara maju yang membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan.

Ambil contoh biaya besi baja dan barang material konstruksi yang akan naik karena imbas dari terganggunya rantai pasok global.

Menurut Bhima, konsekuensi mundurnya Softbank ada dua. Pertama, jika pemerintah ingin mengejar pembangunan IKN tepat waktu maka investasi awal IKN hingga 90 persen harus diperoleh dari APBN.

Kedua, pemerintah perlu cari pengganti Softbank entah lembaga investasi hedge fund maupun sovereign wealth fund dari negara mitra, seperti Arab Saudi.

“Sayangnya mencari investor sekelas Softbank bukan hal mudah, apalagi proses pembangunan IKN segera dimulai. Butuh proses uji kelayakan, pembacaan situasi ekonomi dan hitung-hitungan manfaat sosial-politik bagi investor,” tandasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *