Kamis, 24 Oktober 2024

Mengenang Ucapan Jokowi Dulu Bilang Laut Masa Depan Bangsa, Kini Pasirnya Malah Diekspor

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Joko Widodo
Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Jakarta (Riaunews.com) – “Saya sadar bahwa bangsa kami bangsa bahari. Saya sadar wilayah air kami lebih besar daripada darat. Kita semua sadar wilayah air dunia lebih besar daripada darat. Kita semua sadar bahwa laut, samudera, adalah masa depan kita,” demikian pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali pada 29 November 2018 lalu.

Saat itu, Jokowi mengajak seluruh pihak dalam hal ini pemerintah, pengusaha, masyarakat dan organisasi untuk menjaga dan mengambil langkah-langkah konkret terkait perlindungan laut.

Namun, komitmen Presiden Jokowi dalam menjaga ekosistem laut dipertanyakan sejumlah pihak setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Melalui PP tersebut, Jokowi kembali membuka keran ekspor pasir laut dan material sedimen lain berupa lumpur setelah dilarang sejak 2002.

Hal ini mengulang kembali perdebatan 20 tahun lalu terkait ekosistem laut. Ekosistem laut mengalami kerusakan akibat aktivitas pengerukan pasir laut.

Kerugian lingkungan jadi lebih besar

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti ikut merespons kebijakan Presiden Jokowi tersebut.

Susi mengatakan, kebijakan terkait pemanfaatan pasir laut tersebut akan berdampak pada kerugian lingkungan yang lebih besar.

Karenanya, ia berharap pemerintah membatalkan kebijakan baru tersebut.

“Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut,” tulis Susi melalui akun Twitternya @susipudjiastuti dikutip Senin (29/5/2023).

Rusak ekosistem pantai

Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin mengatakan, PP tersebut akan berisiko mengurangi pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia.

Sebab, sedimen pasir yang dikeruk dapat merusak ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi.

“Jadi, saya kira ini PP Nomor 26 2023 ini sangat mengancam pulau-pulau kecil, terutama di Indonesia, karena Indonesia negara kepulauan, termasuk juga wilayah pesisirnya,” ungkap Parid kepada BBC Indonesia pada Selasa (30/5/2023).

Baca juga: Luhut Berani Garansi Ekspor Pasir Laut Tidak Merusak Lingkungan

Berdasarkan catatan WALHI, ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya yang sudah tenggelam.

“Kurang lebih ada 20 yang hilang. Nah, ke depan itu ada 115 pulau kecil yang terancam tenggelam di wilayah perairan Indonesia, di wilayah perairan dalam,” ujarnya.

Pemerintah jamin ekspor pasir laut tak rusak lingkungan

Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan memastikan aktivitas pengerukan pasir laut untuk ekspor tidak akan merusak lingkungan.

“Enggak dong (rusak lingkungan), sekarang ada GPS segala macam. Kita pastikan itu (kerusakan lingkungan) tidak terjadi. Kalau pun diekspor manfaatnya besar untuk BUMN,” ucap Luhut usai menghadiri agenda ICCSC, di Jakarta, Senin (30/5/2023).

Pasalnya, kata Luhut, jika tidak dilakukan pengerukan pasir maka alur laut akan dangkal. Maka dari itu, perlu dilakukan sedimentasi (pengendapan pasir).

Itulah salah satu alasan pemerintah membuka “keran” ekspor pasir laut.

“Pasir laut itu kita pendalaman alur. Karena kalau kita tidak, alur kita itu makin dangkal. Jadi untuk kesehatan laut juga,” jelasnya.

Ekspor pasir laut harus dapat izin dari Tim Kajian

Senada dengan Luhut, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, ekspor sedimentasi diperbolehkan asal mendapatkan izin dari tim kajian khusus yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, KLHK, hingga LSM Lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace.

Ia mengatakan, akan dibentuknya aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) dari PP Nomor 26 Tahun 2023 untuk pembentukan tim kajian khusus tersebut.

“Permintaan ekspor selama hasil sedimentasi boleh saja buat penggunaan dalam negeri dan luar negeri. Tidak apa-apa selama dia bayaran mahal ke dalam negeri, (soalnya) kok yang untung Johor (Malaysia) terus. Nah johor mengambilnya dari mana? Jangan-jangan dari kita juga, ya kalau dari kita mana mau saya,” ujar Trenggono saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Trenggono menilai bila hasil sedimentasi menurut tim kajian diperbolehkan untuk diekspor justru akan menambah pemasukan negara.

Lebih lanjut, dia juga tak menampik ekspor sedimen nantinya bukan hanya bisa ke Singapura saja, namun juga Jepang ataupun dikirim ke mana saja, tergantung keputusan dari tim kajian.***

Sumber: Kompas

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *