Selasa, 10 Desember 2024

Pasti Naik Kelas, Kurikulum Merdeka Bikin Siswa Jadi Malas

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Murid sekolah dasar.(ilustrasi)

Jakarta (Riaunews.com) – Salman (34), seorang wali kelas sekaligus guru Agama Islam di salah satu SMP negeri di Kota Depok, bercerita bahwa anak didiknya sering tidak mengerjakan tugas. Dari 40-an muridnya di kelas, ada 15-20 anak yang tidak mengumpulkan tugas. Padahal deadline-nya cukup panjang yaitu sepekan.

Kurikulum merdeka, kata dia, membuat semua siswa bisa naik kelas meski nilai yang diperoleh buruk. Penilaian rapor akhir tengah maupun akhir semester, lanjutnya, juga menjadi tidak efektif. Itu karena siswa tahu seburuk apa pun nilainya, mereka akan tetap naik kelas.

“Soalnya mereka sudah pasti naik kelas. Sudah pasti lulus. Ya terus buat apa lagi belajar,” jelas Salman kepada kumparan pada Rabu (30/10/2024).

“Sebenarnya mereka tuh sekolah sudah nggak peduli sama pelajaran. Kalau menurut saya mereka kayaknya ngejar ijazah doang,” lanjutnya.

Baca Juga: Mendikdasmen Abdul Mu’ti Akan Kaji Ulang Kurikulum Merdeka

Salman kemudian menyoroti sistem zonasi. Menurutnya, anak didiknya semakin malas belajar. Sistem zonasi sendiri sudah berlaku sejak 2017 lalu.

“Yang pertama mereka pikirin adalah sekolah mana yang masuk zonasi. Jadi udah enggak mikirin kerja keras lagi,” ungkapnya.

Dulu, kenang Salman, guru masih dapat menghukum murid dengan hukuman yang membuat jera seperti squat jump, lari keliling lapangan, atau hukuman fisik lainnya. Namun, semenjak pemberlakuan kurikulum merdeka, guru tidak lagi memiliki kebebasan untuk menghukum murid dengan cara-cara seperti itu.

Salman pada dasarnya memang tak setuju dengan hukuman fisik. Namun, kata dia, hal yang bisa dilakukan guru saat murid berbuat salah hanyalah memberi peringatan. Jika kesalahan sudah besar, guru hanya bisa memanggil orang tua ke sekolah.

“Hilangnya hukuman fisik salah satunya itu ya, jadi enggak ada efek jera, itu sih. Guru jadi nggak punya gigi lagi. Enggak punya taringlah,” ungkapnya.

Sementara itu, kata dia, format pendisiplinan siswa pun tak jelas bentuknya. Menurutnya, guru-guru pun khawatir orang tua bisa komplain jika terlalu keras menegur siswa.

“Dinas itu enggak punya SOP khusus juga buat mereka. Untuk anak-anak [bandel] kayak gini enggak ada pengangannnya,” sambungnya.

Menurut Salman, salah satu siswanya bahkan ada yang tidak bisa membaca. Namun, sekolah tetap membiarkannya naik kelas bahkan sampai lulus ke SMA.

“Enggak bisa baca. Enggak bisa baca teks sama sekali. Tahu huruf, tapi itu pun ketuker-tuker hurufnya. Anak lulus SMP masih ketuker huruf B dengan huruf D. Bacanya masih mengeja. Ditanya apa poin inti dari paragraf itu, dia enggak paham,” jelas Salman.

 

Kurikulum Merdeka Dinilai Memanjakan Murid

Menurut Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, fenomena siswa yang malas belajar hingga maraknya kriminalisasi terhadap guru tak lepas dari kurikulum merdeka. Menurutnya, maraknya kasus-kasus seperti ini karena nihilnya penilaian dan evaluasi terhadap kurikulum merdeka.

“Dalam proses pendidikan itu selalu ada proses evaluasi. Jadi apa pun yang terjadi itu harus selalu ada cara untuk mengukur dan menilainya, sehingga sebuah proses pendidikan itu dapat dilihat apakah berhasil atau tidak,” ungkap Doni saat dihubungi terpisah.

Menurut Doni, pada prinsipnya disiplin tetap dibutuhkan. Namun, kata dia, ini bukan soal reward and punishment, tapi apresiasi dan tanggung jawab.

Baca Juga: Peringati Hari Guru Nasional, Jokowi Kaget Guru Alami Stres Tinggi karena Perubahan Kurikulum

“Nah, di kurikulum merdeka, saya tidak melihat [tanggung jawab] itu. Di mana dimensi tanggung jawab dilatihkan. Karena kurikulum merdeka itu fokusnya guru menghamba pada anak, guru nurutin apa maunya anak. Kemudian, itu dimanfaatkan anak, ‘Oh berarti suka-suka saya saja. Guru harus ngikutin apa maunya siswa’. Ini kekeliruan mendasar,” sambung Doni.

Di kurikulum merdeka yang diterapkan di sekolah dasar, kata dia, dikenal konsep Fase A, Fase B, hingga Fase C. Fase A terdiri dari murid kelas 1 dan 2, Fase B diisi oleh murid kelas 3 dan 4, dan Fase C diisi murid kelas 5 dan 6.

Dari fase-fase ini, seharusnya perkembangan anak disesuaikan dengan dirinya sendiri. Namun, sambung Doni, nyatanya dalam pelaksanannya, anak-anak yang tidak mengerjakan tugas tetap disamakan dengan yang mengerjakan tugas. Hal ini kemudian mengakibatkan anak-anak menyepelekan tanggung jawabnya.

Menurutnya, konsep fase ini bisa efektif jika guru hanya menangani maksimal 15 murid seperti di sekolah internasional. Nyatanya, seorang guru di sekolah negeri bisa menangani 30 hingga 40 anak. Akibatnya, pembelajaran jadi kacau dan murid berlaku seenaknya sendiri dan merasa aman karena ia tetap akan lulus pada akhirnya.

“Fase yang ini yang membuat guru berpikir tidak ada siswa yang tidak naik kelas,” jelas Doni.

Selain itu, menurut Doni, Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan justru membuat posisi sekolah menjadi lembek.

“Kurikulum merdeka itu harus dilihat dengan aturan-aturan yang lain, jangan fokus ke kurikulumnya saja. Dalam Permendikbudristek Nomor 46 tentang tingkat pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Di salah satu pasal mengatakan salah satu pelanggaran. Jadi tidak naik kelas itu adalah pelanggaran terhadap hak anak. Guru jadi bingung, kalau tidak menaikkan kelas mereka bisa dituntut orang tua,” jelas Doni.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan