Jakarta (Riaunews.com) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dua tahun kepemimpinan Ketua KPK Filri Bahuri membuat lembaga antikorupsi menjadi bobrok.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengungkapkan hanya ada dua cara untuk menyelamatkan KPK. Pertama, harus dipastikan pada 2023, lembaga antikorupsi dipimpin komisioner yang tidak bermasalah.
“Ke depan akan semakin sulit situasinya, KPK berubah seperti sedia kala. Kecuali pada 2023 KPK tak diisi orang bermasalah seperti saat ini,” kata Kurnia di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/12/2021).
Kedua, lanjut Kurnia, pada kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden ada kandidat yang menawarkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna membatalkan Undang-Undang KPK 2019.
“Dua cara itu enggak bisa ditawar, enggak bisa diambil satu saja untuk mengembalikan KPK seperti sedia kala,” ujarnya.
Kebobrokan KPK salah satunya karena adanya revisi Undang-Undang KPK.
Kurnia mengatakan perlahan muncul ke permukaan. Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri yang bergaya hidup mewah, menggunakan helikopter, dan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar, dengan berhubungan dengan pihak yang berperkara.
Kemudian yang menjadi puncak pelemahan KPK adalah setelah dipecatnya 57 pegawai, termasuk penyidik senior Novel Baswedan.
“Bukannya memperbaiki kinerja dalam aspek penindakan atau klaim pencegahan yang baik, ternyata berdasarkan catatan kami masih banyak yang harus diperbaiki, tapi justru menciptakan situasi kekisruhan yang enggak penting dengan memecat atau memberhentikan 57 pegawai KPK,” ujar Kurnia.
ICW lantas membandingkan kepimpinan KPK sebelum Firli Bahuri dengan Agus Rahardjo hingga Abraham Samad.
Pada periode itu kata Kurnia, KPK memang mendapatkan kritikan namun positifnya masukan yang datang dijawab dengan perbaikan.
“Dikatakan era ini yang paling banyak catatannya dan sudah diberikan catatan tapi enggak melakukan perbaikan,” katanya.
“Itu yang mungkin sedikit membedakan dengan pimpinan sebelumnya. Yang dulu KPK selalu dapat peringkat tertinggi (lembaga survei) atau setidaknya tiga besar, bukan seperti saat ini yang justru di bawah kepolisian,” Kurnia menambahkan.***