Jakarta (Riaunews.com) – Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas KPK di Kantor KPK, Selasa (7/7/2020), mendapat sorotan publik. Seperti tak biasanya, rapat digelar tertutup di markas komisi antirasuah yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan.
Rapat dua institusi, memilih tempat di kantor Firli Bahuri itu baru kali pertama terjadi.
Ketua Komisi III Herman Hery tak menampik kecurigaan publik bakal muncul. Ia mengaku tak ambil pusing. Politikus Partai PDI Perjuangan (PDIP) menjelaskan bahwa rapat dilakukan tertutup karena akan membahas isu-isu sensitif.
Baca: Tempo ungkap hotel tempat Firli menginap milik pengusaha yang diduga menjadi tersangka suap
“Itu kan kecurigaan media, kecurigaan publik, boleh-boleh saja,” kata Herman di Gedung Penunjang KPK, Jakarta, Selasa (7/7) kemarin.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan RDP kemarin menimbulkan sejumlah asumsi di masyarakat luas, termasuk dugaan lobi politik yang dilakukan oleh DPR di Gedung KPK.
Feri menuturkan bahwa DPR merupakan lembaga yang sensitif terjadi tindak pidana korupsi. Di DPR, potensi penyimpangan sangat besar. Terlebih, sejauh ini sudah ada ratusan anggota dewan yang diproses KPK.
Komisi III DPR RI langsung meninjau rumah tahanan negara (Rutan) yang berada di belakang Gedung Merah Putih KPK usai melakukan rapat dengar pendapat (RDP) secara tertutup, Selasa (7/7).Komisi III dan KPK menggelar rapat tertutup di gedung merah putih. (Dok. Humas KPK.)
Belum lagi, kata Feri, lembaga antirasuah tersebut juga masih memproses kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-elektronik (e-KTP) yang melibatkan anggota DPR RI. Sementara itu data Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2014-2019 menyebutkan ada 22 anggota dewan yang melakukan tindak pidana korupsi menjadi tersangka KPK.
“Bisa saja karena kan namanya asumsi, ya. Bukan tidak mungkin pertemuan yang tertutup itu membahas lobi-lobi kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan partai politik atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Itu kan jadi tidak sehat, ya,” kata Feri kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (8/7).
Baca: Dilaporkan MAKI, Dewas KPK kumpulkan bukti dugaan gaya hidup mewah Firli Bahuri
Feri mengatakan pimpinan KPK tidak mencermati asumsi publik dengan menerima usulan Komisi III DPR yang ingin menggelar rapat di kantornya. Hal itu, kata dia, memperlihatkan kehormatan atau marwah lembaga antirasuah yang sudah luntur.
Ia menyatakan RDP tersebut juga memperlihatkan bahwa KPK sudah dapat dikendalikan oleh lembaga politik DPR.
“Makanya saya cerita tadi bahwa kalau DPR sudah datang ke kantor Aparat Penegak Hukum (APH), biasanya APH sudah bisa dikendalikan secara politik. Kalau tidak bisa dikendalikan mereka bisa paksa panggil APH ke kantornya berdasarkan kewenangannya. Itu indikasi,” ujarnya.
Feri menyatakan rapat kemarin sebagai gimik yang coba menunjukkan bahwa KPK lebih kooperatif dengan DPR. Padahal seharusnya, menurut dia, pimpinan KPK bisa menolak usulan rapat di Kuningan demi mencegah terjadinya konflik kepentingan.
“Saya enggak tahu ya kalau sekarang kucing dan tikus bisa rapat. Tapi, ya, kalau mereka rapat tentu tidak ada yang salah. Cuma publik akan curiga ada apa dengan KPK, kenapa kemudian DPR dengan KPK sekarang ini begitu sayang,” imbuhnya.
Baca: KPK jarang OTT di masa kepemimpinannya, Firli: Mungkin pencegahan berhasil
“Jadi, asumsi itu yang sebenarnya harus dijauhi APH. Ini kok menjadi prosesi yang agak centil, ya, bertemu dengan berbagai pihak yang sebenarnya secara etik mestinya tidak dilakukan,” lanjut dia.
Senada dengan Feri, mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto mengatakan agenda rapat yang dilakukan secara tertutup menimbulkan pertanyaan publik. Kata dia, pimpinan KPK era Firli Bahuri kontradiktif dengan periode sebelumnya yang menganggap rapat tertutup sebagai sesuatu yang dilarang.
“Fakta ini makin menjelaskan perbedaan yang sangat fundamental antara Pimpinan KPK saat ini dengan banyak periode kepemimpinan KPK sebelumnya,” kata BW, sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulis.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan rapat yang dilaksanakan kemarin sebagai sesuatu yang tidak etis. Peristiwa itu, ucap dia, menandakan KPK yang sudah tunduk dengan DPR usai terjadinya perubahan UU KPK dan terpilihnya pimpinan bermasalah.
“Ini yang pada posisi KPK nampaknya malah seperti bahasa enggak enaknya tunduk begitu. Ini yang memang mau enggak mau akibat dari UU KPK yang telah direvisi,” ucap Boyamin.
Nilai independensi yang tersemat di KPK selama ini, kata Boyamin, kini tinggal sebatas narasi. Hal tersebut dapat dilihat dari penanganan korupsi yang diduga melibatkan anggota DPR.
“Itu kelihatan bahwa sisi lain sampai posisi sekarang apa pun KPK belum pernah menangani kasus di tingkat pusat, termasuk DPR. Padahal, kalau mau nyari ada saja sesuatu dugaan yang berkaitan dengan DPR,” tandasnya.
Pendapat serupa dilontarkan oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang menilai KPK sudah tunduk pada kekuasaan legislatif usai UU KPK mengalami perubahan. Ia menuding rapat yang dilakukan secara tertutup mengindikasikan ada hal yang coba disembunyikan dari publik.
“Harusnya DPR mengagendakan pertemuan RDP itu di gedung DPR secara terbuka dengan mempertanyakan berbagai kejanggalan yang terjadi selama ini. Misalnya, tindak lanjut dugaan pelanggaran kode etik atas kontroversi helikopter mewah yang digunakan oleh Komjen Firli Bahuri beberapa waktu lalu,” pungkasnya.
Ketika diminta konfirmasi, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan tidak semestinya rapat antara KPK dan DPR di Kuningan memunculkan kekhawatiran berlebihan.
Pihak DPR, kata dia, pun sudah menjelaskan bahwa bukan KPK saja yang didatangi dalam rangka RDP pengawasan. Hal serupa juga dilakukan di kejaksaan dan kepolisian.
“Mengenai rapat tertutup tentu kewenangan pihak DPR dan saat itu sudah disepakati bersama dalam forum RDP tersebut,” ujar dia kepada CNNIndonesia.com.
Ali menambahkan, dalam pertemuan tersebut baik KPK maupun Komisi III saling terbuka menyampaikan apa yang sebelumnya menjadi bahan pertanyaan Komisi III.
“Dan sudah dijelaskan oleh masing-masing pimpinan KPK secara bergiliran maupun pihak Dewas KPK,” kata Ali Fikri.***