Jakarta (Riaunews.com) – Baru-baru ini jagat maya dihebohkan aksi ‘twitwar’ atau saling serang antara Menko Polhukam Mahfud MD dan ekonom Rizal Ramli di media sosial Twitter.
Saling serang antara keduanya berawal dari persoalan polemik Perppu Ciptaker. Awalnya, Rizal Ramli mencuitkan potongan pernyataan yang diduga dilontarkan Mahfud soal ‘malaikat yang masuk lingkaran kekuasaan bisa menjadi iblis’ di akun Twitter pribadinya @RamliRizal. Cuitan itu dibuat dalam koridor mengkritisi Perppu Cipta Kerja.
Merasa tak terima, Mahfud menimpali pernyataan Rizal tersebut lewat akun Twitternya @mohmahfudmd. Mahfud membantah pernah mengutarakan hal demikian. Ia bahkan menilai Rizal ngawur dan bodoh karena tak melihat ucapannya itu secara utuh.
Perdebatan keduanya menjadi riuh di lini media sosial Twitter. Bahkan, nama Mahfud menjadi trending topik di Twitter imbas cuitannya tersebut.
Mahfud dan Rizal Ramli sama-sama elite dan tokoh politik senior di Indonesia. Keduanya pernah bersama-sama menjadi menteri di Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid alias Gus Dur tahun 1999-2001 lalu. Rizal menjabat sebagai Menko Ekuin, sementara Mahfud sebagai Menteri Pertahanan.
Saat ini status keduanya berbeda. Mahfud tetap berada di dalam lingkaran kekuasaan Presiden Jokowi sebagai Menko Polhukam. Sementara Rizal Ramli berada di luar pemerintahan.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga berpendapat saling serang antara Mahfud dan Rizal Ramli di media sosial mencerminkan persoalan gaya berkomunikasi para elite yang tak konstruktif.
Baginya, para elite kini senang memanfaatkan Medsos untuk saling serang secara pribadi. Bukan malah membahas akar masalah utama yang tengah menjadi polemik.
“Serang kelemahan orang. Ini akibatnya wacana atau diskursus di Indonesia tak produktif. Itu kelemahan komunikasi politik di Indonesia. Cenderung serang pribadi dari pada bahas substansi, minim substansi,” kata Jamiluddin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (5/1/2023).
Jamiluddin menilai diskursus atau wacana perpolitikan Indonesia belakangan ini kerap muncul dari medsos. Namun, wacana yang itu cenderung parsial dan tak komprehensif.
Berbeda halnya ketika para elite saling berdebat atau dialog secara langsung membahas persoalan yang berkembang. Ia meyakini pembahasan pastinya akan lebih mendalam.
Karena itu, Jamiluddin berharap Mahfud dan Rizal Ramli menggelar debat terbuka untuk membicarakan Perppu Cipta Kerja apakah benar inkonstitusional atau tidak. Begitu pula dengan elite politik lainnya.
“Untuk hajat hidup orang banyak lebih baik dialog langsung. Itu salah satu yang diinginkan dari sistem Demokrasi. Prinsip keterbukaan itu diimplementasikan oleh elite-elite. Sehingga tak lagi perdebatan via Medsos,” ucapnya.
Baginya, debat terbuka penting agar masyarakat mendapat pencerahan soal seluk beluk Perppu Cipta Kerja. Ketimbang elite saling debat dan melecehkan di media sosial. Terlebih lagi, turut mengundang pakar di bidangnya dalam debat tersebut agar mendapatkan masukan konstruktif.
“Karena itu mungkin lebih baik mereka dipertemukan dalam satu dialog. Sehingga kalau kita liat mereka dipertemukan membedah polemik Perppu Cipta Kerja ini lebih komprehensif. Sehingga, masyarakat tahu berbagai aspek soal polemik ini,” kata dia.
Jika debat terbuka terjadi, Jamiluddin mengatakan Mahfud bisa memberikan pencerahan di bidang hukum atau di balik layar pembuatan tentang polemik Perppu Cipta Kerja.
Di sisi lain, Rizal Ramli dapat mengambil peran untuk mengkritisi dan memberikan solusi pada bagian mana Perppu Cipta Kerja dapat diperbaiki.
“Sehingga masyarakat bisa paham dari dua sisi. Baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat yang pas diwakilkan oleh Rizal Ramli. Saya yakin antusiasme masyarakat tinggi. Karena dua tokoh ini dianggap kredibel dan punya nilai berita yang tinggi,” kata dia.
Terpisah, Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo berpandangan para elite kerap saling serang di media sosial semata untuk rebut atensi publik alias cari perhatian (caper) di dunia maya.
“Perseteruan itu menunjukkan untuk merebut panggung atensi publik dengan saling membalas twit yang bernada satir seperti itu,” kata Wasis.
Dari cuitannya itu, Wasis beranggapan para elite tentunya menunggu momentum blunder lawannya. Blunder itu nantinya bisa jadi pembenaran dan dukungan dari warganet.
Wasis juga menilai para elite senang berseteru di dunia maya karena lebih nyaman untuk mengungkapkan opini pribadinya. Bila debat secara terbuka, mereka tentu akan malu apabila kalah menyampaikan argmentasinya ketika berhadapan dengan lawannya.
“Kalau misal debat/dialog terbuka, yang terjadi itu bisa berpotensi mempermalukan diri sendiri apalagi kalau nanti kalah argumen,” kata dia.***